PARA nasabah bank layak waspada. Sebab, bandit bank, yang sebenarnya -- siap menjebol rekening atau deposito Anda -- justru ada di dalam bank itu sendiri. Berbagai kasus membuktikan bahwa hampir tak ada kejahatan bank yang tak melibatkan orang dalam. Celakanya lagi, para bandit itu ternyata orang-orang yang menduduki posisi penting di bank itu, bahkan sering pemiliknya. "Kasus kejahatan di bank-bank swasta yang ditangani Polri akhir-akhir ini -- antara lain berupa penipuan dan penyelewengan justru dilakukan penanggung jawab bank bersangkutan," kata Kapolri Jenderal Moch. Sanoesi di Seminar Pengawasan dan Tindak Pidana Perbankan, yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Hukum, di Gedung BDN, Jakarta, pertengahan Desember lalu. Salah satu contohnya, di tahun ini, adalah bekas Kepala Cabang Utama Bank Umum Nasional (BUN) cabang Jakarta, Lim Wang Cheng. Bekas pejabat teras bank kelas atas itu, sejak Mei lalu, terpaksa dinyatakan buron oleh Mabes Polri setelah mentransfer deposito nasabahnya ke berbagai bank di Amerika dan Australia sebesar Rp 8,2 milyar. Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. Pol. Koesparmono Irsan, yang mengejar buron itu, mengaku baru-baru ini berhasil menemui Lim di Taiwan. Tapi Koes tak bisa berbuat apa-apa. "Kami tak bisa menankapnya, karena ia warga negara Taiwan. Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan negara itu, apalagi perjanjian ekstradisi. Yang saya heran kenapa ia bisa memperoleh WNI," ujar Koesparmono. Lim tak hanya mendapat tanda WNI, tapi juga paspor RI. Di paspor, yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Surabaya bernomor A.146670, Lim Wang Cheng alias Tiswan Senjaya Ruslin tertulis kelahiran Bandung 35 tahun lalu, dan menjadi WNI 1968. Padahal, menurut catatan kepolisian, pada 1968 itu Lim tengah bekerja di Taiwan. Lelaki berwajah bulat dan berkepala agak botak ini -- sarjana Kimia Teknik dari National Taiwan University, Taipei, dan M.B.A. dari Florida University, AS diduga direkrut BUN sejak 1982. Dua tahun kemudian kariernya melejit sehingga menduduki jabatan kepala cabang utama. Berkat kedudukan penting itu, Lim berhasil mentransfer uang nasabahnya dan melarikan diri. Tak hanya Lim yang melakukan kejahatan seperti itu, semacam malapraktek (pelanggaran oleh para profesional) perbankan. Di akhir tahun, tepatnya dua pekan silam, masyarakat dikejutkan pula oleh buronnya empat orang pemilik dan pimpinan PT Bank Pasar Darma Kemayoran (BPDK). Mereka, yang semuanya bersaudara, adalah Kho Sasih alias Kho Pie Sian, 30 tahun (Komisaris Utama), Tan Hartono Tanuwidjaja alias Kho Hoei Kian, 42 tahun (Direktur I), Kha Andrew alias Kho Tjit Pin, 30 tahun (Direktur III), dan Jessica Kho alias Kho Le Tji, 28 tahun (Komisaris). Kecurangan pengelola BPDK, berdiri sejak 1971, terkuak pertengahan November lalu. Lima nasabah bank tersebut mengadu ke Mabes Polri, karena giro bilyet South East Asia Bank (SEAB) senilai Rp 130 juta, ditandatangani Kho Sasih dan dilegalisasi stempel BPDK, ketika hendak dikliring ditolak SEAB. Pasalnya, rekening BPDK atas nama pribadi Kho Sasih di bank itu telah ditutup. Kabar "buruk" itu segera pecah dan menyebabkan para deposan BPDK ramai-ramai menarik uangnya. Akibatnya, bank yang berlokasi di Jalan Telepon Kota 86 Jakarta Barat ini menjadi "miring". Pada 17 November, polisi terpaksa menyegel bank pasar itu. Untuk mengejar buron itu, polisi kali ini melakukan tindakan yang sangat berani". Melalui TVRI, Kamis dua pekan silam, Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri Brigjen. T. Guntar Simanjuntak mengumumkan nama lengkap dan foto keempat Kho itu. Mereka dituduh Guntar buron setelah menggelapkan uang nasabah sekitar Rp 4 milyar. Upaya baru Mabes Polri itu tak sia-sia. Tak sampai sejam setelah pengumuman itu, kawanan tersebut menyatakan menyerah. Kho Sasih, yang ketika itu berada di Singapura, mengatakan akan menyerahkan diri bersama saudara-saudaranya yang masih ada di Jakarta. Malam itu juga ketiga Kho yang ada di Jakarta melapor dan diperiksa polisi. Andrew, salah seorang Kho bersaudara, membantah melarikan diri. "Kami memang bersembunyi. Terus terang karena takut setelah bank kesulitan likuiditas," katanya. Ia ketakutan setelah sekitar 100 orang nasabah secara serentak menarik depositonya sebelum jatuh tempo. Padahal, separuh deposan itu menanam uang di bank itu sekitar Rp 4 milyar. Kendati Kho bersaudara itu tak ditahan polisi berjanji akan menuntaskan perkara pidana mereka. Sebab, dari hasil pemeriksaan terungkap bahwa mereka telah melakukan tindak pidana penggelapan, penipuan, dan usaha bank dalam bank, yang merugikan nasabah mencapai milyaran. Caranya, menurut polisi, selain mengedarkan giro biljet SEAB tadi, mereka juga mengadakan buku ganda, mengalihkan aset bank, dan menggunakan setoran nasabah untuk beli tanah, bangunan, dan saham-saham di perusahaan lain. Tentu saja, begitu nasabah menarik kembali uangnya, mereka tak mampu lagi dan melarikan diri. Modus operandi semacam itu dengan sukses dilakukan Lobak Chendra alias Tan Thian Tek, pemilik PT Bank Pasar Dwimanda, juga berlokasi di Jalan Telepon Kota 24 Jakarta Barat. Akhir Januari 1986, Lobak kabur dengan mengantungi uang nasabah sekitar Rp 20 milyar. Sampai kini jejaknya tak ketahuan. Konon, bandit "berkerah putih" itu bermukim di Amerika Serikat. Rekor Lobak ternyata masih terpaut jauh di bawah Direktur Bank Perkembangan Asia (BPA), Lee Darmawan Kartarahardja alias Lie Tjeng Kiat. Pada Oktober 1984, Lee, pemilik 98% saham BPA, dinyatakan buron dengan membawa uang nasabah Rp 30 milyar. Seperti juga Lobak atau Kho, Lee sejak 1983 memberikan kredit kepada perusahaannya sendiri untuk spekulasi jual-beli tanah. Menurut sumber TEMPO di BI, Lee juga mempraktekkan pembukuan ganda. Ia juga tidak mencantumkan nama deposan dalam daftar rekening dan memasukkan uang nasabah itu ke rekening pribadinya di bank lain. Setelah semua "dibereskannya", ia pun kabur. Untuk menyelamatkan bank itu, BI akhirnya mengganti para direksi BPA. Bank of America, pada Juli 1986, juga sempat tercoreng namanya akibat ulah pengelolanya. Otaknya, Prentice Edward Yeomans, Manajer BOA Cabang Jakarta. Yeomans bersama komplotannya, menurut sumber TEMPO, ketika itu berhasil menggelapkan uang nasabahnya -- delapan perusahaan besar -- sebanyak Rp 62 milyar. Caranya, para nasabah itu semula mengambil kredit bank dalam bentuk promissory note. Si nasabah tak perlu mengangsur pinjamannya itu setiap bulan, tapi cukup setor manasuka. Sebaliknya, pihak bank bisa mengambil dana secara langsung dari rekening nasabah bila promes itu jatuh tempo. Praktek semacam itu menyebabkan debitur atau nasabah malas mengecek uang di rekeningnya. Kesempatan itu dimanfaatkan Yeomans dan kawan-kawannya untuk memindahkan uang itu ke rekening siluman. Akibat kasus itu, beberapa orang pejabat BOA yang terlibat dicopot dari jabatannya, sementara Yeomans dipulangkan ke AS. Tapi para nasabah yang dirugikan terpaksa berperkara dengan BOA melalui pengadilan. Para pejabat BOA membantah berita itu tapi sumber TEMPO di BOA membenarkannya (TEMPO, 12 Juli 1986). Malapraktek di perbankan semakin komplet, dengan praktek pemberian kredit dari bank-bank terhadap pejabatnya sendiri atau grupnya sendiri. "Memberikan kredit kepada grup sendiri, secara terang-terangan atau terselubung, paling banyak dilakukan. Ini sama saja dengan mencuri uang bank melalui kegiatan bank yang normal," kata Ketua Umum Perbanas, Abdulgani, dalam makalah berjudul Perbankan, Suatu Industri Kepercayaan di seminar itu. Salah satu contoh adalah praktek Bank Pertiwi, yang "tersungkur" sehari setelah Pakto, Oktober lalu. Menurut sumber TEMPO, bank swasta itu berantakan akibat dirutnya, Joe Silinggar, melakukan praktek perbankan yang menyimpang. Ia, misalnya, menggunakan uang nasabah untuk memberikan kredit kepada sebuah perusahaan bayangan senilai Rp 42 milyar padahal aset bank itu cuma Rp 70 milyar. Akibat praktek Joe pula, kabarnya Bank Maranmu sempat terpukul "berat". Bank milik Andi Sose itu terkecoh karena menerima beberapa promissory note milik perusahaan-perusahaan grup Joe, senilai Rp 19 milyar, yang di-endorsed Bank Pertiwi. Tak hanya Pertiwi tentunya yang berpraktek semacam itu. Banyak bank swasta bahkan pemerintah konon melakukan praktek semacam itu. Celakanya, selain sistem kontrol dari pemerintah terhadap bank-bank semacam itu belum ketat, ketentuan hukum pun belum mengatur sejauh itu. Menurut Advokat Rasjim Wiraatmadja, pada seminar di BDN itu, kekurangan di Indonesia terutama dalam sanksi terhadap pelanggaran semacam itu. Padahal, di negara lain seperti Hong Kong, Singapura atau Jepang, katanya, seorang direktur bank yang memberikan kredit di atas plafon bisa dipenjarakan. "Di sini pengelola bank yang melalaikan tanggung jawab tak pernah dijebloskan ke penjara." Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, dan Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini