PERKARA yang diperiksa Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara, ini mungkin tak ada duanya di dunia. Bayangkan, Daulat Tarigan, yang sudah meninggal dua tahun lampau, digugat cerai istrinya, Nai Kiat, 34 tahun. Lebih aneh lagi, perkara itu diajukan Nai berkat "petunjuk" ketua pengadilan setempat, bahkan gugatan itu dibikinkan panitera sang ketua. Untuk itu konon Nai membayar jasa sang ketua Rp 1 juta. Untunglah, kesesatan itu tidak berlarut-larut. Kamis pekan lalu, melalui LBH Medan, Nai, yang cuma tamatan SD, akhirnya mencabut gugatan tersebut. "Mestinya pengadilan mengayomi pencari keadilan. Bukan membodoh-bodohi orang," ujar Darwan Perangin-angin dari LBH Medan. Persoalan itu bermula dari keinginan janda beranak tiga itu untuk kembali mendapat pendamping. Kebetulan memang banyak lelaki di tempat tinggalnya, di Tigabinanga, Kabupaten Tanah Karo, yang memerli wanita berkulit kuning langsat itu. "Saya masih muda, dan kepingin kawin," katanya. Tapi niat wanita berayah Cina beribu Jawa ini mentok. Sejak suaminya meninggal, mertuanya, Mberumalem beru Sebayang, 62 tahun, tinggal serumah dengannya. Rupanya, mertuanya itu berdiam di situ untuk mengawasi tindak-tanduk Nai. Tindakan pihak mertua itu sah saja karena dibenarkan adat Batak Karo. "Sebelum acara adat perceraian dilakukan, si menantu belum bisa disebut cerai dari suaminya yang sudah meninggal," kata antropolog Dr. Payung Bangun. "Si menantu masih milik mertua." Tapi semangat Nai untuk kawin lagi, sudah tak terbendung. Tapi, tak seorang pun pria Karo mau menikah dengannya. Sebab, Nai belum melakukan acara perceraian kahkahbohan -- acara perceraian yang diumumkan kepada khalayak. Pada acara ini dipotong ternak. Pihak mertua akan menerima sejumlah uang dari menantunya. Menurut Payung Bangun, pria yang menikahi janda yang belum melaksanakan kahkahbohan dianggap berbuat zina dan bisa dituduh melarikan istri orang. Tapi Nai tak hendak melakukan upacara adat itu. Ia malah menjumpai Ketua Pengadilan Negeri Kabanjahe, Haji Ismail Sebayang. Dalam pertemuan itu, Ismail menyarankan Nai mengajukan gugatan cerai. Bahkan hakim itu memerintahkan paniteranya, H. Gultom, menyusun gugatan tersebut. Dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan lima bulan lalu itu Nai Kiat meminta perkawinannya dengan almarhum Daulat diputus pengadilan karena kematian. Dengan demikian, tak ada lagi hubungan hukum antara dia dan keluarga suaminya. Supaya semuanya bisa lancar, Ismail, menurut Nai, meminta Rp 1 juta. Tapi Nai cuma mampu setengahnya. Ismail tak keberatan menerima panjar Rp 300 ribu. Pihak mertua Nai, sebagai penggugat, dalam jawabannya di persidangan yang dipimpin Ismail sendiri, tidak berkeberatan hakim memutuskan perceraian. Syaratnya, ya Nai Kiat bikin acara adat tadi. Celakanya, Nai tak peduli dengan prosedur perkara. Ia rupanya sudah mengganggap urusannya selesai setelah membayar kepada hakim. Karena itu, dia tak mau bikin jawaban. "Untuk apa? Kan sudah saya bayar. Katanya semua akan beres. Untuk apa repot-repot," kata Nai. Tapi seorang teman Nai menegur sikapnya itu. "Prosedur perkara itu mesti kau ikuti kalau kau tak mau kalah," nasihat si teman. Karena itu, Nai melapor ke LBH Medan. Ternyata, menurut pengacara di situ, perkara itu tak layak disidangkan. "Pengadilan cukup hanya mengeluarkan penetapan bahwa perceraian itu otomatis akibat kematian," kata Darwan. Ismail Sebayang membenarkan pendapat Darwan. Tapi, kata Ismail, ia tak berhak menolak gugatan Nai. Ismail menyangkal telah menyuruh Nai menggugat almarhum suaminya. Ia juga membantah keras telah menerima uang dari Nai. "Mungkin anak buah saya, tapi bagaimana saya bisa memeriksa anak buah saya sebanyak itu," katanya. Fachrul Rasyid dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini