Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengawasi Para Bhayangkara

Pembentukan Komisi Kepolisian Nasional berlarut-larut sampai dua tahun. Kasus penyalahgunaan wewenang polisi makin menumpuk.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimik Jenderal Da'i Bachtiar tampak serius saat menyimak semua pertanyaan dari anggota Komisi Hukum DPR RI. Sesekali, tangannya sibuk mencatat di sebuah kertas. Dari pengeras suara, terdengar rentetan pertanyaan anggota Komisi III DPR yang dipimpin Teras Narang.

Tak pelak, suasana rapat kerja Polri dan Komisi III di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu itu, seolah berubah menjadi "pengadilan" bagi polisi. Berondongan pertanyaan anggota Dewan sebagian besar mempersoalkan kinerja para bhayangkara yang tidak memuaskan.

Salah seorang anggota DPR misalnya memberi contoh kekecewaannya. Ia bercerita, di Kepolisian Resort Jakarta Barat ada seorang perwira menengah yang terlibat kasus pemerasan. Bukannya diusut, sang perwira malah dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Wilayah. Pertanyaan pun kemudian bergulir ke lambatnya pembentukan lembaga pengawas polisi, yaitu Komisi Kepolisian Nasional.

Komisi Kepolisian sebetulnya bukan barang baru. Lembaga ini sudah diamanatkan pembentukannya oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Seperti dikatakan Gubernur Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK) Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, ide gagasan itu muncul ketika polisi dinyatakan berdiri sendiri, terpisah dari TNI pada 1999. "Muncul pertanyaan, siapa yang mengontrol polisi, karena polisi langsung di bawah presiden," kata Farouk kepada Tempo pekan lalu.

Ide itu terus bergulir, lalu lahir Ketetapan MPR Nomor VIII/2000 yang menetapkan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional. Kemudian untuk teknis pembentukannya dituangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang Kepolisian.

Tujuan utama pembentukan komisi ini adalah untuk memantau aktivitas para polisi. Tidak hanya mengawasi, komisi juga boleh memberi pertimbangan kepada presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kepala Polri. "Lembaga ini diharapkan bisa meminimalkan tindakan polisi yang menyalahgunakan wewenang," kata Helmi Hidayat, Koordinator Indonesian Police Watch, organisasi nonpemerintah yang aktif mencermati kinerja polisi. Dengan adanya Komisi, menurut Helmi, kepolisian tak lagi memutuskan sendiri segala sesuatu secara internal. "Kelak sudah ada yang memantau secara intens," katanya.

Cerita penyalahgunaan wewenang polisi memang bukan lagi rahasia. Bahkan kalangan polisi sendiri ikut gerah. Akhir 2003 lalu, para mahasiswa PTIK?mereka adalah perwira polisi?melakukan penelitian di 19 wilayah kepolisian Indonesia. Dan hasil penelitian membenarkan apa yang selama ini menjadi pembicaraan umum: Di tubuh kepolisian terjadi korupsi di dua lini sekaligus. Pertama, secara internal, di tubuh kepolisian sendiri sudah jamak ada jual-beli jabatan, penyuapan saat perekrutan calon polisi, serta korupsi di pendistribusian logistik dan penyaluran anggaran.

Kedua, dari sisi eksternal, inilah bentuk penyalahgunaan yang memakan korban orang banyak. Kasus yang paling sering terjadi adalah korupsi di jalanan oleh polisi lalu lintas. Selain itu, di bagian reserse, dikenal modus penyelesaian kasus kriminal dengan sebutan "delapan enam". Arti kode sandi itu adalah kasus diselesaikan secara damai tanpa proses hukum. Tidak gratis, tentu saja. Orang yang terlibat kasus harus rela memberi sejumlah uang untuk polisi. Penelitian inilah yang kemudian diseminarkan pada 12 Februari 2004.

Tentu tak semua polisi bobrok. Sejumlah perwira menengah juga pernah menyampaikan kritik seperti dilakukan para mahasiswa PTIK itu. Tapi karena enggan menanggung risiko, kritik mereka sampaikan melalui surat tanpa mencantumkan identitas.

Rangkaian kisah suram itulah yang memunculkan tudingan bahwa sebetulnya polisi tidak rela dengan adanya Komisi Kepolisian. Logika yang wajar, karena siapa mau membentuk lembaga yang mengawasi diri sendiri? Namun, Da'i menolak tudingan itu. "Buktinya, kami sudah merancang draf Keputusan Presiden tentang Komisi Kepolisian Negara," kata dia.

Boleh jadi Da'i benar. Namun, membuat draf adalah satu soal, sedang mempercepat proses pembentukan Komisi adalah soal lain. Nyatanya, draf yang disusun sejak Desember 2002 itu berkali-kali hanya mondar-mandir dari Mabes Polri ke Sekretariat Negara. Mula-mula draf diajukan ke Sekretariat Negara pada 6 Mei 2003. Sebulan kemudian ditarik lagi. Lalu, dimasukkan lagi pada 23 September 2003.

Tiga bulan berselang, Mabes Polri kembali menarik draf tadi. Terakhir naskah ini disodorkan lagi pada 1 April 2004. Kabar terakhir, menurut juru bicara kepresidenan, Andi Alfian Mallaranggeng, draf rancangan Komisi Kepolisian sudah masuk ke Sekretariat Negara. "Dalam waktu dekat komisi ini dibentuk. Tunggu saja," katanya.

Salah seorang perancang Komisi Kepolisian, Inspektur Jenderal (Purn.) Ronny Lihawa, mengatakan, draf itu antara lain berisi susunan anggota komisi. Total, mereka berjumlah sembilan orang, termasuk dua di antaranya adalah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Tujuh lainnya dipilih dari pakar kepolisian dan tokoh masyarakat.

Tapi bahkan kalaupun Komisi itu terbentuk, tak banyak yang optimistis bahwa polisi bakal berubah wajah. Inspektur Jenderal Farouk, misalnya, adalah salah satu petinggi polisi yang tak berani berharap banyak. Persoalannya, meski Komisi bertugas mengawasi, kekuatan pemaksanya nyaris tak ada. "Hanya semacam penasihat. Nasihat mereka bisa dipakai oleh Polri atau presiden, bisa juga tidak," kata Farouk.

Masalah lain adalah kemampuan komisi ini untuk melakukan pengawasan. Bagaimana mungkin sembilan orang yang berkantor di Jakarta bisa mengawasi lebih dari 300 ribu polisi di seluruh penjuru negeri? "Paling-paling, yang terpantau hanya kasus-kasus yang menonjol," kata Farouk.

Menurut Farouk, seharusnya Komisi Kepolisian meniru komisi serupa di Filipina. Di negeri ini, komisi memiliki kekuatan untuk menghukum polisi yang menyimpang. Contoh lain adalah Jepang. Di sini, Komisi langsung berada di bawah presiden dan dipimpin seorang menteri. "Nah, komisi kepolisian di sana adalah atasan Kepala Polisi," kata Farouk.

Bagi Farouk, Indonesia bisa saja menggabungkan model Jepang dan model lain dari Amerika. Di Jepang, rakyatnya sangat percaya pada pengawasan internal kepolisian. Sebaliknya, di Negeri Paman Sam orang lebih percaya pengawasan eksternal. Farouk juga menyarankan sebaiknya Komisi tidak hanya di tingkat nasional, tapi harus sampai ke tingkat lokal. "Di dalam komisi juga harus ada unit yang khusus menampung keluhan masyarakat," katanya.

Lain lagi pendapat Inspektur Jenderal Sudirman Ail, staf ahli Kepala Polri. Bagi Sudirman, sebagus apa pun aturan yang ada, akhirnya terpulang pada pelaksananya sendiri. Ia lalu mengutip sebuah ucapan, "Berilah aku polisi yang baik, jaksa yang baik, hakim yang baik. Dengan aturan yang buruk pun hukum tetap bisa ditegakkan."

Itulah soalnya. Di sini, orang telanjur sulit percaya petugas hukum bisa baik dengan sendirinya tanpa pengawasan.

Nurlis E. Meuko, Indra Darmawan, Poernomo G. Ridho


Tugas Komisi Kepolisian

  1. Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Wewenang

  1. Mengumpulkan dan menganalisis data untuk bahan saran kepada Presiden menyangkut anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian.
  2. Memberi saran kepada Presiden dalam upaya mewujudkan polisi yang profesional dan mandiri.
  3. Menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus