Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kewenangan di Km 13,600

Kapolri menyatakan pihaknya tak melakukan kesalahan dalam kasus kecelakaan di jalan tol. Presiden diminta memakai jalur khusus.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IWAN Warga Sasmita kini hanya bisa merenung di tahanan Polda Metro Jaya. Sudah hampir dua pekan pria 48 tahun sopir bus Garuda itu mendekam di sana. Ia tak menyangka nasibnya senahas ini: ditetapkan sebagai tersangka penyebab tabrakan beruntun di jalan tol Jagorawi, Rabu dua pekan lalu. Kecelakaan itu merenggut enam nyawa dan meringsekkan tujuh mobil.

Senasib dengan Iwan adalah Wibowo Wongso. Pengemudi Toyota Kijang ini pun dijadikan tersangka dalam peristiwa tragis di tengah suasana Idul Fitri itu. Polisi juga sudah memeriksa puluhan orang yang melihat kecelakaan itu, 21 di antaranya ditetapkan sebagai saksi.

Aneh bin ajaib, polisi juga sempat menetapkan Hidayat, pengemudi mobil pick-up, sebagai tersangka. Padahal Hidayat ikut tewas dalam insiden itu. Mungkin karena menyadari ketetapan nyentrik ini, sepekan kemudian Kepala Polisi Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani, mencabut status tersangka Hidayat.

Seperti telah luas diketahui, tabrakan berantai itu terjadi sekitar sepuluh menit sebelum iring-iringan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasuki pintu tol. Saat itu Yudhoyono, dari kediamannya di Cikeas, Cibubur, akan menuju Istana Negara. Seperti biasa, rombongan Presiden berada dalam pengawalan dan pengamanan jalur very important person (VIP).

Petugas Patroli Jalan Raya (PJR) melakukan penyetopan di kilometer (km) 13,600, untuk memberikan jalan kepada kendaraan Presiden. Tak dinyana, upaya ini menuai petaka. Menurut polisi, tabrakan terjadi karena Iwan Warga Sasmita tak mampu mengendalikan busnya. Seharusnya, kata polisi, bus Garuda berhenti begitu dalam jarak 50 meter melihat ada kendaraan stop di depannya.

Polisi juga menilai bus Garuda sebenarnya tak laik jalan. Dua ban depan kanan-kiri gundul. "Akibatnya, pengereman tidak maksimal," ujar seorang polisi. Polisi juga menemukan sejumlah kesalahan bus Garuda lainnya. Di dalam surat tanda nomor kendaraan (STNK), misalnya, tertera warna bus hijau-putih. Tapi, saat tabrakan itu, bus Garuda berwarna hitam.

Benarkah Iwan yang menyebabkan kecelakaan itu? Agus Supianda, seorang korban yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), justru menuding polisi biang keladi musibah itu. Polisi, katanya, melakukan pemberhentian tiba-tiba. Menurut Iwan, tindakan polisi ini membuat sejumlah pengemudi kendaraan terkejut dan panik.

"Karena ada penyetopan tiba-tiba, saya lalu membanting setir ke kanan untuk menghindari tabrakan dengan kendaraan di depan," kata Iwan. Tapi justru "bantingannya" itu melibas mobil Kijang yang saat itu juga sedang melaju kencang.

Tak hanya keluarga korban, masyarakat juga melihat polisi terlalu gegabah dalam kasus ini. Polisi, misalnya, dituding menyalahi prosedur karena tak semestinya melakukan penghentian kendaraan di jalan tol yang bebas hambatan itu. Demikian juga dengan penetapan tersangka yang dinilai terburu-buru.

Namun tuduhan polisi menyalahi prosedur dibantah Firman Gani. Firman menyatakan, kewenangan polisi menghentikan arus lalu lintas untuk memfasilitasi VIP dan VVIP bagi pengendara sudah diatur dalam Undang-Undang No. 14/1992 tentang Lalu Lintas serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 43/1993 tentang Prasarana dan Peraturan Lalu Lintas Jalan. "Sedangkan di jalan tol, sesuai dengan PP No. 8/1990 tentang jalan tol," katanya, Senin pekan lalu.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Djoko Susilo, menekankan bahwa jalan tol merupakan jalan umum alternatif. Menurut Djoko, sesuai dengan Pasal 28 PP No 8/1990, pemakai jalan tol wajib mematuhi ketentuan jalan umum. Tak ada keistimewaan. "Berarti, di jalan tol itu juga berlaku ketentuan jalan umum," katanya.

Djoko menyatakan sudah mengecek tindakan anak buahnya di lapangan. "Tidak ada yang salah," ujarnya. Hal yang sama juga ditekankan kembali oleh Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar. Kamis pekan lalu, dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Da'i mengatakan polisi sudah melakukan semua prosedur tetap.

Da'i menjelaskan, pengawalan perjalanan rombongan presiden atau tamu setingkatnya sebagai very important person (VIP) atau very-very important person (VVIP) ada aturannya. "Berdasarkan Pasal 65 PP 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pengguna jalan wajib memberikan prioritas kepada rombongan VIP atau VVIP," katanya.

Lewat peralatan proyektor, Da'i memaparkan kronologi tabrakan beruntun itu. Menurut dia, setelah menerima informasi rombongan Presiden akan keluar dari Cikeas menuju Istana Negara, petugas PJR Unit 9544 menutup jalur bagi kendaraan yang akan masuk pintu tol Cibubur.

Unit 9541 lalu bergerak dari km 16,600 ke km 13,600 dengan menyalakan sirene, rotator, dan lampu hazard, serta isyarat tangan meminta kendaraan lain memperlambat laju. "Semua tanda itu telah dilakukan petugas," kata Da'i.

Di km 13,600 itu, kata Da'i, beberapa kendaraan telah berhenti dan menutup tiga lajur utama jalan tol. Salah seorang petugas pun turun mengatur dari pinggir jalan tol. Ketika itulah terdengar benturan keras. Kendaraan angkot yang bergerak dari lajur dua ke lajur tiga ditabrak oleh pick-up. "Pada saat bersamaan, bus Garuda melaju kencang, dan terjadilah tabrakan itu," kata Da'i.

Dengan argumentasi yang diajukan Da'i, polisi tampaknya memang tak bisa disalahkan. Apalagi tak ada rekaman video yang bisa memperlihatkan kejadian sesungguhnya. Mungkin yang terbaik, seperti dikatakan Patrialis Akbar, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, polisi perlu mengantisipasi kasus semacam ini agar tak terulang.

Karena Presiden Yudhoyono tinggal di kawasan Cibubur, yang artinya akan kerap melewati jalan tol, Patrialis mengusulkan tidak perlu dilakukan penghentian jika Presiden lewat. "Tapi digiring saja, atau memakai jalur khusus pada jam-jam tertentu," katanya.

Sukma N. Loppies dan Yophiandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus