SEPULANG dari pertemuan tahunan Asian Development Bank di New Delhi, Menteri Keuangan Sumarlin akan mampir ke Hong Kong. Tapi di sini Sumarlin tidak bisa sepenuhnya beristirahat. Pada hari Senin, 7 Mei 1990, ia meresmikan pembukaan kantor Bapindo di koloni Inggris itu. Sebuah subsidiari dalam bentuk lembaga keuangan dengan status RLB (Restricted Licensed Bank) yang dulu disebut sebagai Licensed DTC (Deposit Taking Company): Dengan langkah ini, Bapindo menjadi bank pemerintah terakhir yang masuk ke Hong Kong. Februari lalu, BRI sudah pula membuka kantor di sana, dengan status DTC (Registered). Bank pemerintah lainnya, seperti Bank Eksim dan Bank Dagang Negara sudah masuk lebih dulu. Sedangkan BNI masuk Hong Kong sejak 1960-an -- statusnya sudah mantap, yakni bank cabang. DTC sendiri, yang di Indonesia mirip dengan LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank), baru diberi kesempatan beroperasi oleh pemerintah Hong Kong pada awal 1970-an. Sebagai pusat perdagangan dan keuangan Hong Kong tak ubahnya perempuan sexy yang tak pernah habis daya pikatnya. Sejak 1976 Pemerintah RI memberikan keleluasaan bagi bank-bank pemerintah dan swasta untuk melebarkan sayap ke luar negeri, dengan memanfaatkan maksimum 30% dari kekayaannya. Tak heran bila, di samping bank pemerintah, sederet bank swasta nasional juga berebut ke Hong Kong. Ada BII, Bank Summa, Bank Niaga Bank Duta, dan beberapa lainnya. Sebagai kelompok, 16 DTC dari Indonesia itu, dengan aset gabungan lebih dari HK$.11 milyar, termasuk dalam tiga besar LKBB asing -- bersama lembaga sejenis dari AS dan Jepang. Kendati Hong Kong akan dikembalikan kepada RRC pada 1997, dan dari sekarang sudah banyak warga koloni itu beremigrasi, bank-bank milik Indonesia justru memperkuat cengkeramannya di sana. Ternyata pemulihan hubungan diplomatik RI-RRC telah merupakan faktor pendorong yang kuat. Tapi sekarang mereka perlu menyiapkan jurus baru. Soalnya, belakangan ini Hong Kong sedikit "tahan harga" melalui kebijaksanaan (regulasi) baru. Dimulai dengan penggolongan industri perbankan menjadi tiga kategori: Licensed Bank (total aset US$ 14 milyar, dengan segala aktivitas sebagaimana layaknya bank) Registered Licensed Bank (RLB, modal disetor minimum HK$ 100 juta) dan DTC (dulu Registered DTC, dengan modal cukup HK$ 10 juta, sekarang paling tidak HK$ 25 juta). Ketua Hong Kong Indonesia Bankers Association (HIBA), E.C.W. Neloe -- sehari-harinya kepala perwakilan BDN dan Managing Director Staco International Finance Limited (subsidiari BDN) -- mengatakan bahwa pemerintah Hong Kong akan melakukan kontrol dengan tiga ukuran: likuiditas, legal lending limit, dan capital adequacy ratio. Sejumlah DTC memang segera memperbanyak modal, supaya tidak didiskualifikasi. Duta International Finance Co. Ltd. (milik Bank Duta), misalnya, menurut general managernya, Farid Rahman, April ini juga sudah langsung menyesuaikan diri. "Kami akan meningkatkan modal menjadi HK$ 25 juta," kata Farid. Kesempatan untuk penyesuaian berlaku sampai Februari 1991. Maka, General Manager Niaga Finance Co. (Bank Niaga) Paulus Wiranata masih bisa mengatakan, "Akan meningkatkan diri atau tidak, kami tidak buru-buru memutuskannya." Sedangkan DTC milik BRI yang baru lahir itu awal tahun depan akan jadi RLB. "Izinnya kami proses mulai pertengahan tahun ini, sambil memantau seberapa besar hasil DTC kami," kata Winarto Soemarto, salah satu direktur BRI yang membidani DTC tersebut. Ketentuan Commissioner of Banking itu sendiri, menurut Manajer Finance Department dari The Hongkong Chinese Bank (THCB) Tony Hidajat, merupakan hasil rundingan antara para bankir dan pemerintah. "Tampaknya, pemerintah hendak membersihkan DTC yang tidak punya dukungan bank. Ini dalam rangka meningkatkan reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan," kata Tony. THCB (milik Lippo Group 65% dan Liem Sioe Liong 35%) memayungi tiga DTC: Stephen Finance, Central Asia Capital Corp (kerja sama BCA & Lippo), dan Hong Kong Chinese International Finance. Bapindo, yang langsung mendirikan RLB, sudah bisa dipastikan memasang modal HK$ 100 juta. "Tapi izin RLB kami baru bisa keluar sekitar Juni. Tanggal 7 Mei itu hanya peresmian kantor, dikaitkan dengan perjalanan Pak Sumarlin," kata Presiden Direktur Bapindo, Subekti Ismaun. Menghadapi regulasi pemerintah Hong Kong, dengan situasi persaingan yang ketat sehingga margin 2% sudah tinggi dan return on capital ratarata 15%, apa kiatnya? "Kami masih di tingkat taman kanak-kanak. Harus banyak belajar dari rekan-rekan yang sudah lebih dulu," kata Subekti merendah. Barangkali ia bisa mengintip strategi Staco, yang menjaring nasabah dengan akses bisnis Indonesia -- Hong Kong. "Ini pasar tersendiri, yang memberikan comparative advantage bagi DTC Indonesia," kata Neloe. Operasi Staco 70% memang ke sasaran itu. Hasilnya: mulai operasi pertengahan 1987 bermodal HK$ 25 juta, enam bulan kemudian asetnya HK$ 270 juta dan untung HK$ 2,1 juta. Akhir 1988 asetnya HK$ 942 juta, keuntungan lompat ke HK$ 9,5 juta. Tahun 1989, dengan aset naik ke HK$ 1,5 milyar, untungnya mendekati HK$ 20 juta. Neloe, 46 tahun, yang memimpin Staco sejak awal, akhir Februari lalu melangkah ke depan lagi. Perusahaannya menerbitkan sertifikat deposito berjangka yang bisa dipindahtangankan, total senilai US$ 33 juta -- jatuh tempo 1993. Mohamad Cholid, Herry Mohammad, Tommy Tamtomo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini