Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG hari-hari terakhirnya sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA), Sarwata berakrobat politik. Sarwata, yang akan pensiun pada 1 Agustus 2000 karena berusia 65 tahun, mengedarkan nama empat hakim agung sebagai calon penggantinya. Keempat jago yang diunggulkan itu adalah Soeharto, Toton Suprapto, Paulus Effendie Lotulung, dan Marianna Sutadi.
Tentu saja manuver Sarwata mengejutkan. Sebab, jangankan penentuan Ketua MA, proses pemilihan 20 hakim agung di DPR pun belum rampung. Sampai kini, 80 calon hakim agung masih diseleksi ketat oleh DPR. Sesuai dengan aturannya, DPR nantinya mengusulkan calon Ketua MA dari para hakim agungbaik yang berasal dari pemilihan itu maupun yang sudah ada di MAkepada Presiden.
Yang memprihatinkan, pencalonan Ketua MA versi Sarwata itu justru bertentangan dengan aspirasi masyarakat yang menginginkan perubahan besar di MA. Masyarakat berharap agar Ketua MA kelak bukan berasal dari hakim karir atau orang di lingkungan peradilan, terutama MA. Sampai-sampai Presiden Abdurrahman Wahid pun menjagokan Benjamin Mangkoedilaga, pensiunan hakim tata usaha negara, sebagai Ketua MA.
Keempat hakim agung yang dicalonkan itu memang terhitung orang dalam MA. Bahkan bisa dibilang mereka sudah demikian lekat dengan kerapuhan di tubuh MA. Toton Suprapto, 61 tahun, misalnya, dulu dikenal sebagai Sekretaris Jenderal MA yang amat setia melindungi Ketua MA semasa Soerjono.
Toton yang juga dicalonkan Sarwata sebagai Ketua Muda Perdata Adat, seolah-olah menjadi bumper sekaligus juru bicara Soerjono. Waktu itu Soerjono dihantam gelombang demonstrasi akibat surat saktinya pada kasus tanah suku Ohee di Irianjaya. Soerjono juga diterpa isu kolusi pada vonis kasasi yang membebaskan terdakwa Ram Gulumal.
Sekalipun demikian, Toton mengaku bahwa dirinya hanya menjalankan tugas. "Saya harus menjaga citra MA, bukan menjadi juru bicara pribadi Ketua MA," ujar Toton, yang meniti karir sebagai hakim sejak 1963. Koleganya, Sekretaris Jenderal MA Pranowo, juga menyatakan bahwa Toton telah melampaui masa-masa berat itu dengan baik.
Akan halnya Soeharto, 59 tahun, ia kini menjadi Ketua Muda Perdata Tertulis. Nama calon nomor satu Sarwata ini jarang terdengar, meski karirnya terhitung melaju pesat. Kabarnya, prestasi Soeharto tergolong paling bagus di MA. Sebagaimana Toton, Soeharto yang berpenampilan kalem ini juga sudah 37 tahun menjadi hakim.
Tak berbeda dengan Toton, Soeharto pun mengaku sangat mengharap pulihnya kembali kepercayaan masyarakat terhadap MA. Selain itu, Soeharto menginginkan adanya pembatasan perkara yang bisa dikasasi. "Masa, perkara pelanggaran lalu lintas ataupun utang-piutang sejuta rupiah dikasasi," kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia itu.
Dibandingkan dengan Soeharto, nama Marianna Sutadi, 59 tahun, lebih tak dikenal. Tak aneh bila satu dari lima hakim agung wanita yang sekarang ada itu mengaku tak tahu-menahu bahwa dirinya dicalonkan oleh Sarwata. "Menjadi Ketua MA itu ibarat mengenakan toga yang sangat longgar. Berat tanggung jawabnya," ucap ibu dua anak dan istri Sutadi Djajakusuma yang duta besar Indonesia di Brasil itu.
Dari keempat calon itu, yang agak berbeda mungkin Paulus Effendie Lotulung, 57 tahun. Itu karena Lotulung, doktor hukum administrasi negara lulusan Sorbonne, Prancis, cukup kondang di lingkungan kampus ataupun seminar. Namun, dengan gaya urut kacang ala MA, Lotulung dianggap hakim agung "yunior". Toh, calon Ketua Muda Tata Usaha Negara itu merasa yakin dengan pepatah "anggur yang baik tak perlu diiklankan".
Memang, ada ganjalan buat Lotulung, yakni kasus vonis palsu terdakwa Rudi Hendrawidjaja. Pada kasus itu, Lotulung menjadi anggota majelis hakim kasasi yang diketuai Sarwata. Tapi Lotulung menandaskan, tak ada vonis palsu. Yang terjadi, katanya, cuma kesalahan administrasi, sehingga konsep putusan bisa beredar ke luar MA.
Yang jelas, menurut mantan hakim agung Adi Andojo, tak satu pun dari keempat jago Sarwata itu pernah menelurkan vonis bermutu. Namun, ada yang mengatakan, Lotulung terhitung konseptor putusan yang berbobot. Contohnya, pada putusan perkara Walhi melawan PT Inti Indorayon Utama, ia mengakui hak Walhi sebagai penggugat masalah lingkungan hidup.
Itu dari segi mutu putusan. Dari aspek integritas, keempat calon diduga lebih terdominasi sikap sebagai aparat ketimbang penegak keadilan. Sebab itu, menurut Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, bila mereka menjadi Ketua MA, diperkirakan mereka akan melindungi kepentingan Sarwata. Setidaknya, mengamankan pelbagai aib warisan Sarwata, termasuk kolusi perkara.
Bagi Pengacara Frans Hendra Winarta, upaya Sarwata mencalonkan empat hakim agung itu kurang etis. Apalagi proses pemilihan hakim agung di DPR belum selesai dan Sarwata baru pensiun pada 1 Agustus 2000. "Mestinya yang mengajukan masyarakat. Kalau Ketua MA yang mengajukan, itu seolah-olah mau mendikte DPR," kata Frans.
Namun, Pranowo berpendapat bahwa pencalonan itu, yang katanya merupakan usul pimpinan MA, bukan Sarwata pribadi, merupakan hal lumrah. "Wong, di luaran juga sudah beredar banyak nama calon Ketua MA. Dan, mohon maaf, Gus Dur sendiri juga sudah terang-terangan mendukung Benjamin Mangkoedilaga. Jadi, apa salahnya bila MA memberi masukan ke DPR?" kata Pranowo.
Sebenarnya, di antara para calon hakim agung yang diproses DPR, ada juga nama yang berbobot. Dari golongan hakim nonkarir, umpamanya, ada ahli hukum tata negara Bagir Manan dan Baharuddin Lopa, yang pensiunan jaksa dan kini menjadi duta besar di Arab Saudi. Ada juga Muladi, mantan Menteri Kehakiman yang diunggulkan Golkar.
Toh, Soeharto dan ketiga rekannya di atas berpendapat, menjadi Ketua MA tak cuma harus jujur dan berani, melainkan juga profesional. "Kalau tidak profesional dan tak memahami proses perkara, bagaimana harus membenahi MA?" kata Soeharto.
Happy S., Rommy Fibri, Andari Karina Anom, dan Ardy Bramantyo Beratnya Pengganti Sarwata
SIAPA pun pengganti Ketua MA Sarwata, agaknya ia harus bersiap-siap menghadapi tekanan berat. Meskipun jabatan Ketua MA tampak agung, sesungguhnya posisi itu demikian rapuh. Sebab, kedudukan itu sering dihantam kritik lantaran dianggap berpihak pada kekuasaan dan dikikis kebobrokan akibat kolusi serta percaloan perkara.
Untuk soal jual-beli perkara, Sarwata malah diterpa isu tak tanggung-tanggung, yakni melibatkan "bisnis" anak kandungnya, Wawan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Wawan terhitung calo perkara kelas wahid di MA. Kepada pencari keadilan yang mau bertemu Sarwata, misalnya, Wawan memasang tarif Rp 50 juta. Wawan juga memperoleh proyek pengadaan komputer "212" untuk memonitor perkara di MA.
Bukan cuma itu daftar aib yang ditimpakan ke alamat Sarwata. Baru-baru ini, Komisi Ombudsman Nasional juga menerima beberapa pengaduan tentang Sarwata. Pengaduan itu, antara lain, menyangkut kasus tanah Sultan Deli di Sumatra Utara, tanah Siliwangi dan tanah Bapindo Plazakeduanya di Jakarta.
Pada kasus tanah Sultan Deli, Sarwata sewaktu menjadi Direktur Jenderal Agraria pernah mencabut hak para ahli waris Sultan Deli atas tanah itu. Lantas pencabutan itu menjadi perkara tata usaha negara. Sampai tingkat kasasi di MA, keputusan pencabutan tadi dibatalkan. Ternyata, di tingkat peninjauan kembali (PK), Sarwata selaku ketua majelis PK menganulir vonis kasasi.
Adapun pada kasus tanah Bapindo Plaza, Sarwata sebagai Asisten IV Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menjadi ketua tim penyelesaian tanah tersebut. Bahkan ketika menjadi Direktur Jenderal Agraria, Sarwata pula yang memberikan hak guna bangunan tanah itu bagi Bapindo.
Dalam kasus itu, Bapindo bersengketa dengan PT Anoa Perkasa. Hingga tingkat kasasi, Anoa memenangi perkara itu. Namun, begitu Bapindo mengajukan PK, cerita menjadi lain. Soalnya, majelis hakim PK yang juga diketuai Sarwata balik memenangkan Bapindo.
Seharusnya, menurut Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sudjata, Sarwata tak bisa menangani perkara PK tersebut. Artinya, perkara-perkara di atas mestinya diperiksa oleh majelis hakim agung yang lain. Sebab, "Bagaimanapun Sarwata punya kepentingan karena kasus itu menyangkut posisinya dulu sebagai Direktur Jenderal Agraria," kata Sudjata.
Memang, bukan cuma kasus yang menyangkut Sarwata yang diadukan pencari keadilan ke Komisi Ombudsman. Sejak komisi itu dibentuk pada 23 Maret 2000, sudah 880 pengaduan diterimanya. Sebanyak 37 persen di antaranya berupa penyimpangan di lembaga peradilan. Setelah itu, pengaduan terbanyak mengenai kasus tanah, polisi, dan jaksa.
Sayangnya, sebagaimana diakui Sudjata, rentetan rekomendasi Ombudsman kurang ditanggapi oleh instansi atau pejabat yang diadukan. Padahal, "Rekomendasi itu bukan untuk menyudutkan instansi atau pejabat, tapi lebih dimaksudkan bagi keadilan masyarakat," ujar Sudjata.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MA Pranowo menjamin bahwa Sarwata sama sekali tak melakukan penyimpangan hukum sebagaimana laporan ke Ombudsman. "Dulu kan Pak Sarwata mewakili eksekutif. Sekarang berada di koridor yudikatif. Jangan dicampuradukkan," katanya.
Pranowo juga menandaskan bahwa pada kasus tanah Sultan Deli, Sarwata sebagai Direktur Jenderal Agraria mengeluarkan keputusan tentang hak tanah itu sudah sesuai dengan prosedur hukum. Dan ketika memutuskan perkaranya di tingkat PK, Sarwata juga tak seorang diri, melainkan bersama dua anggota majelis hakim agung lainnya.
Happy S., Rommy F., Andari Karina Anom, dan Ardy Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo