TIGA hari setelah ditemukan mayat gadis Dilia, 25, Voorhonger Lulumbowo mengadakan selamatan. "Agar jangan ada lagi kisah seperti dialami Dilia," katanya, kepada para tetangga yang diundang makan besar. Usai makan, dengan suara penuh wibawa voorhonger - pemuka Protestan, setingkat di bawah pendeta itu berkata, "Siapa di antara kalian yang membunuh gadis itu?" Suasana sejenak hening. Sedetik kemudian, Japati, 20, mengacungkan tangan dan berucap lirih, "Saya." Penduduk lereng Tor Kudo, Tapanuli Selatan, itu berbisik satu sama lain. Japati adalah keponakan sang pemuka agama itu sendiri. Sampai di situ, teka-teki pembunuhan Dilia seolah sudah terjawab. Petugas dari Polsek Siabu pimpinan Letda Alimun Harahap datang untuk menangkap Japati. Waktu diperiksa, pemuda itu menunjukkan barutan di dada, yang dikatakan bekas dicakar korban. Polisi menaruh curiga. Luka cakar itu masih baru. Padahal, korban sudah tewas sembilan hari sebelumnya. Kecurigaan menebal saat Japati dibawa ke lokasi pembunuhan. "Dia cuma bengong. Kentara sekali dia tak tahu apa-apa," ujar seorang petugas. Lalu secara intensif dia ditanyai. Dan diketahuilah bahwa si pembunuh tak lain sang voorhonger sendiri. Januari ini, berkas perkaranya akan diserahkan ke kejaksaan. Dilia diketahui hilang pada 20 November 1985 lalu. Lima hari kemudian mayatnya ditemukan penduduk Tor Kudo, yang umumnya pendatang dari Nias. Di tubuh korban ada luka tikam. Lehernya bekas kena cekik dan di dada serta kepala dijumpai luka kena benda tumpul. Wanita itu sedang hamil. Dilia baru setahun tinggal di situ, menumpang di rumah kakaknya, J. Zega. Sejak dia datang, dia menjadi incaran para pemuda. Di dusun terpencil, yang hanya dihuni sekitar 100 jiwa itu, hanya ada tiga gadis dan Dilia yang tercantik. Lulumbowo, 45, yang sudah punya empat anak, ikut'naksir. Mereka menjalin hubungan cinta secara diam-diam, sampai Dilia hamil. Belakangan, Dilia mendesak minta dikawini. "Kalau tidak, bunuh saja saya, agar tidak menanggung malu," begitu konon kata korban menurut pengakuan tersangka. Lulumbowo tak menunggu lama. Ia mencekik dan melilit leher korban dengan kain, menusuknya dengan pisau, dan menghantamkan batu ke kepala serta dada. Usai membunuh, tersangka kasak-kusuk. Kepada penduduk ia mengemukakan, bagaimana caranya agar hilangnya Dilia tak usah diungkit-ungkit, agar tak ada yang dipanggil polisi. Ia juga menemui kakak korban, sembari berkata, "Jika Dilia ditemukan, kau tak akan menuntut, 'kan?"Jawab Zega, "Tidak, asal saja dia masih hidup." Meski ucapan-ucapan Lulumbowo terasa ganjil, orang-orang tak ada yang curiga padanya. Dia 'kan voorhonger yang dihormati. Japati, si keponakan, ternyata membuktikan lain. Kepada pemeriksa, ia menyatakan disuruh mengaku sebagai pembunuh oleh pamannya sebagai balas budi. Sejak kecil, pemuda itu memang ikut sang paman. Istri tersangka, kemudian juga memperkuat tudingan terhadap Lulumbowo. Si istri mengaku diajak pindah sebelum kasus pembunuhan Dilia terbongkar. Betapa marahnya penduduk ketika tahu voorhonger yang dihormati telah berkhianat. Ia nyaris dikeroyok saat dilakukan rekonstruksi belum lama ini. "Pendeta tak tahu malu," mereka berteriak. Dan tersangka hanya bisa menangis. "Saya silap," ujar tersangka dari balik tahanan kepada TEMPO. Surasono Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini