KALI ini iklan buruk bagi Keluarga Berencana. Gara-gara alat kontrasepsi IUD (intrauterine device) yang melenceng dari orbitnya, Direktur RS Panti Rapih Yogyakarta, dr. F.X. Soebroto, Rabu pekan lalu, digugat pasien di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sepasang suami-istri Muhammad dan Aina menuntut ahli kandungan itu membayar ganti rugi sekitar Rp 106 juta. Pada September 1988 dr. Soebroto memasang IUD ke rahim Aina, 28 tahun. Setiap tiga bulan sekali Aina menjalani kontrol. Selama itu tak ada kejanggalan. Memang, pada 28 Desember 1989, posisi IUD tersebut sempat melenceng. Tapi kemudian dapat diperbaiki Soebroto. Pada April 1990, Aina bingung karena ia tak haid. Ternyata, menurut pemeriksaan Soebroto, Aina sudah mengandung 17 minggu. Waktu itu, Aina dan suaminya pasrah saja. "Sebagai muslim, saya menyambut kehadiran janin itu dengan rasa syukur. Kegagalan KB saya anggap biasa," tutur Muhammad, 34 tahun. Sejak itu pula pasangan Muhammad-Aina rajin konsultasi. Tapi pada 13 Juni 1990, mendadak Aina mengalami pendarahan. Demi keselamatan Aina, Soebroto memutuskan kandungan ibu satu anak itu harus dikuret. Alasannya, selain kondisi kandungan sudah lemah, letak IUD semakin menyuruk ke dalam perut. Untuk itu, pasangan Muhammad-Aina pun menandatangani persetujuan operasi penguretan. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa pasangan itu tak akan memperkarakan jika Aina tak tertolong. Operasi berlangsung pada 15 Juni 1990. "Penguretan berhasil, bayi hancur, dan IUD bisa ditemukan," ucap Soebroto. Janin yang rusak akibat kuret itu kemudian dibawa pulang. "Kami kubur sebagaimana layaknya orang meninggal," kata Muhammad, yang masih kuliah di pascasarjana UGM itu. Sehari setelah operasi sekitar pukul 12.30, Aina ke kamar kecil di RS itu, buang hajat. Apa yang terjadi? Saat baru jongkok di WC, "prool...," bayi itu meluncur jatuh ke WC, tak bernyawa lagi. Aina menjerit panik, dan perawat pun berdatangan. Baru keesokan harinya, mayat bayi itu diserahkan Soebroto pada Muhammad. Untuk kedua kalinya, Muhammad menguburkan bayinya. Dan sejak peristiwa ini, Muhammad mulai marah atas perlakuan Soebroto. "Saya merasa dibohongi. Kalau yang dikubur pertama itu bayi, lantas yang kedua apa?" ujarnya. Soebroto, yang sudah berpraktek sejak 1960, menolak menjawab soal bayi dobel itu. Tapi, katanya, apa yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur medis. Penguretan, diakuinya, memakai metode avu, yakni membersihkan rahim tidak dengan melihat -- kemungkinan tertinggalnya janin bisa terjadi. "Pokoknya, kalau darah sudah berhenti, ya sudah. Kalau diteruskan bisa jebol," ujarnya dingin. Karena itulah Soebroto menganggap gugatan Muhammad tak berdasar. Apalagi, sebelum operasi, Muhammad sudah menandatangani persetujuan tidak akan menuntut. Dan kalaupun mau menuntut, karena ini menyangkut profesi, harus lewat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). "Bila MKEK menyatakan salah, baru pasien bisa menggugat," katanya. Muhammad tak begitu saja menerima alasan itu. Interpretasi "tidak menuntut", katanya, hanya berlaku selama penguretan. "Setelah selesai penguretan, perjanjian itu sudah kedaluwarsa." Tambahan pula, untuk pemasangan IUD, tidak ada perjanjian apa pun. Dengan demikian, melencengnya IUD dari rongga vagina bisa dituntut. Soal menuntut lewat MKEK? "Kalau lewat MKEK, jelas kalah, dong, lha wong Soebroto sendiri jadi wakil ketuanya di Yogya," ujar pengacara Muhammad dan Aina, Zul Armain Aziz. Dalam soal penguretan, Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Dr. H. Prastowo Mardjikoen, punya pendapat lain. Katanya, setelah seorang pasien dikuret, mungkin saja masih ada janin tertinggal. Artinya, yang tergaruk adalah plasenta (ari-ari). Akibatnya, janin akan mati. "Dan jika terjadi, itu merupakan kealpaan dokter." Aries Margono (Jakarta), dan M. Aji Surya (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini