Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrian Herling Waworuntu tampak terhenyak dan kemudian menghela napas panjang. Sorot matanya tertancap pada tim jaksa yang baru saja selesai membacakan tuntutan dalam perkara pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru. Sang terdakwa seolah tak percaya bahwa para jaksa telah melayangkan tuntutan yang lumayan tinggi: hukuman penjara seumur hidup.
Tuntutan itu dibacakan oleh empat jaksa?Syaiful Taher, Nova Saragih, Desi Muthia, dan Bangkit Sormin?secara bergiliran dalam sidang yang digelar di Pengadilan Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Mereka menilai terdakwa bersalah membobol uang negara sebesar Rp 1,2 triliun.
Selain dituntut hukuman yang berat, Adrian juga diminta membayar denda Rp 1 miliar dan mengembalikan dana Rp 6,8 miliar. "Dari fakta sidang tidak terungkap hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidananya. Kare-nanya, Adrian harus dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya," ujar Syaiful Taher, ketua tim jaksa.
Keterlibatan terdakwa dalam kasus pembobolan BNI bermula dari perkenalannya dengan Maria Pauline Lumowa, salah seorang tersangka, yang kabur ke luar negeri. Menurut jaksa, Adrian direkrut untuk menangani PT Sagared Team, sebuah usaha marmer yang sedang dirintis di Kupang. Persisnya, ia dipercaya sebagai konsultan investasi yang memiliki kewenangan cukup luas mengelola perusahaan itu.
Demi mendapatkan modal usaha, Maria berkenalan dengan Edy Santoso, Manajer Pelayanan Nasabah Luar Negeri Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebagai orang yang ikut mengelola perusahaan, Adrian pun diperkenalkan dengan Edy. Agar mendapat dana, menurut jaksa, Maria menggunakan beberapa perusahaan?salah satunya PT Gramarindo Mega Indonesia?yang seolah-olah mengadakan ekspor dan mengajukan pencairan pinjaman dengan letter of credit (L/C).
L/C itu belakangan bermasalah karena berdokumen fiktif. Anehnya, pengajuan pencairan L/C yang dilampiri dokumen fiktif pada Bank BNI berlangsung hingga mencapai 41 lembar. Dana hasil pencairan L/C dan ditempatkan ke berbagai rekening Gramarindo Group. Jaksa juga mengungkapkan, atas perintah Adrian, duit lalu ditransfer ke berbagai rekening untuk berbagai proyek Sagared Team serta untuk kepentingan Adrian pribadi dan Maria Pauline Lumowa. "Ini menunjukkan persetujuan dan kesepakatan terdakwa," kata jaksa.
Menanggapi tuntutan itu, Adrian mengakui kebenaran fakta yang diajukan jaksa. Namun, ia menegaskan, semua fakta itu harus "ada penjelasannya". "Saya siap bertanggung jawab dan dihukum jika dinyatakan bersalah, tapi harus proporsional," ujarnya.
Terdakwa menilai fakta dalam tuntutan selalu diputar-putar oleh jaksa. Ia mencontohkan, perjanjian jaminan pribadi atas L/C Gramarindo Group senilai US$ 100 juta yang ditandatangani pada 26 Agustus 2003. Menurut Adrian, kenyataannya, 41 lembar L/C itu sudah cair pada Juli 2002.
Di mata pengacaranya, Yan Juanda Saputra, terdakwa tidak terlibat dalam pengajuan L/C karena ia hanya menjadi konsultan investasi. Sang pengacara juga menegaskan, seharusnya kasus ini merupakan perkara perdata karena adanya Akta Pengakuan Utang. Itu sebabnya, Yan Juanda pun kaget ketika jaksa menuntut kliennya dengan hukuman penjara seumur hidup.
Beratnya tuntutan tersebut diduga bukan atas kemauan tim jaksa yang menanganinya langsung. Yan Juanda mengaku mendapatkan informasi bahwa terjadi perubahan ketika rencana tuntutan disodorkan ke para atasan. Katanya, pihak Kejaksaan Negeri setuju terdakwa dihukum 10 tahun penjara, tapi pihak Kejaksaan Tinggi menaikkannya menjadi 13 tahun penjara. Nah, "Setelah sampai di Kejaksaan Agung, tuntutannya menjadi penjara seumur hidup," ujarnya. Yan menyimpulkan, kasus yang dihadapi kliennya menjadi komoditas politik semata.
Perubahan itu dibenarkan oleh seorang anggota tim jaksa kendati versinya berbeda. Dia membisiki Tempo bahwa sebenarnya jaksa tidak menuntut Adrian seumur hidup, melainkan 18 tahun. Namun, tuntutan itu berubah ketika sampai di Kejaksaan Agung. "Tuntutan seumur hidup itu langsung dari Jaksa Agung," katanya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sudhono Iswahyudi, cuma berkomentar singkat mengenai perubahan itu. "Jaksa adalah satu," ujarnya.
Juru bicara Kejaksaan Agung, R.J. Soehandojo, membenarkan adanya mekanisme rencana tuntutan. Intinya, tuntutan yang akan dibacakan jaksa di persidangan selalu dilaporkan ke atasan, terutama untuk kasus-kasus yang menyedot perhatian publik. Namun, Soehandojo menegaskan, perubahan rencana tuntutan dalam kasus Adrian adalah karena pertimbangan aspek yuridis semata. Dampak perbuatan terdakwa telah merusak citra perbankan. "Selain itu, ia pernah mempersulit pemeriksaan karena melarikan diri," katanya.
Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo