Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mahkamah dengan Berkas Bolong

Adrian Waworuntu terancam hukuman mati. Tapi banyak lubang di berkas perkara. Jika kejaksaan lengah, dia bakal lolos.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah di balik jeruji tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu kelihatan lelah. Tapi nada suaranya tetap penuh percaya diri. "Saya yakin tak bersalah," kata Adrian Waworuntu pekan lalu. Ia seperti menguatkan hati, karena beberapa saat kemudian, sidang perdana kasus pembobolan duit BNI 46, tuduhan yang disangkakan padanya, akan dimulai.

Tim penuntut yang diketuai jaksa Syaiful Thahir memasang jeratan berlapis dalam dakwaannya. Pertama, dia dituduh melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikutnya, tuduhan melakukan money laundering, melanggar UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dan inilah ancaman hukuman maksimal bagi Adrian: mati atau penjara seumur hidup.

Toh, ancaman maut itu tak membuat gentar. Sepanjang pembacaan dakwaan setebal 17 halaman, Adrian yang mengerahkan belasan pengacara untuk membela diri terlihat tenang. "Saya tidak paham," katanya ketika hakim bertanya apakah dia memahami dakwaan jaksa. Jaksa pun harus menjelaskan dakwaannya kembali satu per satu.

Boleh jadi, Adrian cukup percaya diri karena yakin jerat hukum tak akan mampu menjangkaunya. Apalagi dalam pengusutan, berdasarkan dokumen pemeriksaan yang diperoleh Tempo, ada lubang menganga yang memungkinkan dia lolos. Lubang itu berasal dari penjualan tanah PT Hebron Masada dan PT Supra Nusa Pertiwi di Cilincing kepada Pauline Maria Lumowa?biasa dipanggil Erry?pemilik Gramarindo Grup. Seperti diketahui, melalui kelompok perusahaannya itu, Erry berhasil mengutak-atik letter of credit (L/C) Bank BNI sehingga bank pemerintah itu kebobolan Rp 1,7 triliun.

Belakangan, pengusutan polisi menunjukkan, dengan uang hasil pembobolan BNI itu, Erry membayar pembelian tanah PT Hebron Masada dan PT Supra Nusa Pertiwi ke Adrian sebesar Rp 5,1 miliar?dari total harga yang disepakati sebesar Rp 31 miliar. Yang jadi soal, secara hukum, kedua perusahaan itu bukanlah milik Adrian. Ini karena akta pemilikan perusahaan bukan atas nama Adrian, tapi masih atas nama orang lain. Meski Adrian sudah mengakui memiliki kedua perusahaan tadi, tanpa dokumen bukti kepemilikan, dakwaan jaksa sangat mungkin bakal mentah. Padahal, kasus penjualan tanah inilah senjata utama untuk mendakwa Adrian.

Yan Djuanda Saputra, ketua tim penasihat hukum Adrian, juga yakin kliennya tidak bisa dipidana. "Masalah ini sebenarnya hanya pengajuan permohonan kredit. Jadi, seharusnya ini masalah perdata biasa," ujarnya. Menurut Yan, Adrian bersedia menjamin L/C Erry semata-mata karena ia menimbang wanita tersebut memiliki cukup agunan untuk membayarnya kelak. Selain itu, Erry bukan warga negara Indonesia sehingga butuh penjamin lain untuk mencairkan dana tersebut. "Penjamin tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana," ujar Yan.

Bahkan sejak pemeriksaan awal pun, banyak kejanggalan pada kasus ini. Tim pengusut di Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri memeriksa Adrian pada 19 November 2003. Namun, seluruh proses pemberkasan baru dinyatakan lengkap hampir 10 bulan kemudian, tepatnya 9 September lalu. Kejanggalan lain, selama penyidikan, Adrian ditahan penuh 120 hari. Namun, hanya 83 hari ia merasakan pengapnya sel polisi. Selebihnya, ia diperiksa secara "istimewa" di ruang tamu Kepala Unit II Ekonomi Khusus.

Hingga dinyatakan kelar, berkas Adrian mondar mandir kejaksaan-kepolisian sampai tujuh kali. Salah satu penyebabnya bahkan sangat sepele. Ini misalnya terjadi pada penyerahan berkas ketiga, 16 Maret 2004. Saat itu, jaksa menolak berkas karena polisi belum memeriksa saksi ahli hukum pidana. Pada petunjuk di penyerahan ketiga ini, jaksa malah mengulangi permintaan penyitaan barang bukti. Padahal, perintah ini sudah dipenuhi polisi pada penyerahan berkas pertama.

Proses bertele-tele juga terjadi pada pemberkasan kelima, ketika jaksa meminta kepastian status tanah di Cilincing. Untuk memenuhi permintaan jaksa ini, polisi memerlukan waktu sampai dua bulan. Dan pada pemberkasan keenam, proses ini memakan waktu sampai satu bulan. Padahal, yang dibutuhkan saat itu hanya pemeriksaan seorang saksi.

Di tengah semua proses maju-mundur itu, pada pemberkasan ketujuh, jaksa menyatakan kasus Adrian berstatus P21 (sudah lengkap). Polisi kemudian diminta segera menyerahkan barang bukti dan tersangka. Namun, sejak akhir September 2004, Adrian telanjur raib. Polisi baru berhasil menyerahkan pria 53 tahun itu ke kejaksaan pada 22 Oktober 2004, beberapa jam setelah ia mendarat di Bandara Polonia, Medan, dari pelariannya ke berbagai negara.

Tentu saja polisi menolak dituding sebagai biang keladi lambatnya pemeriksaan Adrian. Menurut polisi, justru ada keanehan dalam petunjuk yang diberikan jaksa. Biasanya, kata seorang petinggi di Markas Besar Polisi, petunjuk diberikan sekaligus, bukan berkali-kali seolah dicicil. Akibatnya, proses pemberkasan pun sangat lambat. "Ada dugaan, jaksa dan polisi sama-sama main," kata petinggi itu.

Sebaliknya, pihak kejaksaan yang justru menuding polisilah biang kerok keterlambatan. "Bagaimana bisa cepat? Mereka (polisi) yang lambat," bantah seorang pejabat di Kejaksaan Agung yang pernah menangani berkas Adrian.

Ia memberi contoh, ketika memeriksa saksi ahli Profesor Andi Hamzah, polisi mengirimkan berkasnya ke Kejaksaan Tinggi Jakarta tanpa lampiran bukti transaksi L/C. "Ya, tentu (berkas) kita kembalikan lagi," ungkapnya. Penyebab lain, kata sumber itu, karena polisi tak mau menyidik Adrian dengan tuduhan korupsi. Polisi ngotot menjerat pria kelahiran Tomohon, Sulawesi, itu dengan sangkaan pencucian uang.

Adrian sendiri dalam pemeriksaan berkali-kali menegaskan bahwa dia tak bersalah. Ihwal jual-beli tanah Cilincing, misalnya, menurut Adrian, dia tidak tahu bahwa uang yang dibayarkan Erry adalah hasil pembobolan BNI. Ia juga membantah memiliki kaitan dengan Gramarindo Group. Di kelompok usaha itu, kata Adrian, kedudukannya hanya sebagai penasihat investasi untuk PT Sagared Team, salah satu perusahaan Erry. Posisi itu pun hanya dia pegang sejak Januari sampai Agustus 2003, sedangkan beberapa anak perusahaan Gramarindo sudah membuka rekening dan melakukan pendiskontoan untuk pencairan L/C sejak 2002.

Melihat lubang-lubang itulah, Chaerul Imam, mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, meminta pihak kejaksaan bergerak cepat. Mantan jaksa ini menyarankan, sebaiknya kejaksaan segera menambal lubang-lubang yang ada sehingga jerat bagi Adrian bisa lebih ketat. "Jangan lupa, kejaksaan juga punya kewenangan memeriksa perkara korupsi," kata Chaerul.

Saran yang bagus, namun sayangnya sudah terlambat. Dalam gelar perkara Adrian di Kejaksaan Agung, awal November lalu, jaksa menilai berkas itu sudah komplet alias tak perlu lagi dilengkapi. Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum Suhandoyo menepis kekhawatiran bahwa Adrian bakal lolos. "Berita Acara Pemeriksaan kan tidak mengikat," katanya.

Dia menjelaskan, hukum acara tidak mengatur bagaimana bentuk dan syarat BAP. Pertempuran yang diakui hukum, kata dia lagi, adalah seluruh proses di persidangan. "Ruang pembuktian dalam kasus korupsi cukup lebar, bisa formil dan materiil. Maka, jaksanya harus pintar dan kreatif," katanya. Mungkin saja kejaksaan punya jurus penjerat lain.

Arif A. Kuswardono, TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus