Pembuat girik palsu dibekuk di Bogor. Tapi ratusan girik palsu telanjur beredar. HATI-HATI membeli tanah berstatus girik. Bayangkan di wilayah Bogor, Jawa Barat saja, setidaknya beredar seratus lima puluh girik palsu. Jumlah itu diduga masih bisa membengkak lagi. "Masih banyak komplotan lain yang bergerak dalam usaha ini," kata KaDolres Bogor, Letnan Kolonel J.D. Sitorus. Pada akhir Maret lalu, polisi menangkap Bay Suwandi alias Obay, 41 tahun, yang diduga pembuat girik palsu itu. Di rumahnya, di Desa Laladon, Ciomas, Bogor, polisi menemukan barang bukti dua stempel palsu bertuliskan "Salinan/Baru" dan Kantor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) Bogor, serta 500 lembar surat girik fotokopian. Tak hanya Obay. Sampai pekan ini polisi memeriksa Kepala Desa (Kades) Citeko, Kecamatan Cisarua, Syafril Kades Cidokom, Kecamatan Sindang Barang, Wirta dan Kades Cogrek, Kecamatan Parung, Emin. "Masih ada enam orang kawan tersangka yang kami cari," kata Sitorus. Mereka diduga bertindak sebagai calo penghubung antara Obay dan calon pembeli atau para kepala desa yang terlibat. Terbongkarnya pemalsuan girik itu berawal dari kedatangan seorang warga Jakarta ke kantor PBB Bogor. Ia bermaksud mengurus sertifikat tanahnya seluas 300 meter persegi di Desa Cogrek, yang dibelinya dengan harga Rp 15 juta. Kebetulan tanah itu berstatus girik. Kepala PBB Bogor, Said Usman Husrah, yang meneliti surat girik itu, menemukan tanda tangannya dan stempel kantornya dipalsukan. "Saya tidak tahu bahwa girik itu palsu. Padahal, girik itu diuruskan oleh kades," kata warga Jakarta tersebut. Pengalaman serupa juga dialami warga Desa Citeko. Ia, yang tak mau repot-repot mengurus giriknya, menyerahkan langsung urusan itu kepada Kades Citeko, Syafril dengan membayar Rp 10 ribu. Tapi, begitu menyodorkan giriknya ke kantor PBB di Bogor, awal Februari lalu, ia kontan lemas. Girik itu dipastikan palsu. "Siapa sangka itu girik palsu," kata warga yang juga tak mau disebut namanya. Karena kejadian-kejadian itu, Said membentuk tim kecil untuk menyusuri girik "bolong" -- begitu istilahnya. Begitu tim merasa yakin banyak girik palsu beredar, pihak kantor PBB Bogor melapor ke polisi. Beberapa hari kemudian, Obay ditangkap. Bekas sopir kantor Ipeda (kini kantor PBB) itu mengaku terus terang perbuatannya. Ia mengaku menekuni obyek ini sejak Agustus tahun lalu hingga Februari lalu, dan sudah menghasilkan 150 girik palsu. "Bisnis" girik palsu itu, katanya, dilakukannya demi perut keempat anaknya. Untuk sebuah girik palsu, Obay mengaku hanya mendapat Rp 3-Rp 5 ribu. "Saya bekerja hanya berdasar pesanan," katanya. Para pemesan itu, menurut Obay, adalah Syafril, Wirta, dan Emin. Pada awalnya, cerita Obay, ia menyanggupi order "kumuh" itu lantaran di rumahnya tersimpan blangko bekas yang diperolehnya ketika ia bekerja di kantor Ipeda pada 1984-1988. "Dulu, blangko yang sudah kedaluwarsa langsung dibuang ke sampah atau disimpan seenaknya," kata Obay. Blangko-blangko bekas itu pun dipungutinya. Nah, ketika datang pesanan, Obay memanfaatkannya. Data dalam girik bekas itu di-tipp-ex dengan cairan kimia tertentu, lalu difotokopi. Setelah itu, Obay tinggal mengisi data tanah si pemilik asli berikut batas-batasnya. Data ini tentu sengaja dicocokkan dengan daftar pada Letter C (daftar girik desa) di desa masing-masing berdasar petunjuk kepala desa setempat. Jadi, girik palsu tersebut beredar tanpa diketahui pemilik tanah yang sebenarnya. Kemudian, setelah pengisian data rampung, agar mulus, Obay membubuhkan cap stempel Kantor PBB dan tanda "Salinan/Baru". Soal tanda tangan Kepala PBB Bogor bukan urusan yang rumit. "Kalau ada contohnya, pasti saya bisa menirunya," kata Obay bangga. Sejauh mana keterlibatan tiga kades itu memang belum jelas. Kades Syafril, 50 tahun, misalnya, membantah memesan girik palsu Obay. "Saya tidak terlibat girik palsu," katanya kepada TEMPO. Tapi, ia mengaku memiliki 15 blangko girik kosong dari Obay, sebagai jaminan atas utang Obay kepadanya Rp 300 ribu. "Jadi, saya tidak memesan, apalagi menjual girik palsu," katanya. Syafril mengaku kenal lama dengan Obay. Selain itu, penampilan Obay, katanya, meyakinkan dan selalu necis serta bermobil. Sebab itu, ia tak keberatan ketika Obay meminjam uang Rp 300 ribu selama sebulan untuk membeli TV. Ternyata, janji Obay akan melunasi utang itu selama sebulan tinggal janji, malah Obay membawakan 15 buah girik palsu untuk Syafril. "Saya justru memberi andil bagi tertangkapnya Obay," kata Syafril. Sementara itu, pihak polisi mengusut kebenaran keterangan para tersangka. "Masih banyak pihak yang dimintai keterangan ihwal kasus ini," kata Kapolwil Bogor, Kolonel Pamudji. Kapolda Jawa Barat, Mayor Jenderal Banurusman, yang kebetulan sedang mengadakan inspeksi ke wilayah Bogor, menambahkan bahwa kasus girik palsu ini, "Bakal menyangkut banyak pihak, dan harus dituntaskan." Tak lupa Banurusman mengingatkan agar masyarakat hati-hati membeli tanah, khususnya yang berstatus girik. "Masalah tanah memang rawan," kata Kapolda. Selain kasus di atas, masih banyak kasus bisa muncul dari jual beli tanah berstatus girik. Sebagian besar surat girik yang beredar sekarang dikeluarkan etelah tahun 1960-an, misalnya, tak lagi berarti tanda hak milik tanah secara adat. Si pemegang girik tak lebih dari pembayar atau memiliki kewajiban membayar PBB atas tanah atau bangunan yang dikuasainya. Banyak pemegang girik itu biasanya penggarap tanah negara atau perkebunan menjual girik semacam itu kepada orang-orang yang tak tahu tentang status girik. Celakanya, dalam banyak kasus jual beli itu disetujui oleh aparat pemda setempat. Selain itu, ada pula modus girik aspal. Dalam kasus ini, pemilik girik asli pura-pura kehilangan surat tanahnya. Berdasarkan itu kepala desa membuat surat tanda kehilangan untuk mendapat girik baru dari kantor Ipeda. Girik baru, yang sebenarnya aspal itu, kemudian diperjualbelikan, sementara girik asli dijual pula kepada orang lain. Akibatnya, pada suatu ketika untuk sebidang tanah ditemukan dua girik yang dipegang orang berlainan. Yang lebih repot, jika pemilik girik asli tak kunjung mengurus sertifikat tanahnya, sementara pemegang girik aspal mengurus dan mendapat sertifikat hak milik atas tanah itu. "Kalau sudah begini, urusan menjadi runyam," kata sumber TEMPO di BPN Pusat. WY dan Achmad Novian (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini