SEKITAR pukul 21.30, Santo Djaelany, 29 tahun, tengah bersantai bersama temannya, Rikky, di Coffee House Golden Palace, Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta. Tiba-tiba radio pejer yang terselip di pinggangnya berbunyi. Ia, menurut pesan radio itu, diminta datang menemui Yusien di Coffee Sho King Cobra di Jalan Mangga Besar, di Jakarta Barat. Mendengar panggilan kawan lama itu, Santo dan Rikky segera menuju tempat tersebut. Sesampainya di depan King Cobra, tiba-tiba seseorang bertubuh tinggi besar menyambut Santo. "Kamu yang namanya Santo?" tanyanya. Begitu Santo mengangguk, orang itu mendorongnya ke sebuah taksi. Sebuah tinju segera menghajar perut ayah tiga anak itu, sehingga Santo terduduk di jok taksi. "Kamu bisa saya bunuh," begitu orang tak dikenal itu mengancam. Santo pun terpaksa diam, dan taksi pun berlalu. Peristiwa itu tentu saja membuat Rikky bingung. Dari seseorang di sekitar tempat itu, Rikky memperoleh informasi bahwa salah seorang yang menculik Santo itu bernama Harto -- seorang oknum berpangkat kapten yang dikenal di sekitar wilayah itu. Tak lama kemudian Rikky mendapat pesan dari Santo melalui radio pejernya. Menurut Santo, penculiknya meminta tebusan Rp 5 juta. Istri Santo, Wahyuni, yang dinihari itu dikabari soal itu, tentu saja kalang kabut. Sebab, mencari uang segitu tak gampang. Apalagi keadaan ekonominya, yang semula berkecukupan, sejak enam bulan terakhir ini morat-marit konon akibat usaha suaminya, sebagai makelar mobil dan tanah, jatuh. Tapi berkat kegigihannya, dinihari itu juga Wahyuni memperoleh Rp 1,5 juta. Uang itu, berdasar instruksi si penculik, diantar Rikky ke Coffee House Monalisa, di Mangga Besar. Sekitar pukul 03.00, di tempat itu, pundaknya ditepuk seseorang tinggi besar. "Kamu temannya Santo?" tanyanya. Uang itu pun diserahkannya setelah orang tadi mengeluarkan SIM dan KTP Santo. Setengah jam kemudian, Santo, melalui radio pejer, kembali menyampaikan pesan selanjutnya. "Saya sudah menerima Rp 1,5 juta, tapi saya belum bisa keluar. Karena mereka masih minta tebusan Rp 3,5 juta lagi." Santo juga berpesan agar TV, kulkas, atau apa saja yang bisa dijual, kalau perlu surat rumah gadaikan saja. "Tolonglah saya. Apa kamu tidak kasihan sama saya," pesan Santo lagi. Wahyuni makin bingung. Ia menyerah karena tak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu. Ternyata penculik bersedia mengundurkan penyerahan uang tebusan sampai Sabtu siang. Celakanya, usaha Wahyuni mencari pinjaman di pagi itu sia-sia. Ia pun menghubungi teman suaminya, Alex. Atas saran Alex, pada Sabtu siang, Wahyuni melapor ke Polsek Tamansari. Polisi pun bergerak. Antara lain menyadap pembicaraan telepon penculik dengan keluarga Santo. Sekitar pukul 15.30 Santo menelepon Wahyuni dan meminta uang tebusan itu disampaikan Rikky ke penculiknya. Satu jam kemudian Rikky bergerak. Perjalanan Rikky kali ini diikuti dua anggota polisi yang menyamar sebagai tukang becak. Tiba-tiba radio pejer Rikky berbunyi. Pesannya: "Kamu segera meluncur ke Monalisa." Rikky pun memanggil "tukang becak" itu dan menuju Monalisa. Begitu ia turun dari becak dan pura-pura membayar Rp 500, seorang laki-laki menanyakan sisa uang tebusan Rp 3,5 juta itu. Ketika itulah "tukang becak" tadi menghajar laki-laki tersebut. Tukang becak lainnya ikut memukuli. Motif penculikan, menurut sumber TEMPO di Polda, hanya soal pemerasan, yang diotaki teman berjudi Santo, Markus Gunawan. Konon Markus, yang kalah berjudi, menuduh Santo sebagai biang kekalahan itu. Sebab itu ia menculik Santo dan memerasnya. "Komplotan penculik ada tujuh orang, termasuk seorang oknum ABRI," kata sumber itu.WY, Ardian Taufik Gesuri, dan G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini