Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memang Ini Pertarungan Kepentingan

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN-pekan ini, putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bahan diskusi pelbagai kalangan, khususnya para penggiat gerakan antikorupsi. MK telah menolak permohonan Bram H.D. Manoppo, rekanan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, yang menjadi tersangka kasus mark-up pembelian helikopter Rusia. Pendapat lembaga ini amat gamblang: wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasus korupsi tak mengandung unsur berlaku surut.

Dengan begitu, dalil yang disodorkan Bram Manoppo tidak diterima. Sang pemohon menilai Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berisi soal pengambilalihan kasus korupsi, tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal ini menyatakan semua penanganan kasus korupsi yang belum selesai saat KPK dibentuk dapat diambil alih oleh lembaga ini. Nah, menurut Bram, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menolak asas berlaku surut alias retroaktif. Di situ dinyatakan: hak setiap orang untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut atau retroaktif.

Sebagian ahli hukum yang dikutip Mahkamah menyatakan, asas nonretroaktif yang dianut konstitusi terutama lebih menyangkut hukum materiil. Wewenang KPK tidak menyalahi asas ini karena sejak dulu, lama sebelum lembaga ini berdiri, ihwal korupsi sudah dinyatakan sebagai pelanggaran hukum.

Hanya, ada sebutir pertimbangan MK yang mengundang kontroversi, yakni tentang Pasal 72 Undang-Undang KPK. Pasal ini menyatakan, UU tersebut berlaku saat diundangkan. Artinya, demikian pendapat majelis konstitusi, keseluruhan Undang-Undang KPK hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang terjadi setelah UU ini diberlakukan. "Undang-Undang KPK berlaku ke depan (prospektif)," begitu pertimbangan mereka.

Itulah yang membuat kubu Bram Manoppo merasa menang. Maklum, kasus yang menjerat dirinya dan juga Abdullah Puteh—kini sedang ditangani KPK—terjadi lama sebelum Komisi itu berfungsi pada akhir 2003. Jangan heran jika pengacara Bram lalu meminta KPK menghentikan penyidikan terhadap kliennya.

Mengapa muncul pertimbangan yang ganjil? Untuk mengetahui latar belakang putusan tersebut, wartawan Tempo, Sukma N. Loppies dan Arif A. Kuswardono, mewawancarai Ketua MK Jimly Asshiddiqie di kantornya pada Rabu pekan lalu. Berikut petikannya:

Kenapa putusan MK tentang permohonan Bram Manoppo menimbulkan kontroversi?

Kami sudah menilai, Pasal 68 Undang-Undang KPK tidak mengandung unsur retroaktivitas. Namun, banyak yang salah menilai putusan, dikira kami mengabulkan permohonan. Memang ada pertimbangannya, tapi jangan diambil sepotong-sepotong. Pertimbangan itu dalam rangka mencapai kesimpulan bahwa Pasal 68 tidak mengandung asas retroaktif. Karena itu, permohonan ditolak. Kami tidak mau mendikte. Kalau dibaca, tafsirnya bisa dua. Bisa timbul kesimpulan KPK berwenang untuk mengambil alih kasus korupsi. Bisa juga yang kedua—wah, lembaga ini tidak berwenang.

Mungkin ada yang "tafsir" ketiga: putusan MK dinilai mencla-mencle?

Tidak. Ini kan persoalan membaca dan memahami. Kemarin ada debat di televisi antara M. Assegaf (kuasa hukum pemohon) dengan Bambang Widjojanto (ahli hukum). Penafsiran mereka tidak mutlak sekali atas putusan itu. Ini menggambarkan bahwa di antara para pengacara sendiri ada juga penafsiran. Berarti hakim bisa demikian juga. Tapi mana yang benar, sepenuhnya kewenangan pengadilan.

Yang jadi pertanyaannya, mengapa ada koran yang ngotot menafsirkan hanya dari sisi penafsirannya sendiri. Padahal, kami berkali-kali mengatakan, lihatlah hasil pengadilan tindak pidana korupsi, karena itu kewenangan mereka. Kasus yang sedang disidang tidak boleh menjadi bahan pertimbangan, karena MK hanya mempertimbangkan yang menjadi norma umum.

Tampaknya permohonan Bram hanya digunakan alat untuk menguji kewenangan KPK. Soalnya, di belakangnya masih banyak koruptor lain yang senasib.

Saya kira itu ada benarnya. Saya merasa Abdullah Puteh termasuk di belakang kasus ini. Karena satu grup, dia kan punya kepentingan. So What? Kalau misalnya iya, terus kenapa? Memang, ini kan pertarungan kepentingan. Nah, integritas hakim (pengadilan) itulah taruhannya. Berilah kepercayaan hakim memutuskan. Tentunya hakim pengadilan tindak pidana korupsi punya cukup integritas. Lalu, kenapa Anda risau? Hakim kan independen. Hakim harus mendengar semua argumen yang akhirnya harus diputus. Itulah kualitas keadilan yang akan lahir dari putusan hakim tatkala semua argumen itu sama kuatnya.

Pasal mana sebenarnya yang jadi inti putusan MK?

Isunya soal retroaktif. Retroaktif inilah yang didalilkan pemohon terhadap Pasal 68 Undang-Undang KPK. Pemohon mengambil kesimpulan KPK tidak berwenang mengadili karena Pasal 68 bertentangan dengan UUD 1945. Kami buktikan Pasal 68 itu tidak mengandung unsur retroaktif. Itu tetap konstitusional. Maka, seterusnya, KPK bisa menggunakan Pasal 68 untuk mengambil alih perkara-perkara sebelumnya tanpa harus khawatir dituduh retroaktif.

Mengapa ada pertimbangan mengenai Pasal 72 yang kemudian menimbulkan kontroversi?

Tapi apa pula keperluan untuk mengetahui itu? Ada wilayah trust (kepercayaan). Sebagai ketua, saya mesti menjamin ada kerahasiaan. Yang jelas, putusan itu sudah diumumkan terbuka untuk umum. Mengikat dan final. Pasal 68 itu tidak bermasalah dan bisa dipakai KPK. Pasal 68 tidak mengandung asas retroaktif. KPK boleh mengambil alih ke belakang.

Yang terjadi, pertimbangan MK akhirnya dipakai para pengacara Puteh untuk mementahkan kasusnya?

Ya biar saja. Apa salahnya dia menggunakan itu? Toh, itu hanya pertimbangan hukum. Putusan akhirnya ada pada hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Yakinkan bahwa hakim independen.

Kami menerima informasi bahwa hakim yang bertugas menyusun putusan sakit sehingga dialihkan ke orang lain yang, kabarnya, belum melepaskan tugas birokratnya….

Enggak ada. Itu spekulasi. Enggak usah dipercaya. Kesembilan hakim (konstitusi) kompak dan tidak ada masalah. Bila ada beda pendapat, bisa dissenting opinion, dan itu harus dihargai. Tanggung jawab penyusunan putusan, tanggung jawab bersama. Enggak pernah kami serahkan pada satu orang. Setiap hakim punya pendapat hukum.

Mekanisme seperti apa?

Masing-masing hakim punya pendapat hukum, lalu dirapatkan. Kalau masing-masing punya pendapat berbeda, saya berusaha mempertemukan pendapat. Kalau tidak bisa lagi, ya voting. Kami percayakan dengan drafter yang disepakati. Ini sudah rutin. Rapat permusyawaratan hakim minimal tiga kali.

Jika ada perubahan dalam draf?

Ya mungkin saja. Kadang-kadang mengetiknya salah, misalnya saja soal nama hakim dalam putusan MK yang lain. Tapi kami langsung cepat memperbaikinya.

Kalau ada hakim yang sakit, bukan berarti luput dari proses itu?

Ndak. Proses ini berkali-kali. Sakit? Siapa yang sakit?

Kabarnya, Hakim I Gde Palguna sakit, lalu pengetikan diserahkan ke hakim lain.

Enggak ada yang sakit. Sehat semua. Itu keliru. Semuanya hadir baik dalam pembacaan maupun dalam penyusunan. Lagi pula, sebelum dibacakan, kami membaca sekali lagi.

Putusan yang baik dilihat dari konstruksi pertimbangan hukum yang dibangun. Nyatanya, banyak yang menilai pertimbangan putusan MK terlalu meluas?

Saya hargai dan puji pendapat itu. Saya tidak keberatan. Wajar saja. Memang seharusnya putusan itu kompak. Biar saja orang memberi penilaian. Tapi, jangan memaksakan diri menafsirkan secara salah. Itu saja yang saya harapkan. Sebab, hal itu akan mengambil alih kewenangan hakim yang akan memeriksa perkara tersebut. Biarlah mereka bebas menilainya.

Ada yang mengkhawatirkan secuil pertimbangan ganjil itu membuat banyak kasus korupsi tidak bisa diusut oleh KPK.

Diusut saja. Hakim bisa menentukan itu. Mereka punya integritas, kemampuan, dan keberanian. Mereka lahir dari reformasi yang berani.

Termasuk kasus-kasus lama?

Kejahatan itu harus dihukum. Aktornya siapa saja. Termasuk, katakanlah, kasus tahun 1990 yang datanya baru ditemukan sekarang, KPK bisa mensupervisi kejaksaan. Tugas pun bisa dibagi. Ada yang dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi, ada yang ke pengadilan biasa. Tidak usah harus membayangkan kasus yang lalu akan terkubur. Apalagi untuk kasus Puteh—apakah KPK berwenang atau tidak, kenapa ditafsirkan tidak. Lha, itu kewenangan hakim tindak pidana korupsi. Makin banyak orang memaksakan untuk satu tafsir, makin membangun opini seolah itu yang benar. Nanti hakim tindak pidana korupsi menjadi serba salah.

Sebaiknya wartawan membantu menghentikan spekulasi yang tidak perlu. Putusan MK sudah membuktikan Pasal 68 tidak bertentangan dengan konstitusi. Sudah benar, sehingga KPK boleh menggunakan Pasal 68 tanpa takut dituduh melakukan tindakan retroaktif. Laksanakan saja. Adapun pasal lain—Pasal 70 dan 72 UU KPK—harus dijelaskan, karena pemohon menyinggung pasal itu. Semuanya harus dijelaskan sistematis.

Dalam putusan itu disebutkan, sebenarnya dua hakim konstitusi menyatakan legal standing Bram Manoppo ditolak. Bukankah itu sudah cukup menyatakan permohonan ditolak?

Tidak semua berpendapat bahwa ini harus diselesaikan dengan persoalan legal standing. Jika persoalan berhenti pada legal standing, pokok perkara tidak perlu disentuh. Kalau tidak disentuh, Pasal 68 itu tetap bisa dituduh retroaktif dan dipersoalkan. Apalagi, pasal itu adalah jantung KPK untuk mengambil alih perkara sebelum adanya KPK.

Lagi pula, kami sudah jauh masuk ke substansi—masak, kami hentikan? Hakim tidak boleh surut ke belakang, karena di depan ada masalah yang harus diselesaikan, yakni Pasal 68. Lagi pula, semua sudah diundang—pemerintah, DPR, ahli hukum—untuk didengar pendapatnya. Kalau tiba-tiba kami menghentikan karena soal legal standing, itu tidak bertanggung jawab sebagai hakim.

Mayoritas hakim konstitusi berpendapat, ini harus diselesaikan untuk kepastian hukum. Sebab, jika tidak, akan menimbulkan pertanyaan bahwa MK menghindar dari tanggung jawab mengambil keputusan soal konstitusi. Kami harus tuntas. Sebab, jika tidak diselesaikan, nanti ada lagi koruptor lain yang datang dan minta lagi agar pasal itu diuji. Lalu kapan KPK bisa bekerja?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus