MALING paling canggih dan selalu luput dari risiko dihajar massa, selain maling teknologi, adalah pembobol bank. Tidak perlu memeras keringat, melarikan diri, dan menghindari desingan peluru aparat keamanan yang mengejarnya. Yang diperlukan adalah otak, tampang, dan penampilan meyakinkan. Pengetahuan luas dan rinci tentang seluk beluk perbankan mutlak diperlukan. Karena itu, tidak banyak penjahat yang mengambil spesialisasi ini. Yang harus dipelajari, mulai dari ilmu tata cara dan prosedur di bank, berbagai surat dan formulir, segala macam surat berharga dan cara-cara memalsu tanda tangan, serta bagaimana membina relasi dengan orang dalam. Kadang kala diperlukan ilmu komputer. Dengan menguasai modal dasar itu, seorang pembobol bank boleh yakin bakal mampu menggaet sebagian isi brankas. Untuk mengatasinya? Menurut I. Nyoman Moena, presiden komisaris Overseas Express Bank, tak bisa cuma mengandalkan sistem administrasi yang rapi. Tapi juga kesetiaan karyawan. Buktinya, "Bank-bank asing yang terkenal dengan kerapian sistem adiministrasinya juga bisa bobol," ujar Moena. Salah satu penyebabnya adalah kecemburuan. Di bank asing, kata Moena, perbedaan gaji antara pegawai lokal dan asing sangat mencolok. Sebaliknya, di bank lokal juga ada yang kena bobol karena karyawannya. "Karena ada mata rantai sistem pengamanan yang tidak berfungsi," kata Samadikun, Dirut Bank Dagang Negara. Nah, itu bisa disebabkan oleh keteledoran atau niat jahat pegawai yang mau cepat kaya. Soal keteledoran memang sudah terbukti dalam beberapa kasus kebobolan. Salah satunya dialami oleh sebuah bank pemerintah terbesar, pertengahan bulan lalu. Kisahnya bermula dari Tanti, seorang gadis yang suka keluyuran di tempat-tempat hiburan malam. Suatu saat Tanti mendapat cek senilai Rp 600 ribu dari langganan. Gara-gara cek itu hasil curian dan sudah diblokir, Tanti tak bisa mencairkan ceknya. Dia lalu minta tolong Bono, yang punya Tabanas di bank pemerintah tadi. Dengan imbalan Rp 100 ribu, Bono mau memindahkan cek Tanti ke Tabanasnya. Tak ada persoalan, kendati bank tersebut melakukan pengecekan menurut prosedur. Aneh? Tidak. Demi menjaga hubungan baik, sebelum mendapat lampu hijau dari instansi pemerintah lainnya sebagai penerbit cek dan Bank Indonesia, bank nahas itu sudah meng-ACC agar isi cek Tanti dipindahkan ke Tabanas milik Bono. Tak pelak lagi, Bono kontan mencairkan Tabanasnya sebelum raib. Kasus Bono memang kecil. Tapi cukup jadi bukti kecerobohan pihak perbankan. Maka, tak mengherankan kalau aksi para pembobol bank tak pernah surut. Bahkan belakangan ini disinyalir, usaha para pembobol makin gencar. Kiat mereka, meningkatkan kualitas operasi yang canggih dan target yang bisa mendapatkan hasil jarahan lebih banyak. Beberapa kelemahan bank sering dimanfaatkan pembobol. Bukan rahasia lagi, masih banyak kantor cabang yang belum punya meja kliring di Bank Indonesia. Alias menumpang di meja cabang lain yang segrup. Akibatnya, terjadi keterlambatan dan keteledoran. Menurut Nyoman Moena, "Suasana lembaga kliring mirip pasar." Alhasil, banyak bank yang nekat. Daripada nasabah jengkel, mereka lebih suka menanggung risiko dengan meng-ACC bilyet giro yang mau dipindahbukukan, sebelum mendapat isyarat clear dari bank penerbit bilyet giro itu. Bagi pembobol, situasi semacam itu jelas menjadi peluang emas. Dengan mengetahui nomor rekening dan jumlah dana seorang nasabah, dia cukup kirim teleks ke bank yang bersangkutan untuk memindahkan dana nasabah sasaran ke dalam rekeningnya di bank lain. Bisa jadi, perintah pemindahbukuan itu tak dicek dengan saksama oleh petugas kliring di BI lantaran dibebani urusan kelewat berat. Cara lain yang paling populer dan banyak mendatangkan kerugian adalah menyisipkan nota kredit palsu di meja kliring yang sedang sibuk. Maka, kalau tak ketahuan, begitu proses kliring selesai, dana dari nota kredit palsu itu bisa langsung ditarik lewat rekening pembobol. Dua atau tiga hari kemudian, setelah mendapat informasi dari BI tentang adanya selisih antara dana yang disetor dan ditarik, barulah bank yang bersangkutan sadar telah kecolongan. Memang, membobol dengan memalsukan surat berharga paling disukai penjahat. Pasalnya, modus itu paling aman dan lebih jitu. Sang pembobol cukup meletakkan surat berharga palsunya yang akan dipindahbukukan di meja pelayanan nasabah, lalu raib. Hasilnya bisa ditanyakan lewat telepon. Surat-surat berharga yang paling banyak dipalsukan adalah cek, bilyet giro, atau sirtifikat deposito. Surat-surat berharga palsu itu dicetak di luar negeri. "Sebab, teknologi percetakan di dalam negeri kurang canggih," kata Thomas Suyatno, Sekjen Persatuan Bank-Bank Nasional (Perbanas). Karena itu, yang palsu dan yang asli amat sulit dibedakan, kecuali oleh bank yang dimanipulasi. Sebab, bank itulah yang bisa mengetahui persis kode-kode rahasia di atas surat berharga. Bagaimana hal itu bisa terjadi? "Karena tak ada standardisasi pencetakan surat-surat berharga, kendati nilainya bisa mencapai ratusan juta atau milyaran rupiah," ujar Brigjen. Pol. Drs Koesparmono Irsan, Direktur Reserse Mabes Polri. Maka, bank yang satu sulit mengecek keaslian surat-surat berharga keluaran bank lainnya. Titik cerah sudah mulai ditemukan. Pihak Perbanas, BI, bank pemerintah, Indosat, dan Perumtel beberapa waktu lalu membentuk PT Lintas Artha. Tugas perusahaan baru ini adalah memasok surat-surat berharga yang seragam bagi seluruh perbankan. Proses kliring juga akan dikerjakan dengan komputer. Uji coba akan dilakukan pertengahan Januari mendatang di wilayah Jakarta dan seputarnya. Selama ini, kerja sama antarbank untuk melawan para pembobol cuma terjalin dalam bentuk imbauan di kongres Perbanas. Kenyataannya, "Sampai sekarang bank-bank masih menutup diri," kata Thomas. Alasannya, tentu saja, agar tak malu pada bank-bank lain atau takut dibocorkan kepada nasabah. Maklum, persaingan antarbank semakin ketat. Jadi tak mengherankan kalau Samadikun bilang, "Hampir semua bank pernah kebobolan." Lalu, apa sebenarnya peran orang dalam? Memberi informasi, menyediakan blanko-blanko kosong surat berharga, dan memberikan contoh tanda tangan nasabah asli. Tanpa orang dalam, dalang pembobolan tak bakal bisa tahu persis nama, nomor rekening, dan jumlah dana milik calon korban. Namun, "rekanan" komplotan pembobol bank tak selamanya pejabat penting di suatu bank. "Mereka umumnya pegawai rendahan yang berhubungan dengan rahasia perbankan," ujar Nyoman Moena. Sebagai misal, juru kliring, penyortir rekening koran, penyimpan contoh tanda tangan, dan penyimpan formulir atau blanko cek giro bilyet. Praginanto, Moobanoe Moera, Bachtiar Abdullah, Budiono Darsono, dan Sidartha Pratidina (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini