PISTOL dan topeng penutup kepala telah "dicampakkan" bandit bank. Hanya dengan dasi dan pakaian mentereng, bandit masa kini bisa membobolkan bank milyaran rupiah. "Tampaknya hampir semua bank pernah kebobolan," ujar Direktur Bank Dagang Negara, Samadikun. Agaknya para bandit tak pilih bulu. Dari bank raksasa, seperti Bank Bumi Daya, Bank Of Amerika ataupun City Bank, sampai bank-bank kecil "digasak" bandit bekerah putih tersebut. Terakhir, dua pekan lalu, Mabes Polri, misalnya, membongkar komplotan bandit bank yang nyaris "merampok" Bank Pembangunan Daerah (BPD) cabang Balai Kota DKI Jakarta. Berdasarkan pengusutan polisi: Pada Sabtu siang, 19 November lalu, petugas kliring BPD cabang Balai Kota Jakarta membawa pulang 180 giro bilyet dari Bank Indonesia (BI) untuk dikliring. Tapi menyimak lima giro bilyet (dari 180 giro bilyet) bernilai Rp 1,7 milyar, petuas tersebut tersentak. Di luar dugaan petugas, kali ini BPD mengalami negatif kliring yang nilainya sangat besar. Keadaan itu di luar kelaziman. Para petugas itu curiga. Kelima lembar kertas berharga tersebut tercantum atas nama Kas Pemda DKI yang akan dipindahbukukan ke rekening PT Sentosa Abadi Jaya, PT Sempurna Persada Melati, PT Sakti Purba Anugerah, PT Maju Garuda Sakti dan PT Harapan Jaya Manggala di lima cabang BRI di Jakarta. Tapi setelah diamati, ternyata tanda tangan salah satu di antara kelima giro bilyet tersebut meragukan. "Tanda tangan tersebut berbeda dengan tanda tangan pejabat Kas Pemda DKI," ungkap pimpinan BPD Balai Kota, Rohmanudin. Bahkan pada data pembukuan bank BPD yang diteliti, ternyata nomor seri giro bilyet belum pernah digunakan. Untuk lebih meyakinkan, pihak BPD mengecek ke si pembuka giro, Kas Pemda. Jawaban Kas Pemda: giro bilyet itu memang palsu. Pada Seninnya, pihak BPD menolak kliring kelima lembar giro bilyet itu. Anehnya, hanya satu dari kelima cabang BRI yang menelepon ke BPD menanyakan bab kliring tersebut. Ternyata, memang hanya di sebuah cabang BRI itulah si pemilik giro bilyet palsu menanyakan nasib gironya. Begitu mendapat jawaban bahwa kliringnya ditolak, bandit itu merasa tak perlu lagi mengecek pada cabang BRI lainnya. Mabes Polri, yang dikontak BPD sehari sebelum kliring itu ditolak, segera menyidik kasus itu di bawah koordinasi Satserse Idik Bank, Letkol. Drs. F. Vries. Hasilnya: "Dengan hasil penyidikan ini terungkapkan adanya usaha pemalsuan giro bilyet untuk membobol bank," kata sumber polisi. Dua giro bilyet palsu itu, misalnya, bernominal Rp 400 juta masing-masing atas nama PT Harapan Jaya Manggala. Setelah nomor dan seri kedua giro bilyet itu dicocokkan di pembukuan BPD, ternyata nilai nominalnya Rp 800 juta dan atas nama Bendaharawan Proyek Pembangunan Sarana Pendidikan Dinas Pertanian. Melalui BRI, kemudian polisi melacak perusahaan-perusahaan yang menkliring giro. Tiga minggu kemudian, komplotan ini terbongkar, dan ternyata diotaki seorang residivis bandit bank asal Medan, Humala Hutabarat. Dari pengakuan sementara kepada polisi, komplotan ini semula terdiri dari duet Humala-Haryono. Mereka berdua mengahui bahwa sejak setahun lalu mereka telah mcngincar BPD Balai Kota. Untuk membantu usaha haram itu, Humala mengaku merekrut Nurhadi dan Seha -- nama terakhir bukan sebenarnya karena penyidik belum memastikan keterlibatannya -- karyawan sebuah percetakan kecil. Dengan bayaran Rp 2 juta, mereka ditugasi menghubungi seorang pegawai percetakan giro bilyet BPD DKI. Konon Nur menghubungi kawannya, Ahmad Kusnan, pegawai percetakan giro bilyet BPD di Jakarta Pusat. Ahmad ternyata setuju. Petugas bagian kontrol produk akhir percetakan itu memenuhi permintaan tersebut dengan sempurna. Setelah mencomot lima giro bilyet afkiran dari tempat kerjanya, Ahmad menyerahkannya kepada Humala di Hotel Marcopolo, Jakarta, September 1987. Untuk itu ia dibayar Rp 1 juta. "Padahal barang afkiran itu, seharusnya dimusnahkan," kata sumber TEMPO. Di rumah kontrakannya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Humala "mengolah" kelima blangko giro bilyet itu. Bersama komplotannya kemudian ia mencari nomor seri dan nomor rekening nasabah BPD, baik lembaga atau perorangan yang masih aktif. Anehnya, kerja sulit ini -- yang menyangkut rahasia bank itu -- bisa dilakukannya dengan gampang. Menurut pihak Mabes Polri, nomor-nomor itu diperoleh Humala dari giro bilyet -- milik pemborong Pemda DKI yang telah beredar di masyarakat -- sebagai alat pembayaran. Cara Humala itu dinilai pejabat BPD sebagai lihai. Sebab, giro-giro bilyet yang belum ditarik, "Kerahasiannya hanya dipegang oleh pihak bank dan klien kami saja," ujar Dirut BPD DKI, Soeharto. Sebab itu ada dugaan bahwa nomor itu diketahui Humala dari oknum BPD Balai Kota sendiri. Kecuali itu Humala dan Haryono mendirikan pula lima perusahaan fiktif. Yaitu tadi: PT Sentosa Abadi Jaya, PT Harapan Jaya Manggala, PT Sakti Purba Anugrah, PT Maju Garuda Saksi dan Harapan Jaya Manggala. Atas nama kelima perusahaan itu, Maret lalu, mereka membuka lima rekening di lima cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jakarta. Masing-masing disetori Rp 1 juta. Dan agar kelima rekening ini terlihat aktif, mereka melakukan transfer bohong-bohongan antar-lima perusahaan tersebut. Sebagai penyandang dana komplotan, menurut polisi, tak lain adalah anak Humala, Fery Satmoko. Konon, dana yang disetor Fery mencapai Rp 12 juta -- itu pun, konon, hasil menipu beberapa pengusaha Jakarta. Fery, yang ditangkap di Tanjung Sari, Medan, Senin pekan lalu, membantah terlibat komplotan ayahnya. Tapi pengakuan Humala lain pula. "Namanya anak, memang saya yang menyuruhnya," kata Humala datar. Kepada TEMPO, Humala membenarkan adanya usaha pembobolan itu. "Sebenarnya saya takut, tapi karena tekanan ekonomi, ya, saya lakukan juga," katanya. Apalagi pembobolan itu dianggapnya gampang. "Jadi, yang mengendalikan itu, ya, saya. Cuma, saya nggak berani keluar sendiri, saya 'kan buron," cerita Humala. Di Medan, memang Humala tercatat sebagai pembobol bank yang disegani. Pada 1981, 1983, dan 1984 sekitar Rp 1,6 milyar dapat dijarahnya, juga dengan giro bilyet palsu. "Modus yang di Medan itu hampir sama dengan di BPD," kata Direktur Reserse Mabes Polri Brigjen. Koesparmono Irsan. Agaknya modus membobol bank dengan giro bilyet, memang paling sering digunakan. Sebab, kata Sekjen Perbanas, Thomas Suyatno, "Penggunaan giro itu tidak secara langsung dan cepat diketahui sebagai tindak kejahatan. Biasanya perbuatan itu baru bisa diketahui melalui proses panjang." Kasus pembobolan City Bank (CB), Jakarta, sebesar Rp 2 milyar, misalnya, juga dengan giro bilyet palsu. Cara kerja bandit yang diotaki Soekanto Suwiryo, alias Ahwie, alias Yu Ken Wie ini cukup rapi. Sebelum beroperasi, lebih dulu ia menggarap Sidratul Muntaha, karyawan City Bank. Berkat Muntaha, Ahwie bisa memperoleh info nasabah terbesar di CB, yaitu Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jakarta dan Hadi Budiman. Taktik pun disusun komplotan Ahwie. Seorang anggota komplotan, Rachman Gani, mengontrak kantor di Jalan Gajahmada, Jakarta, dan mendirikan sebuah perusahaan "pura-pura", PT Perkasa Jaya Utama. Kemudian perusahaan itu memesan mobil dalam partai besar ke sebuah perusahaan penyalur mobil, PT Kurnia Sari Triguna. Sementara tawar-menawar terjadi, komplotan lain sibuk membuat giro bilyet CB palsu atas nama BPD dan Hadi Budiman. Kemudian transaksi itu mereka bayar dengan giro bilyet palsu tadi. Tapi sebelum giro bilyet tersebut dibayarkan, 24 September 1982 malam, anggota komplotan berdoa bersama, dilanjutkan sembahyang tahajud di rumah seorang komplotan, seorang dukun, Abdul Rauf Ali. Lucunya lagi, giro bilyet tersebut dijampi-jampi dulu oleh Abdul Rauf. Maksudnya agar kliring giro itu melalui PT Kurnia Sari Triguna bisa berjalan lancar. Esoknya, tiga lembar giro bilyet senilai Rp 1,533 milyar atas nama BPD, dan Rp 300 juta serta Rp 200 juta atas nama Hadi Budiman, dibawa Ahwie ke PT Kurnia Sari Triguna. Hari itu juga, perusahaan penyalur mobil itu menyetorkan giro itu ke City Bank. Sementara itu, komplotan Ahwie berdoa di sekitar bank. Siangnya segalanya beres. Dua hari kemudian -- seperti telah diatur -- Perkasa Jaya Utama membatalkan pembelian mobil tersebut. Dengan pembatalan ini PT Kurnia mengembalikan uang Ahwie dan kawan-kawannya, dengan cek Bank Duta Ekonomi dan uang kontan. Akibat kejahatan itu, September 1983, Ahwie dihukum hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selama 5 tahun 9 bulan. Cara membobolkan bank bisa pula dilakukan melalui deposito nasabah. Bank Of America (BOA) di Jalan Thamrin, Jakarta, misalnya, 7 Maret lalu, "dirampok" dengan cara begitu. Sebuah deposito nasabahnya, atas nama Djoni Widjaja, sebesar US$3,427 juta, dibobolkan bandit bank tanpa setahu petugasnya. Baru enam bulan kemudian, pada 19 September lalu, kejahatan itu ketahuan setelah pemilik deposito asli, Djoni Widjaja, datang ke bank itu hendak mencairkan depositonya. Pada 7 Maret itu, menurut keterangan pihak BOA ke Mabes Polri, petugasnya didatangi dua orang yang mengaku bernama Ongky Widjaya dan Djoni Widjaja. Mereka berniat mencairkan deposito berjangka miliknya, yang belum jatuh tempo, senilai US$3,427 juta. Petugas BOA tak curiga, sebab Djoni Widjaja tercatat sebagai customer file BOA, dan memperlihatkan pula sertifikat deposito tersebut. Selain itu, Djoni memperlihatkan KTP-nya, sedang Ongky menunjukkan paspornya: PP A.945407. Kepada petugas BOA, Ferina, yang menggantikan Agustina karena lagi cuti sakit, mereka meminta agar pencairan deposito itu dibagi dua. Sebanyak US$ 2,2 juta mereka minta agar ditransfer ke Time Deposit Weekly ACU OA, di Singapura, atas nama Ongky, dan sisanya dicairkan di Jakarta, atas nama Djoni. Ferina menyatakan "oke", dan meminta mereka datang lagi untuk konfirmasi pencairan, empat hari kemudian. Pada 10 Maret, Ongky datang sendirian. Kali ini dilayani Agustina. Dari tangan petugas ini dan petugas lain, Nena Badri, Ongky menerima konfirmasi (ACC) pencairan seluruh dana tersebut. Pihak BOA baru geger ketika Djoni Widjaja asli datang hendak mencairkan depositonya yang telah jatuh tempo, pada 19 September lalu. Ia kecele karena depositonya telah "dijarah" orang lain. Pihak Mabes Polri, yang mengusut kasus itu, mencurigai keterlibatan petugas BOA sendiri. Sebab, setelah diusut, ternyata bukti sertifikat deposito palsu yang dicairkan Maret lalu itu -- seharusnya disimpan bank -- diserahkan kembali oleh petugas BOA kepada Ongky dan Djoni. "Ini 'kan pelayanan yang tidak semestinya," kata sumber di Mabes Polri. Kejanggalan lain, kartu identitas Djoni Widjaja yang tercatat pada cosemer file BOA adalah paspor. Sementara itu, kartu diri Djoni Widjaja "palsu" ketika mencairkan deposito itu hanya KTP. Yang juga konyol, surat kuasa Djoni pada Ongky, ketika melakukan konfirmasi, tidak bertanggal, tidak bernomor, dan bahkan tidak diagenda petugas BOA. "Kesalahan yang paling mendasar, kedua karyawan BOA tak pernah berkonsultasi dengan atasannya ketika mencairkan deposito itu," kata sumber di Mabes Polri. Modus bobolnya BOA sebenarnya tak berbeda dengan kasus pembobolan American Express (Amex) Bank Jakarta, Agustus 1987 lalu. Komplotan bandit bank yang diotaki Harry Tranggono berhasil membobol deposito milik Hendro Juwono 500 ribu dolar AS, di Amex. Seperti juga dalam kasus BOA, di Amex komplotan Harry memalsukan tanda tangan Hendro Juwono, ketika pemilik deposito itu berada di Hong Kong. Bekerja sama dengan seorang bekas karyawan Amex, Subiyanto Santo, dan pacarnya, Indri, Harry berhasil mentransfer uang Hendro ke rekening Hendro "palsu" di BBD Sarinah Jakarta. Tapi tak selihai Djonidan Ongky, komplotan Hendro digulung polisi. Kendati hanya mengaku "kejeblos" (lihat Yang Dikhianati dan Kejeblos), September lalu Harry divonis 2 tahun 6 bulan penjara. Tapi sampai kini uang Hendro di Amex tak bisa diambil. Amex Jakarta menganggap dalam kasus itu Amex Swiss-lah yang bertanggung jawab. Karena menemui jalan buntu, Hendro kini menggugat Amex -- termasuk 6 lembaga keuangan teratas di dunia dan mempunyai aset 1 milyar dolar lebih -- membayar ganti rugi Rp 3 milyar. Lebih lihai dari "Djoni", Ongky, atau Harry adalah komplotan Frits Maringka, Anneke Maringka, dan Onny Huwae, yang menjebol Bank Bumi Daya (BBD) Kebayoran Baru. Hanya dengan pesan telepon, komplotan itu bisa "mencuri" uang BBD Rp 1,065 milyar. Frits, kabarnya, yang merencanakan kejahatan itu. Untuk itu, Onny membuka rekening palsu di city Bank dengan identitas palsu seolah-olah bernama Ahmad Adriani. Sekitar Maret 1987, Frits beberapa kali mengirimkan uang dari BBD Karawang, melalui BBD cabang Kebayoran, ke rekening Ahmad di City Bank. Setelah itu, Frits, yang mengaku pejabat BBD Kebayoran, menelepon BBD cabang Karawang. Pengan alasan berita transfer ke rekening Ahmad itu tak terbaca karena kabur, ia meminta petugas cabang Karawang membaca ulang perintah transfer itu berikut test key-nya. Terpenuhi. Test key cabang Karawang itu kemudian diserahkan Frits ke Anneke. Berkat Annekelah rumus test key bisa dipecahkan komplotan itu. Bermodal itu, dari Hotel Kartika Chandra Frits memerintahkan BBD Kebayoran kembali mentransfer uang ke rekening Ahmad di City Bank Rp 1,065 milyar. Pada 24 Maret 1987, Herman Mulyadi pegawai Sie Deposito BBD Kebayoran Baru, menerima telepon dari Achmad, dengan kode J.0.57.A. dari bagian transfer BBD cabang Karawang. Isinya ada dua transfer masuk dari BBD Karawang ke BBD Kabayoran Baru. Herman lantas mengecek berita transfer itu. Baik kode transfer maupun kode identitas pejabat pengirimnya: cocok. Hari itu juga kedua transfer tersebut dikirim ke giro yang dimaksudkan. Sebagian uang tersebut (Rp 990,6 juta) ditukar komplotan itu ke dolar sekitar US$ 600 ribu. Jumlah itu mereka bagi tiga, Frits kebagian 200 ribu, Anneke 250 ribu, dan Onny dapat 150 ribu dolar. Setelah BBD menyadari kebobolannya kasus itu dilaporkan ke polisi. Mabes Polri, Juni 1987, menangkap Frits, Onny, dan Anneke. Tapi uang yang disita di tangan mereka tinggal sekitar Rp 100 juta -- di antaranya Rp 13 juta dari Frits. Tapi puncak dari kecanggihan "perampokan" bank yang dilakukan orang Indonesia agaknya masih dipegang Rudy Demsy, 30 tahun, dan Seno Adji, 32 tahun. Dari sebuah kamar Hotel di New York, kedua anak muda itu, seperti yang terbukti di pengadilan akhir Desember 1986, berhasil mentransfer uang BNI 1946 di Citibank dan Mantrust New York ke beberapa bank di Panama, Hong Kong dan Luksemburg sebesar US$ 18,7 juta atau Rp 30 milyar. Hebatnya, pembobolan itu mereka lakukan dengan sebuah pesawat komputer pribadi dilengkapi modem -- alat yang memungkinkan komputer berkomunikasi lewat komputer. Hanya keberuntungan yang menyebabkan BNI segera mengetahui kebobolan itu dan sempat memblokir uang itu di berbagai negara tujuan. Kendati untuk itu BNI terpaksa membayar ganti rugi di bank tujuan sebesar Rp 68 juta. Kendati Rudy dan Seno dihukum masing-masing 4 dan 3 tahun penjara, mereka membantah tuduhan itu. "Pokoknya, saya tidak melakukan kejahatan itu," kata Rudy (TEMPO, 19 Maret 1988). Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. Koesparmono Irsan, membenarkan kuantitas kejahatan bank semakin meningkat. Dari segi kualitas semakin canggih, terorganisasi, dan didasari perencanaan matang. Untuk itu, tentunya, bukan cuma polisi yang harus siap. Bankir juga. Widi Yarmanto, Moebanoe Moera, Budiono Darsono, Muchsin Lubis (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini