Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ujian Negara 1986, Pokoknya Lulus

Rumus nilai STTB diubah lagi. Bobot ebtanas paling tinggi sama dengan ujian sekolah atau bergerak antara 2 dan 0,5. Siswa yang lulus akan semakin banyak. Nem tetap menentukan seleksi siswa & mahasiswa.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK sekadar lulus tampaknya gampang. Rumus untuk menentukan nilai ijazah yang kini disebut STTB (surat tanda tamat belajar) tahun lalu, seperti diketahui, terpaksa diubah. Agar, jumlah siswa yang tidak lulus diperkecil. Untuk ujian negara tahun ini - direncanakan akan dimulai 8 April nanti - dengan sedikit dipermak, bulan lalu rumus yang diubah itu justru dibakukan. Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional, atau ujian negara, tahun lalu. diterapkan lagi dengan maksud: mendapatkan standar mutu lulusan. Berbeda dengan ujian negara tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun lalu kelulusan siswa ditentukan oleh dua hal. Yaitu nilai rapor dan nilai ujian negara. Tujuannya, agar nasib murid tak cuma ditentukan oleh ujian yang hanya berlangsung beberapa hari itu. Ini, tentu, sebuah kemajuan. Repotnya kemudian, bagaimana cara menggabungkan dua nilai itu agar diperoleh nilai yang, katakanlah, obyektif. Lalu lahirlah rumus nilai STTB yang menghebohkan itu: (P+Q+nR):(2+n). P, nilai rapor semester pertama kelas terakhir. Q, nilai ulangan semester kedua kelas terakhir. R, nilai Ebtanas. Dan n, ini yang bikin heboh, adalah bobot R, yang waktu itu ditentukan sama dengan 3. Dengan itu nilai STTB memang lebih mendekati nilai Ebtanas daripada nilai rapor: 60% nilai STTB ditentukan oleh R. Tapi itulah soalnya. Ternyata, bila rumus itu benar-benar diterapkan, akan banyak sekali siswa yang tak lulus, baik di SD, SMTP maupun SMTA. Soalnya, nilai R (nilai Ebtanas) yang diperoleh anak-anak itu sangat rendah. Maka, ditempuh kebijaksanaan. Nilai n diturunkan, boleh dipilih antara 0,1 dan 3. Menurut pihak Departemen P & K, ternyata sebagian besar sekolah di seluruh Indonesia menggunakan n antara 0,2, dan 0,5. Gunawan Rahardjo, 43, Kepala STM Pringsewu, Lampung, berterus terang, "Kami menggunakan n=0,3 Kalau lebih dari itu banyak siswa kami tak bakal lulus." Hanya untuk Pendidikan Moral Pancasila, bobot R bisa di atas 2. "Memang," kata Asmui Lubis, 45, guru Bimbingan dan Penyuluhan di SMP Harapan I, Medan, "nilai Ebtanas tahun lalu bergerak antara 2 dan 4." Bahkan di beberapa daerah, khusus untuk nilai Fisika dan Matematika, tak sedikit siswa yang nilai Ebtanasnya di bawah 1. Dilihat dari kenyataan tahun lalu itu, penetapan nilai n sekarang memang sebuah tantangan. Lewat satu pertemuan dengan para Kepala Kanwil Departemen P & K seluruh Indonesia, tutur Hasan Walinono, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, akhirnya disepakati n bergerak antara 2 dan 0,5. Batas maksimum ditentukan lebih rendah daripada tahun lalu, sementara batas minimum lebih tinggi. Batas minimum itulah yang bisa jadi persoalan, mengingat tak sedikit sekolah yang memakai nilai n di bawah 0,5. Dengan rumus itu pula ditetapkan bobot soal Ebtanas tertinggi akhirnya hanya sama dengan ujian sekolah. R hanya punya pengaruh 50% pada nilai STTB. Separuh nilai yang lain ditentukan oleh angka rapor. Itu nilai n yang tertinggi. Untuk yang terendah, 0,5 tadi, andil R dalam menentukan nilai STTB hanyalah 20%. Dengan perhitungan yang sudah jelas itu, mulai sekarang sudah bisa diperhitungkan umpamanya bila ada sekolah yang punya ambisi meluluskan semua siswanya. Coba saja hitung. Bila angka rapor semester pertama 6, dan semester kedua 7, dengan n=0,5, seorang siswa hanya perlu mendapatkan nilai Ebtanas 4 agar dinyatakan lulus. Makin tinggi nilai rapor makin rendah pula nilai Ebtanas untuk sekadar bisa lulus. Bila angka rapor seorang siswa dalam dua semester 8 dan 8, umpamanya, maka teoretis ia bisa tak usah mengerjakan Ebtanasnya. Dengan angka tersebut, bila tetap dipakai n=0,5, nol untuk ujian negara pun siswa tersebut bisa mendapatkan angka STTB 6, dan lulus. Maka, tidak tahun lalu tidak tahun sekarang, kata Morlan Silaban,Kepala SMAN I Medan, "guru harus punya sikap dan mental yang baik." Maksud kepala sekolah berusia 56 tahun ini, supaya nilai rapor benar-benar mencerminkan kemampuan siswa dan bukannya merupakan nilai katrolan. Tapi di situlah sulitnya. Bukan rahasia lagi, di sejumlah sekolah yang kurang maju, para guru terbilang berani memberikan angka rapor. Ini diakui sendiri oleh Dahlan Manik, Kepala SMA PGRI 12 Helvetia, Medan. "Supaya banyak yang lulus, dan karena itu sekolah makin dipercayai masyarakat," kata Dahlan. Itu sebabnya, tuturnya kepada Amir S. Torong dari TEMPO, "juara kelas di sini dengan nilai rapor rata-rata 8, sebenarnya kemampuannya kalah dengan siswa sekolah favorit yang rata-rata angka rapornya cuma 6." Memang benar bahwa nanti yang boleh menentukan nilai n hanyalah pihak Kanwil P & K setempat bukannya tiap-tiap sekolah bisa menentukan angka n seenaknya sendiri. Tapi melihat pengalaman selama ini, kanwil pun agaknya akan memilih jalan aman daripada menimbulkan keresahan. Ini semua bukan tak disadari oleh pihak Departemen P & K. Hasan Walinono, Dirjen itu, mengakui, melihat kemampuan siswa dan sekolah hanya dari STTB, sulit. Bukan itu yang harus dilihat, tapi nilai Ebtanas murninyalah, katanya. Dan bila untuk tahun ini batas minimum angka n bisa ditentukan 0,5 - lebih tinggi dari nilai n yang dipakai sebagian besar sekolah tahun lalu - itu karena memang ada yang berbeda dalam soal-soal Ebtanas nanti. Yakni, atas kesepakatan semua Kepala Kanwil P & K seluruh Indonesia, soal Ebtanas tak lagi sepenuhnya diambilkan dari bank soal. "Soal Ebtanas disusun oleh wakil-wakil dari Kanwil dengan pedoman soal dari bank soal." Dengan cara ini diharapkan bobot Ebtanas tetap, tapi dengan materi yang sesuai dengan kemampuan daerah. Itu berarti, materi soal yang diberikan di Jakarta, misalnya, akan berbeda dengan yang untuk sekolah di Irian Jaya. Betapa longgar pemerintah memberikan jalan untuk lulus, bisa dibuktikan dengan prioritas yang diberikan untuk sejumlah daerah. "Untuk sekolah di daerah terpencil dan kondisinya belum baik," kata Hasan Walinono, "diberikan wewenang menggunakan nilai n kurang dari 0,5." Jadi, apa artinya lulus sekolah sekarang? Bambang Bujono Laporan Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus