Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membujuk Pesakitan

Penggunaan psikolog sangat berperan dalam proses pemeriksaan. Banyak kasus yang bisa diungkap. misalnya kasus pembunuhan Darwis Bendaharawati Sia, Dewi dan Asmara Gunawan. Tenaga psikolog masih minim.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESOSOK mayat tanpa kepala ditemukan di tepi jalan di Loa Janan di Kutai. Tak pelak lagi, itu korban pembunuhan. Sebelum petugas Polsek Loa Janan melakukan pelacakan, seorang pria datang melapor. Ia bernama Bacok, 25, dan mengaku kenal dengan Darwis - mayat yang ditemukan tanpa kepala itu. "Kami dirampok orang bermobil. Saya diikat dan dilempar ke sungai, sedang nasib Darwis saya tak tahu," begitu pengakuan Bacok. Ia tetap berkeras dengan pengakuan itu, meski polisi tak begitu yakin. Kapolda Kalimantan Timur, Brigjen Jacky Mardono, yang dilapori lantas mengirim dua psikolog polisi. Lewat pemeriksaan yang lemah lembut, Bacok akhirnya menangis. Dia mengaku sebagai pembunuh Darwis, suatu malam, dua pekan lalu. Beberapa waktu lalu, ia menitipkan uang Rp 130 ribu kepada Darwis untuk diserahkan kepada H. Attandu, sebagai pembayar utang. Uang itu ternyata diselewengkan. "Saya jadi malu kepada Attandu," ujar tersangka, yang kini ditahan. Jacky menilai, kehadiran psikolog sangat bermanfaat dalam proses pemeriksaan. "Ini kasus pembunuhan kedua di Kal-Tim yang bisa terungkap berkat bantuan psikolog," katanya. Kasus pertama terjadi tahun lalu. Sama seperti Bacok, ketika itu seorang wanita mengaku dirampok hingga suaminya tewas. Ternyata, setelah "dibujuk" psikolog, wanita itu mengaku sebagai pelaku. Ia jengkel karena suaminya main serong. Di Polda Sumatera Utara, psikolog polisi sering pula berperan dalam pemeriksaan, meski tak harus hadir secara fisik. Misalnya dalam kasus Dewi, bekas bendaharawati SIA yang baru saja divonis 2 tahun 9 bulan karena terbukti melakukan penggelapan (lihat Hukum:Dei dan Vonisnya). "Mulanya, kami kewalahan karena setiap diperiksa, ia selalu bungkam. Tak mau bicara barang sepatah," tutur seorang perwira di Medan. Psikolog dipanggil. Berdasarkan pemeriksaan psikologis, diketahui bahwa wanita muda bertubuh kecil itu membanggakan kecantikannya. Petugas pemeriksa segera tahu dari mana ia harus memulai "menggarap" Dewi. "Kamu sebenarnya cantik. Sayang, kalau kecantikanmu hanya dilihat para tahanan. Harapanmu masih banyak, bila cepat keluar dari LP. Keteranganmu yang lancar tentu akan meringankan hukuman terhadapmu," begitu selalu, yang ditiupkan pemeriksa. Dan perubahan terjadi. Dewi mulai memoles wajahnya: wajahnya, yang biasa kuyu, tampak mulai berseri. Rasa percaya dirinya muncul, dan - ini yang penting - Ia mulai mau buka mulut. Asmara Gunawan, tersangka penipuan Rp 2 milyar, "digarap" dengan cara sama. Psikolog yang memeriksa berkesimpulan bahwa pengusaha yang menipu sejumlah pengusaha lain di Medan itu teramat menyayangi harta. Anak, istri, atau saudara, boleh dibilang, tak diacuhkan. "Tahu begitu, kami katakan bahwa sebagian uangnya telah dipakai foya-foya ke Belanda oleh abangnya," kata sebuah sumber. MENDENGAR itu, hati Gunawan panas. Dia mau berbicara panjang lebar, dan pemeriksa tinggal mengarahkan untuk keperluan penyidikan. Gunawan, akhirnya, divonis 3 tahun 6 bulan karena terbukti melakukan penipuan. Penggunaan psikolog, kata seorang perwira di Polda Sumatera Utara, hanya terbatas bagi tersangka yang tergolong white collar crime--kejahatan yang menggunakan otak. Bagi tersangka jenis ini, pemeriksaan menggunakan gertakan atau main paksa tak akan membuahkan hasil. Main paksa dan kekerasan, katanya, hanya cocok untuk tersangka tindak kekerasan pula, seperti perampok, penodong, dan penjambret. Di Polda Jakarta, jasa psikolog terutama dimanfaatkan untuk kasus yang tersangkanya anak-anak, atau kasus yang menarik perhatian masyarakat. "Evaluasi dari psikolog bisa memudahkan pemeriksa dalam mengajukan pertanyaan kepada tersangka. Evaluasi itu sekaligus merupakan keterangan saksi ahli, yang bisa membantu hakim dalam menilai terdakwa," ujar Letkol S. Tarigan, Kadit Serse Polda Jakarta. Bila kehadiran atau keikutsertaan psikolog sulit diharapkan--karena jumlahnya paling satu atau dua, bahkan ada Polda yang belum mempunyai psikolog - pemeriksa bisa menempuh pendekatan lain. Si pemeriksa, kata Tarigan, bisa mempelajari latar belakang budaya dan sosial tersangka yang bersangkutan. Memeriksa tersangka dari suku Sunda, jelas, berbeda dengan tersangka suku Madura. Orang Madura biasanya malu dan paling pantang disebut pembohong. Maka, bila sekali waktu dia berkata bohong, harus langsung diingatkan tentang sifat orang Madura yang pantang bohong itu. "Setelah disentil begitu, biasanya ia langsung mau bicara terus terang," kata Tarigan lagi. Di Polda Jawa Barat, menurut Letkol Achmad Hidayat, Kabag Psikologi, "Semua kasus sebenarnya memerlukan kehadiran psikolog. Tak peduli apakah itu kasus kenakalan remaja, pencurian, perampokan, atau pembunuhan." Yang menjadi soal, sejak 1979 lalu, di Polda Jawa Barat hanya ada satu tenaga psikolog, yaitu Kapten Abdul Hidayat. Karena keterbatasan tenaga, Abdul Hidayat, 35, jadinya hanya turun tangan apabila ada permintaan dari bagian Serse. Bila tak ada permintaan, bukan berarti dia menganggur. Sebab, Bagian Psikologi di Polda umumnya juga bertugas ke dalam, seperti: menyeleksi calon anggota polisl, penempatan jabatan, sampai penanganan terhadap penyimpangan yang dilakukan oknum polisi Tenaga psikolog itu juga sering dimanfaatkan dalam bidang lalu lintas. Di Polda Kalimantan Timur, kata Jacky, psikolog ikut berperan dalam pemberian SIM - terutama untuk SIM kendaraan umum. "Berdasarkan evaluasi psikologi, bisa diketahui pengemudi-pengemudi mana yang tak layak diberi SIM. Dengan itu, angka kecelakaan lalu lintas akibat sopir yang ugal-ugalan bisa ditekan," kata Jacky. Kalau dianggap penting, mengapa tenaga psikolog sangat minim? Kapten Abdul Hidayat menjawab. Polda Jawa Barat, katanya, setiap tahun membuka kesempatan bagi psikolog yang ingin mengabdi di kepolisian. Tapi, agaknya, kesempatan itu kurang mendapat tanggapan. "Psikolog mungkin lebih tertarik bekerja di swasta, karena bisa mendapat penghasilan lebih besar," katanya. Sur Laporan Rizal Effendi (Balikpapan), Monaris S. (Medan), Aji A. Gofar (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus