Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa Hakim Disebut Wakil Tuhan dan Dipanggil Yang Mulia?

Karena memiliki wewenang memutuskan perkara, hal itu menempatkan hakim seolah-olah sebagai "wakil Tuhan" dan diberi gelar "Yang Mulia".

10 Oktober 2024 | 07.46 WIB

Ilustrasi hakim. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi hakim. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hakim di Indonesia sering disebut sebagai "wakil Tuhan". Penyebutan ini menunjukkan kedudukan hakim yang terhormat dan penuh tanggung jawab. Namun, sebutan "wakil Tuhan" sebenarnya tidak muncul dalam peraturan resmi apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istilah ini berakar dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa setiap putusan hakim harus mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Irah-irah ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab hakim tidak hanya terbatas pada hukum dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kedudukan hakim di pengadilan sangat tinggi. Mereka memiliki wewenang untuk memutuskan perkara, dan siapa pun yang terlibat harus tunduk pada putusannya. Hal ini menempatkan hakim seolah-olah sebagai perwakilan Tuhan dalam memutuskan kebenaran dan keadilan. Karena itu, hakim diberi gelar "Yang Mulia" atau officium noble.

Meskipun dianggap sebagai wakil Tuhan, hakim tetap manusia biasa yang bisa membuat kesalahan, termasuk terlibat dalam tindak pidana. Untuk menjaga kehormatan profesi hakim, mereka diawasi oleh Komisi Yudisial yang memiliki tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta perilaku hakim. Bersama Mahkamah Agung, Komisi Yudisial juga menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang berfungsi menjaga integritas hakim.

KEPPH ini berisi sepuluh prinsip dasar yang harus dipegang oleh hakim, antara lain berperilaku adil, jujur, bijaksana, mandiri, dan bertanggung jawab. Kode etik ini merupakan dasar yang mengikat perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya, meskipun mereka dianggap sebagai wakil Tuhan.

Sebutan "Yang Mulia" untuk hakim memiliki akar sejarah. Di masa lalu, panggilan ini sering digunakan untuk orang-orang dengan garis keturunan kerajaan atau yang memiliki status sosial tinggi, termasuk hakim. Meskipun panggilan ini seiring waktu mengalami penyesuaian, pada hakim sebutan "Yang Mulia" tetap dipertahankan sebagai bentuk penghormatan atas kedudukan mereka yang harus bersikap jujur, tidak memihak, dan dapat diandalkan.

Di Indonesia, tidak ada landasan hukum yang mengharuskan setiap orang, termasuk saksi, tersangka, jaksa, atau pengacara, untuk memanggil hakim dengan sebutan "Yang Mulia". Namun, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan disebutkan bahwa setiap pihak wajib menunjukkan sikap hormat kepada hakim, termasuk dengan berdiri saat hakim masuk dan meninggalkan ruang sidang.

Meskipun tidak ada aturan eksplisit mengenai panggilan "Yang Mulia", beberapa pengadilan di Indonesia secara tegas mengimbau penggunaan sebutan tersebut. Sebutan "Yang Mulia" mungkin bukan keharusan formal, tetapi hal ini mencerminkan penghormatan terhadap peran hakim sebagai penegak keadilan yang bekerja dengan tanggung jawab moral kepada Tuhan.

ACHMAD HANIF IMADUDDIN | HAN REVANDA PUTRA


 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus