Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membunuh korban perkosaan

Yayasan Kalyanamitra menyelenggarakan diskusi "perkosaan di Indonesia". stereotip tentang perkosaan membahayakan kondisi kejiwaan korban. Pandangan ini terutama dibentuk mitos. Bisa membunuh korban.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN korban perkosaan itu, dengan wajah dan pakaian lusuh, duduk terisak di kantor polisi. Beberapa polisi ada yang serius mendengar pengaduannya, tetapi lebih banyak yang senyum-senyum. "Diperkosa, nih ye ...," seorang di antara mereka berkomentar. Kisah yang sesungguhnya terjadi itu dikemukakan Psikolog Sartono Mukadi dalam diskusi "Perkosaan di Indonesia" Pertemuan yang diselenggarakan Yayasan Kalyanamitra di Balai Pertemuan UNIC, Jakarta, Kamis pekan lalu itu mempertanyakan perangkat hukum dan sikap masyarakat terhadap korban perkosaan. Hari itu, Sartono ingin menunjukkan bagaimana korban perkosaan sering menjadi bulan-bulanan. Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu, seyogyanya polisi bersikap melindungi korban, bukan melecehkannya. Ternyata, bukan cuma oknum polisi yang bersikap demikian. Pengacara Chairunnisa Jafizham, S.H. mengisahkan, bahkan ada hakim yang cenderung sama. "Di pengadilan, para hakim lelaki berebutan menanganinya karena mereka menganggapnya lucu," tutur Chairunnisa. "Tanya jawab di pengadilan menjadi semacam hiburan bagi mereka." Maka, Sartono mengimbau agar polisi dilatih menghadapi korban perkosaan yang terancam efek psikologis seumur hidup. "Karena itu, sebaiknya polwan atau psikolog ikut dalam proses verbal. "Sehingga, korban merasa lebih comfortable dan tak dilecehkan," katanya. Ia juga merekomendasikan pembentukan Women Crisis Centre, yaitu lembaga bantuan korban perkosaan yang diusulkan Kalyanamitra. Brigjen. Pol. Tony Sidharta, yang mewakili pihak polisi dalam diskusi itu, membela diri dengan tersenyum. Direktur Reserse yang baru dilantik ini mengutarakan, "Soalnya, banyak wanita yang belakangan ketahuan bukan diperkosa, tetapi malah minta diperkosa." Sri Wardah dari Kejaksaan Tinggi Jakarta menjelaskan pernyataan yang samar itu. "Banyak kasus perkosaan, sesudah ditangani polisi, ternyata laporan palsu." Tapi, dari 1.661 kasus perkosaan tiap tahun, dalam data Yayasan Kalyanamitra, berapa yang palsu? Ternyata, baik Sri Wardah, maupun kepolisian tidak bisa menjawabnya. Sehingga Psikiater dr. Dadang Hawari berpendapat, masyarakat bahkan sering menunjukkan sikap sama. Umumnya karena mereka tak menyadari sepenuhnya akibat perkosaan. "Gangguan yang paling serius yang belum umum diketahui adalah stres pasca-trauma, atau stres setelah mengalami trauma," katanya. Trauma fisik berupa luka atau kerusakan, misalnya pada selaput dara, sekarang bisa diatasi. Tapi, menurut Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, trauma psikologis justru sulit disembuhkan. Trauma ini seperti gangguan ingatan, keinginan mengucilkan diri, dan frigiditas. Bahkan itu bisa berkembang menjadi keinginan bunuh diri, bila stres tersebut menjadi lebih berat karena sikap tidak percaya pada polisi, hakim, dan masyarakat. Apalagi korban sering sulit membuktikan perkosaan. "Bagaimana kalau pemerkosanya menggunakan kondom?" tanya Dadang. Karena itu, dr. Abdul Mun'im Idries, ahli kedokteran forensik yang hadir dalam diskusi tadi, menambahkan, "Administrasi pengaduan kasus perkosaan memang ruwet dan layak dipertanyakan kembali." Di Indonesia, misalnya, korban baru bisa memperoleh visum bila polisi memberi surat pengantar pada dokter. Kenapa korban tidak boleh langsung ke dokter saja? Berbagai teori dan asumsi mengapa lelaki memperkosa dibahas pula dalam diskusi itu. "Lelaki memang lebih cepat terangsang, meski hanya baru melihat betis wanita. Sedangkan wanita tidak terangsang, sekalipun ketika melihat lelaki telanjang," ujar Sri Wardah. Malah, contoh di zaman Rasulullah juga diangkat. Menurut Nur Abdurrahman Wahid dari KNKWI (Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia), pada masa itu kasus perkosaan tak banyak terjadi, karena pakaian wanita tertutup. Tapi Dadang Hawari tidak sependapat dengan kedua asumsi ini. Sebab, lebih sering korban perkosaan itu adalah wanita yang berpakaian baik-baik. Ia menunjuk kasus seperti tahanan wanita yang diperkosa polisi: apa setelah melakukan provokasi? Juga ada mahasiswi diperkosa segerombolan anak muda dalam mikrolet ketika pulang kuliah. Perkosaaan, kata Dadang, tidak berawal dari provokasi yang memberikan dorongan seksual, tapi datang dari ide, gambaran, dan rangsangan yang dialami sang pemerkosa "sebelum" bertemu dengan korban. Pendorongnya bisa alkohol, narkotik, atau pornografi. Itu semua berasal dari agresi dalam diri manusia. Wanita yang lewat, apakah cantik atau jelek, seksi atau tidak, lalu menjadi pemicu agresi itu. Artinya, seorang pemerkosa tidak memperkosa wanita sebagai individu, tapi sebagai obyek seksual bagi pemuasan suatu dorongan. Kemudian Sita Kayam, koordinator Yayasan Kalyanamitra, dalam diskusi itu menyodorkan hasil studi tahun 1988 kelompok AWAM (All Women Action Society) Malaysia. Penelitian membuktikan berbagai kontradiksi antara mitos dan fakta perkosaan. Mitos perkosaan, misalnya, percaya bahwa peristiwa itu selalu terjadi di tempat gelap dan terpencil. Kenyataan membuktikan bahwa perkosaan lebih sering di tempat kerja, rumah pelaku, atau rumah korban. Mitos juga menggiring pandangan masyarakat -- hingga percaya -- hanya perempuan genit yang jadi mangsa perkosaan. Hasil studi memperlihatkan tindak perkosaan umumnya tidak berkaitan dengan perilaku wanita. Dan yang paling menarik, tidak benar mitos yang mempercayai bahwa perkosaan terjadi karena birahi lelaki muncul ketika ia melihat perempuan. Menurut studi AWAM, perkosaan lebih banyak didorong watak ganas. Akhirnya, diskusi tersebut menyimpulkan: masyarakat, polisi, dan penegak hukum supaya mengkaji kembali pandangan-nya tentang perkosaan. Mitos yang membangun pandangan stereotip malah bisa membunuh korban. Leila S. Chudori dan Yudhi Soerjoatmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus