Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menata Unjuk Rasa

Setelah ditangguhkan pemberlakuannya, Perpu Unjuk Rasa ditarik pemerintah dari DPR. Dan bersiap-siaplah karena materi ini kelak akan naik menjadi undang-undang.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia, koridor demokrasi masih dalam proses uji coba, karena itu gampang mulur-mungkret. Tilik saja, baru dua bulan reformasi Mei bersemi, pemerintahan Presiden B.J. Habibie segera memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Unjuk Rasa. Nama Perpu Nomor 2 Tahun 1998 yang disampaikan ke DPR 24 Juli lalu itu agak panjang: kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dari nama itu terkesan bahwa fokus Perpu ada pada kemerdekaan, tapi gregetnya malah terpaku pada penyempitan kemerdekaan. Tak aneh jika Perpu ini tak henti-hentinya diprotes masyarakat. Mungkin karena protes terlalu keras, tiga pekan lalu Perpu yang mengatur unjuk rasa, demonstrasi, bahkan juga "sensor pers" tersebut lalu ditangguhkan pelaksanaannya, sampai DPR memberi persetujuan agar Perpu dapat menjadi undang-undang. Begitu dibahas oleh DPR, Perpu tersebut semakin memicu gelombang kritik. Bersamaan dengan rentetan demonstrasi yang menuntut agar Perpu itu dicabut, Fraksi Persatuan Pembangunan dengan tegas menolak Perpu. Alasannya, kebebasan berpendapat mestinya diatur dengan undang-undang, bukan dengan Perpu. Selain itu, segerobak aturan pada Perpu tersebut dianggap lebih membelenggu ketimbang menjamin hak demokrasi. Pada Perpu, jumlah orang, perlengkapan, waktu, dan lokasi unjuk rasa ditentukan secara ketat. Jumlah pengunjuk rasa hanya boleh maksimal 50 orang. Lebih dari itu, mesti seizin polisi. Sementara itu, Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi PDI hendak menyempurnakan materi Perpu. Meski DPR hanya bisa memilih menyetujui atau menolak Perpu (selama ini DPR tak pernah menolak Perpu) mereka mau membuat konvensi--yang merupakan kebiasaan hukum tata negara--baru berupa amandemen Perpu. Alih-alih, pada Selasa pekan lalu, pemerintah melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto--pada pembahasan sebelumnya, pemerintah diwakili Menteri Kehakiman Muladi--menyatakan bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 1998 dicabut dari DPR. Selesai? Ternyata, belum usai para anggota DPR menarik napas lega karena ditariknya Perpu kontroversial tadi, Jenderal Wiranto menambahkan bahwa pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk masalah yang sama--sebagai pengganti Perpu yang ditarik. Isi RUU yang disampaikan ke DPR, Jumat, tiga hari berikutnya, ternyata tak banyak berbeda dengan Perpu sebelumnya. Yang beda, antara lain, jumlah maksimal pengunjuk rasa diperbanyak menjadi 100 orang. Dan, ketentuan sensor pers--pemaparan lewat media massa yang harus dilaporkan ke polisi tiga hari sebelumnya--ditiadakan (lihat pula Tangan Siapa Beraksi?). Menurut Budi Harjono, sebetulnya ketentuan jumlah 100 orang itu tak bersifat mutlak. Sebab, bisa saja demonstrasi diikuti lebih dari seribu orang terpelajar tapi tak menimbulkan kerusuhan. Sebaliknya demonstrasi yang hanya dilakukan 30 orang, tapi kebanyakan preman, malah menimbulkan huru-hara. Budi Harjono mengusulkan agar jumlah demonstran jangan dijadikan kriteria. "Aspek yang lebih penting adalah subyek dan obyek unjuk rasanya," begitu alasan Ketua Umum PDI tersebut. Yang jelas, baik Wiranto maupun Muladi sependapat bahwa penyampaian pendapat di muka umum perlu diatur dengan undang-undang. Untuk memperkuat "teori" ini, sang Menteri mepertunjukkan tayangan rekaman video demonstrasi dan kerusuhan di berbagai kota, khusus untuk para anggota DPR. Dan dalam kesempatan itu Wiranto menambahkan, "Pemberian kebebasan berpendapat akhirnya menjadi absolut, disalahgunakan, dan mengganggu kemerdekaan orang lain." Karena itu, menurut Muladi, agar ketertiban umum terjamin, untuk pelaksanaan hak berpendapat yang didukung oleh Pasal 28 UUD 1945 harus dibuat aturannya. Kecuali, "Kalau kita ingin terus hidup tak tenang seperti sekarang: dolar naik dan banyak demonstrasi yang diikuti kerusuhan," tambahnya. Muladi juga pernah menyatakan bahwa di berbagai negara, apakah sistemnya otoriter ataupun demokratis, demonstrasi juga diatur. Dia memberi contoh Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, Prancis, Kanada, dan Belanda. Bedanya, menurut Muladi, ada negara yang membatasi jumlah demonstran dan lokasi tujuan demonstrasi, ada pula negara yang tak membatasinya. Sekadar contoh, di Jepang, demonstrasi tanpa izin bisa didenda 350 ribu yen. Namun, jumlah demonstran tak dibatasi. Di Jerman dan Belanda, demonstrasi juga harus dilaporkan sebelumnya ke polisi. Sedangkan di Paris, unjuk rasa dilarang di beberapa tempat seperti Istana Champs Elyesees, Place de la Concorde, dan kawasan penyeberangan Sungai Seine. Namun, tak pula bisa dimungkiri, keadaan dan proses demokrasi di negara-negara lain itu berbeda dengan di sini. Di Indonesia, seperti diutarakan Zarkasih Noer dari Fraksi Persatuan Pembangunan, aspek pembatasan lebih kental daripada jaminan pelaksanaan kemerdekaan berpendapat, yang nota bene adalah hak asasi rakyat. Kecuali itu, aturan unjuk rasa masih diwarnai kebijakan perizinan. Padahal, praktek perizinan lebih terkesan seperti pranata kesewenang-wenangan aparat --entah melarang, membubarkan acara, ataupun menuntut dengan delik politik. Fenomena lain di Indonesia, tambah Zarkasih, unjuk rasa acap dituding sebagai penyebab gangguan ketertiban--lantaran berakhir dengan kerusuhan. Padahal, akar masalahnya ada pada kesenjangan ekonomi. Mestinya, "Kesenjangan ekonomi yang ditanggulangi, bukan unjuk rasanya yang selalu dipersoalkan," kata Zarkasih. Kalaupun terjadi unjuk rasa, sebenarnya peraturan perundang-undangan yang ada bisa diterapkan. Bila, umpamanya, pengunjuk rasa melakukan perusakan atau merugikan badan dan harta benda masyarakat, KUH Pidana bisa digunakan. Soalnya tentu terpulang pada sikap dan kebiwaaan aparat. Yang biasa terjadi, aparat keamananlah yang cenderung melakukan kekerasan. Dan sampai detik ini mereka jauh dari jangkauan hukum, kalau tak mau dikatakan kebal hukum. Bukankah masih segar dalam ingatan pembaca tragedi berdarah di kampus Trisakti, 12 Mei lalu, yang menewaskan 4 orang mahasiswa, 12 luka parah, dan 17 korban cedera? Happy Sulistyadi, Arif A. Kuswardono, dan Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus