Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa awal Orde Baru, masalah tanah ditangani lebih serius. Hal itu terbukti dari dibentuknya lembaga khusus yang bernama Badan Pertanahan Nasional. Namun badan ini belum sempat berbuat banyak, sedangkan sejak dasawarsa 1980-an peruntukan tanah cenderung diprioritaskan untuk para pengusaha besar. Hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan secara gamblang menunjukkan betapa mudahnya pemerintah membagi-bagi tanah untuk bos konglomerat. Terjadilah semacam latifundia (penumpukan kepemilikan tanah amat luas pada segelintir pengusaha). Walhasil, pemegang HPH seperti Grup Djajanti bisa menguasai tanah HPH setara dengan luas Provinsi Jawa Barat. Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific Timber, menguasai HPH di Kalimantan tak kurang dari 2,7 juta hektare, sampai pers asing menjulukinya baron kayu dari Indonesia.
Setelah Prajogo, Grup Salim, Nusamba, dan lain-lain bergelimang dengan HPH jutaan hektare--tanpa protes dari para wakil rakyat--tampaknya tidak ada hambatan bagi pihak yang dekat dengan penguasa untuk memanfaatkan lahan, kendati untuk properti atau lapangan golf. Di sekitar Jakarta, proyek pengembang Bukit Jonggol Asri, Bogor, mengantongi izin lokasi seluas 33 ribu hektare. Adapun proyek Kapuk Naga memperoleh 8.000 hektare. Lantas proyek Bumi Serpong Damai punya 6.000 hektare.
Ketimpangan terasa karena di antara lahan amat luas yang dikuasai para pengembang itu ada yang cuma dimanfaatkan sembilan persen. Ketika para petani memerlukan lebih banyak lahan untuk sawah atau kebun sayur, pihak pengembang secara tak langsung justru menciptakan lahan tidur yang telantar. Tak aneh jika sejak reformasi bergulir, rakyat tak putus-putus menggugat penguasaan tanah, apakah karena dulu tanah itu dibeli paksa dari mereka ataukah hanya karena tanah itu dibiarkan kosong dan tidak dimanfaatkan. Di Bogor, Tangerang, dan Bekasi saja, lahan tidur milik pengembang ada 64 ribu hektare. Bila semeter persegi dihargai Rp 25 ribu, berarti ada Rp 16 triliun lahan yang menganggur--setidaknya begitulah penilaian pengamat properti Panangian Simanungkalit.
Namun, ketimpangan dalam kebijakan peruntukan lahan itu tampaknya tidak akan dibiarkan berlarut-larut. Senin dua pekan lalu, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita, bersama Menteri Kehutanan Muslimin Nasution dan Menteri Agraria Hasan Basri Durin, mengumumkan kebijakan baru bidang pertanahan berupa ketentuan penguasaan lahan maksimum.
Pada beleid itu ditentukan bahwa lahan kehutanan hanya bisa dikuasai maksimal 100 ribu hektare di tingkat provinsi dan 400 ribu hektare untuk tingkat nasional. Sedangkan lahan perumahan dan industri masing-masing maksimal 400 hektare?4.000 hektare di tingkat nasional. Begitu juga penguasaan lahan, kini yang melanggar ketentuan tak lantas begitu saja terbebas. Bila mereka dianggap memanfaatkan lahannya dengan baik, setelah masa hak guna usahanya berakhir, kelebihan luas lahannya dilelang ke investor lain atau pengusaha kecil dan menengah. Dan bila lahannya tak dimanfaatkan dengan baik, haknya dibatalkan. Lahan itu dilelang ke investor baru atau pengusaha kecil dan menengah. "Bisa juga nantinya dilakukan land reform (redistribusi tanah) atau pemanfaatan lahan telantar oleh warga masyarakat," kata Menteri Agraria Hasan Basri Durin.
Ada perbaikan, memang. Tapi pembatasan 400 ribu hektare untuk HPH tingkat nasional itu terkesan masih terlalu longgar. Sedangkan Simanungkalit dan pakar dari Universitas Sumatra Utara, Prof. A.P. Parlindungan, berpendapat bahwa kebijakan baru itu terlambat. "Mestinya pembatasan luas lahan maksimum dan land reform dilakukan sejak dulu," ujar Parlindungan. Ia juga menyangsikan kesungguhan tekad politik pemerintah untuk lebih berpihak pada hak-hak rakyat atas tanah--jadi tak sekadar menuruti kepentingan pengusaha. Selain itu, menurut Parlindungan, untuk memberikan kepastian hukum, seharusnya beleid baru tadi dibuat dengan peraturan pemerintah.
Simanungkalit membenarkan bahwa penguasaan tanah secara besar-besaran sudah menjadi masalah hukum dan masalah ekonomi yang salah kaprah. Karena itu, ia berharap agar pemerintah lebih menegaskan sikap sebagai perencana dan pengelola lahan telantar maupun lahan yang melebihi ketentuan maksimum.
Dan, ketentuan bank tanah oleh pemerintah pun mesti direalisasi. Dengan begitu, represi pada pembebasan tanah, monopoli penguasaan tanah, juga ulah spekulan tanah yang melambungkan harga tanah, bisa diredam.
Sementara itu, Hasan Basri Durin menyatakan bahwa pemerintah sudah bertekad hendak menata ulang penguasaan lahan berskala besar. Itu sebabnya, selain memperketat pengawasan izin lokasi bagi pengembang, pemerintah juga akan mencabut tiga keputusan presiden untuk proyek Jonggol, Kapuk Naga, dan pantai utara Jakarta, yang gencar digugat akhir-akhir ini.
Hp. S., Hardy R. Hermawan, Agus S. Riyanto, dan IGG Maha S. Adi
Enam Pemegang HPH Terbesar | |||
Perusahaan | Pemilik | Luas (juta hektare) | |
1. | Kayu Lapis Indonesia | Hunawan Wijajanto | 3,4962 |
2. | Djajanti Group | Burhan Uray | 2,9542 |
3. | Barito Pacific | Prajogo Pangestu | 2,7238 |
4. | Kalimanis Group | Bob Hasan | 1,6278 |
5. | Korindo Group | In Yong Sung | 1,2810 |
6. | Alas Kusuma Group | P.O. Suwandi | 1,1987 |
Sumber: Departemen Kehutanan
Enam Besar Pengembang Berskala Kota | ||||
Proyek | Pemilik | Lokasi | Luas (hektare) | |
1. | Jonggol Asri | Bambang Trihatmodjo, Swie Teng | Jonggol | 33.000 |
2. | Kapuk Naga | Liem Sioe Liong | Teluk Naga | 8.000 |
3. | Bumi Serpong Damai | Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, Sudwikatmono | Serpong | 6.000 |
4. | Cikarang Baru | Sudwikatmono, Budi Brasali | Cikarang | 400 |
5. | Lippo Cikarang | Mochtar Riady | Cikarang | 5.000 |
6. | Kota Tigaraksa | Johny Widjaja | Tangerang | 3 000 |
Sumber: Panangian Simanungkalit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo