Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat bupati anas

Wahyunis husin, bekas pendiri dan direktur smps menuntut ganti rugi rp 607 juta dan mengembalikan smps miliknya dari bupati padang pariaman anas malik. anas dituduh merebut sekolah.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA tak kenal Letkol. (Purn.) Anas Malik, 63 tahun? Selama dua ~periode jabatannya menjadi Bupati Padang Pariaman, Sumatera Barat, ia kondang disebut Bapak Pembangunan daerah itu. Anas memang berhasil menyulap wajah wilayahnya, yang semula semrawut dan kotor itu, menjadi bersih dan terkenal. Buktinya, daerah pantai barat pulau Sumatera itu bisa dua kali (pada 1984 dan 1989) meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha. Tapi tiga bulan menjelang masa jabatannya berakhir, pada September lalu, Anas digugat salah seorang warganya, Wahyunis Husin, 35 tahun. Bekas pendiri dan Direktur Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS) Lubukalung itu menuntut ganti rugi Rp 607 juta dan juga meminta bekas Kapendam V Jaya itu mengembalikan SMPS miliknya. Katanya, sekolahnya itu diserobot Anas sejak pertengahan 1986. Hingga pekan ini, gugatan itu masih diperiksa langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Padang Pariaman, Wahyulin. Tapi, ini yang aneh, persidangan yang terbuka untuk umum itu dihalangi hakim diberitakan media massa. Hakim Wahyulin, konon, meminta pihak yang berperkara tak memberitahukan perkara itu kepada pers. Ketika persidangan ke-10, Rabu pekan lalu, tercium wartawan, Wahyulin pun melangsungkan sidang di ruang kerjanya. Setelah menyelesaikan kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang, menurut Wahyunis, pada 1984, ia bersama beberapa familinya mendirikan SMPS di daerah asalnya, Lubukalung. Karena tahun ajaran baru (1984/1985) sudah mendesak, Wahyunis pun mencantolkan SMPS di bawah naungan Yayasan Lembaga Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Ekonomi Sosial Budaya (LP3ESIDA). Hal itu, tutur Wahyunis, sesuai dengan saran Bupati Anas Malik selaku Ketua Yayasan LP3EDISA. Ternyata, SMPS terhitung sukses. Malah Wahyunis, yang adik ipar bekas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Prof. Harun Zain, mampu membangun gedung baru berlantai dua, dengan 10 ruang belajar, di atas tanah seluas 1,2 ha. Tapi, bersamaan dengan itu, badai fitnah menerpa Wahyunis. Itu gara-gara surat kaleng, yang menuding Wahyunis tak mampu memimpin dan telah menggelapkan uang sekolah. Akibatnya, para siswa SMPS, yang tak tahu apa-apa, beraksi unjuk rasa menuntut agar Wahyunis turun tahta. Tentu saja Wahyunis berang. Namun, tanpa ia tahu, Bupati Anas memerintahkan Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab) memeriksa pembukuan SMPS. Toh sampai tiga kali pemeriksan, Wahyunis tak terbukti menggelapkan dana Rp 3 juta. Justru uang pribadi Wahyunis sebesar Rp 4,4 juta yang terpakai sekolah. Belum lagi uangnya untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung, ditambah honornya selama menjadi kepala sekolah. Anas tetap mengadukan Wahyunis ke Polres Pariaman. Hasilnya? Hingga kini tak jelas nasib perkara itu. Yang terjadi kemudian, pada pertengahan 1986, Anas mengambil sertifikat tanah SMPS, melalui Kepala Badan Pertanahan Pariaman. Selain itu, Anas juga mengambil alih SMPS dan mendepak Wahyunis. Sengketa akhirnya bermuara ke meja hijau. Melalui LBH Padang, Wahyunis menuding Bupati Anas telah menyalahgunakan wewenang. "Untuk kepentingan pribadinya, Anas Malik selaku bupati mengambil alih sekolah itu, kemudian menyerahkannya kepada Anas Malik juga sebagai ketua yayasan," kata Direktur LBH Padang, Abdul Kadir Usman. Kuasa hukum tergugat, Prof. Herman Sihombing, 64 tahun, menampik tuduhan itu. Menurut Herman, SMPS memang milik Yayasan LP3EDISA. Wahyunis dan Maimun, katanya, hanya pendiri dan penyelenggara pendidikan. "Bahwa yayasan kemudian mengambil alih sekolah itu tak lain karena Wahyunis dianggap tak berwibawa lagi. Ia didemonstrasi siswanya sendiri," kata Herman. Herman juga membantah bahwa Anas dianggap telah menyalahgunakan wewenangnya. Selaku penguasa tunggal di wilayahnya, sambung Herman, bupati memang berwenang memerintahkan Itwilkab mengusut Wahyunis. Tapi pengambilalihan SMPS, kata Herman, bukan oleh Anas selaku bupati, tapi dalam kapasitasnya sebagai ketua yayasan. ~~~Hp. S., Fachrul Rasyid HF (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus