HUMALA Hutabarat, 46 tahun, bekas "preman" Medan yang melejit menjadi bandit bank, tak lagi sekeren masa jayanya. Padahal, berkat membobol bank, ia sempat bergaya dengan Jeep CJ-7 warna merah atau sedan Mitsubishi Lancer warna putih, sambil mendekap anjing Doberman kesayangannya. Tapi kini di tahanan Mabes Polri ia kelihatan kuyu dan pucat. "Saya dikhianati kawan-kawan. Uang yang saya titipkan dibawa kabur," katanya kepada TEMPO pekan lalu. Akhir November lalu, lelaki ganteng yang suka musik jazz, slow, atau country itu masih sempat menemui ibunya, S. Boru Tarihoran, di Medan. "Mak, kayaknya umur saya tak panjang lagi. Kalau saya mati tolong dikubur di samping makam Bapak di Pematangsiantar," pesan Humala. Hanya sehari Mala -- begitu panggilannya -- di Medan. Esoknya, ia kembali ke Jakarta. Maklum, buron. Di Jakarta, ternyata Mala belum mati. Pertengahan Desember lalu ia dibekuk Mabes Polri, dan kini ditahan. Ayah delapan anak itu, di kalangan preman Medan, dijuluki "maling budiman" karena suka membagi-bagi rezeki."Jika temannya susah, apa pun yang ada padanya akan diberikannya," tutur istrinya. Semula anak pensiunan militer itu bekerja baik-baik. Ia mengkoordinasikan tujuh orang tukang pikul air dan menjadi calo karcis bioskop. Tapi entah mengapa, tiba-tiba, cerita Denny Pilon, seorang preman Medan, tahun 70-an Mala beralih profesi menjadi pencopet di kapal Tampomas rute Mean-Tanjungpinang-Jakarta. Pada 1971, Mala kembali ke Medan dengan profesi baru: penjual poster Presiden dan Wakil. Berkat bisnis itu, Mala banyak relasi. Pada 1976 ia menjadi kontraktor rekanan Pemda Sum-Ut. Keluarga pun terurus. Tapi di saat itu, lima orang kenalannya dari Jakarta menemuinya dan menawarkan proyek besar: membobol bank. Seorang di antara mereka bernama Kelelawar. "Ia ahli membuat tanda tangan, model apa saja," cerita seorang rekan Mala di Medan. Tak lama kemudian, 1981, nama Mala telah tercatat sebagai buron pembobol bank. Ia dan komplotannya berhasil mengeduk uang BPD Sum-Ut senilai Rp 812 juta lebih Juni tahun itu juga, ia menyerahkan diri kepada polisi di Jakarta. Mala, oleh Pengadilan Negeri Medan, diganjar 10 bulan penjara dan denda Rp 15 juta. Hukuman ini diperberat Ketua Pengadilan Tinggi Sum-Ut, Bismar Siregar, menjadi 5 tahun. "Dia melakukan korupsi," kata Bismar. Tapi sebelum menjalani hukuman itu, Mala kabur. Ia kembali menjarah berbagai bank di Medan. Setelah itu ia lari ke Jakarta. "Saya membuka perusahaan di sini, tapi gagal," kata Mala di tahanan Mabes Polri. Kegagalan itu membuat mentalnya kacau. November lalu ia kembali mencoba membobol BPD, Jakarta. Tapi gagal dan tertangkap. "Tapi itulah risikonya. Keluarga saya sekarang menderita," katanya lemah. Kini anak-istri, ibu, serta adik Mala berjejal menempati rumah kontrakan di sebuah gang. Anak sulungnya, Fery Satmoko, 23 tahun, bahkan ikut diciduk polisi karena dituduh terlibat kejahatan ayahnya. Walau begitu, Mala mengaku perasaannya sudah plong. "Saya sekarang lega karena tidak menjadi buron lagi," ujarnya pelan. Berbeda dengan Mala, yang muncul menjadi bandit bank dari kelas bawah, Harry Tranggono alias Ting Tje Hwie, 35 tahun, yang terbukti membobolkan American Express Bank (Amex) sebesar Rp 650 juta, berasal dari kelas atas. Lelaki gemuk setinggi 168 sentimeter itu mengaku berasal dari keluarga kaya. Anak tertua dari empat bersaudara asal Magelang, Jawa Tengah, itu sempat meraih sarjana muda arsitektur di Lodewijk University, Jerman Barat. Pada 1975, Harry kembali ke Indonesia dan terjun di bisnis tembakau. Usahanya berkembang. Harry mengaku memiliki 11 lokasi real estate dan pertokoan di Jawa Tengah dan Jakarta. Di Sumatera Selatan, ia buka kebun cokelat dan vanili. Di Kalimantan, ia menjadi pemegang hak pengusahaan hutan konversi. Rumahnya di daerah Menteng megah bak istana. Selain itu, ia juga memiliki rumah di kawasan elite di Permata Hijau, Jakarta Selatan. Ia mengaku terlibat membobol Amex Bank, "hanya karena kejeblos." Ia, katanya, tergoda akibat bujukan Subiyanto Santoso, bekas pegawai Amex Bank Jakarta. Kebetulan waktu itu, katanya, ia sedang sakit hati dengan Amex. Sama sekali, katanya, ia semula tak berniat menikmati uang kejahatan yang Rp 650 juta itu. "Terus terang, aset perusahaan saya lebih besar dari itu," katanya menyombong. Subiyanto, masih menurut Harry, suatu ketika menemuinya dan menawarkan Platinum Card. Harry tertarik. Ia pun menyetorkan US$ 18 ribu ke Amex melalui Subiyanto. Ternyata, ujarnya, uangnya itu "dimakan" Subiyanto, sehingga pegawai Amex itu dipecat. Tapi katanya, ia tersinggung gara-gara Amex menuduhnya brengsek. "Hati saya sakit," ceritanya. Empat bulan kemudian, Juli 1987, Subiyanto tahu-tahu muncul menemuinya dengan membawa tiga dokumen rahasia milik nasabah Private Amex. "Saya sudah dikeluarkan dari Amex, tapi saya tidak bodoh Koh Harry," kata Subiyanto kepada Harry. Tiga dokumen itu digelarnya: deposito atas nama Rosalina Ali, Lie Sung King, dan Hendro Juwono. Tegasnya, Subiyanto menawarkan kerja sama membobol Amex. Harry setuju. Sasarannya deposito milik Hendro Juwono. "Jangan takut Koh Harry, pasti tidak ketahuan," kata Subiyanto seperti ditirukan Harry. Dengan memperalat pacarnya, Indri Gunardi alias Mei Ing, ia berhasil menggaet Rp 650 juta. Harry dapat bagian Rp 437,47 juta, Subiyanto Rp 23 juta, Indri kecipratan Rp 12 juta, dan sisanya dibagi anggota komplotan yang lain. Kejahatan ini terbongkar karena Indri cemburu gara-gara Harry punya pacar baru. Indri melapor ke polisi sehingga komplotan itu digulung. Kepada TEMPO, Harry balik menuding Indri sebagai wanita tak tahu diri. "Saya diperas terus-menerus. Rumah dia di Australia seharga Rp 400 juta, saya yang membuatkan," kata Harry mendongkol. September lalu, Harry Tranggono diganjar hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. "Sekarang saya sudah pasrah. Terserah orang mau bilang apa sama saya. Saya sudah kejeblos," katanya. Itu semua memang baru cerita Harry. Cerita Subiyanto dan Indri tentu sebaliknya. WY, Muchsin Lubis, Sarluhut Napitupulu, dan Monaris Simangunsong
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini