TERBUNUHNYA Ngati Pu'ana Syamsu di depan rumah Kepala Polda Sulselra, Ujungpandang, kembali menjadi teka-teki. Sebab, Abdul Majid, yang sebelumnya divonis 15 tahun penjara karena dianggap terbukti bersalah, ternyata, dibebaskan dalam tingkat banding. "Tuhan Mahaadil," ucap Majid, ketika dilepaskan dari LP Ujungpandang, dua pekan lalu. Ngati Pu'ana Syamsu, 50, ditemukan tewas penuh luka-luka di rumah Nona Baiduri Aco, Sekretaris Kepala Stasiun TVRI Ujungpandang. Sebelum ditemukan mati Ngati memang sudah lama menumpang di rumah Baiduri, yang konon anak asuhnya. Ngati ditemukan tewas pada pukul 10 pagi dalam keadaan kaku, oleh Ridwan, 20, seorang remaja yang juga menumpang di rumah itu sejak beberapa hari sebelum peristiwa terjadi. Artinya, sudah cukup lama korban tewas. Padahal, si empunya rumah, Baiduri, mengaku korban masih segar bugar ketika ditinggalkannya ke kantor pada pukul 7.30. Sementara itu, Ridwan juga mengaku korban masih hidup, ketika ia keluar rumah untuk membeli telur, pukul 9.00, pagi itu. Dua orang lainnya yang menginap di rumah itu Fachruddin Aco -- kakak Baiduri -- bersama istrinya, mengaku lebih cepat pergi dari Baiduri di pagi itu. Selain waktu, teka-teki juga muncul mengenai mengapa wanita tua itu dibunuh. Sebab, perhiasan yang melekat di tubuh korban masih utuh ketika mayat ditemukan, sementara Baiduri mengaku kehilangan perhiasannya senilai Rp 20 juta. Polisi semula mencurigai penghuni rumah sebagai pelaku, tapi akhirnya Majid, 40, yang duduk di kursi tersangka. Penduduk Kota Sidrap itu, pada pagi yang nahas tadi, memang datang ke rumah Baiduri untuk mencari Fachruddin, kakak si empunya rumah. Menurut Majid, ia muncul di rumah itu dibonceng motor temannya, Mustaid, untuk meminta Fachruddin, bekas tetangganya di Majene, menguruskan pekerjaan buat keponakannya. Tapi, ketika ia menekan bel rumah sekitar pukul 10 pagi itu, katanya, tidak ada yang membukakan pintu. Sebab itu, tutur Majid, ia mencoba mengintip dari garasi. Ketika ia mengintip itulah Ridwan -- yang tadi mengaku keluar beli telur - datang. Anak muda itu, sambil menanyai identitas Majid, menjelaskan bahwa Fachruddin sudah ke kantor. Majid mengaku diajak ke rumah oleh Ridwan. Ketika itulah Ridwan menjerit karena mendapati Ngati terbunuh. Kecurigaan memang jatuh kepada Majid. "Ia 'kan tahu Fachruddin itu pegawai negeri -- buat apa pagi-pagi ia mencari ke rumah?" tuding Baiduri. Polisi menangkap Majid di rumahnya, di Sidrap, 7 Maret 1985. Di rumah itu pula petugas menyita sebuah badik, arloji, dan perhiasan milik istri tersangka. "Sejak di Sidrap, saya disiksa dan dipukuli polisi, sampai-sampai kaki dan tangan saya remuk," ujar Majid, sambil memperlihatkan bengkak dan memar di punggung tangannya. Sebab itu, ia mengaku saja apa yang dituduhkan. Tuduhan terhadap Majid itu semakin mantap setelah Mustaid, yang memboncengkannya ke rumah Baiduri, juga memberatkan terdakwa. Konon, Mustaid melihat Majid masuk ke dalam rumah. Dan di luar ia mendengar suara "aduh". Di sidang, Mustaid menarik pengakuan mereka. Tuduhan terhadap terdakwa semakin lemah akibat dua saksi ahli yang diminta pembela, Sukarno Aburaera -- dr. Bandoso Randana dan Djumadi Achmad -- mengatakan bahwa mayat dalam keadaan "kaku penuh" ketika mereka periksa pukul 16 pada hari kejadian. Artinya, pembunuhan terjadi setidaknya 12 jam sebelumnya, atau sekitar pukul 3 sampai pukul 5 pagi. Tapi Jaksa A. Baso tetap berkeyakinan Majid bersalah dan karena itu menuntut 15 tahun penjara. Majelis hakim yang diketuai Nyonya Hafni Zahara sependapat dan memvonis sesuai dengan tuntutan Jaksa. Majelis hakim banding, ternyata, berbeda pendapat. Sebab, vonis peradilan bawahan hanya berpegang kepada kesaksian Mustaid di pemeriksaan polisi. "Satu kesaksian tidak bisa dijadikan alasan untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang," ujar seorang hakim anggota di tingkat banding. D.L. Mangiri, hakim anggota Pengadilan Negeri Ujungpandang, tetap berkeyakinan Majidlah pembunuh Ngati. Pertanyaan yang belum terjawab: Kalau bukan Majid, siapa pembunuh wanita tua itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini