Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat Hak Guna Usaha Air

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan hak uji materil dan formil atas Undang-Undang Sumber Daya Air. Dua dari sembilan hakim punya pendapat berbeda.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA layar lebar terpasang di su-dut ruang sidang Mahkamah Kons-titusi. Di ruang yang dipa-dati pengunjung, sembilan ha-kim konstitusi secara berganti-an membacakan putusan. Kalimat de--mi kalimat putusan yang dibacakan tam-pil di layar lebar itu lewat Infocus. Para hakim membacakan putusan permohonan hak uji materil dan formil (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Menjelang akhir putusan, wajah peng-unjung sidang menegang. Ketika palu diketuk, kekecewaan terlihat di wajah sejumlah pengunjung. Beberapa di antara mereka, seusai pembacaan putusan, segera mengikatkan pita merah putih di lengan. ”Kami kecewa karena Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak,” ujar seorang pengunjung sidang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Mahkamah Konstitusi pada Selasa pekan lalu menolak permohonan judi-cial review atas Undang-Undang Sumber Daya Air. Majelis konstitusi yang di-pimpin Jimly As-shidiqie me-mutuskan, perusahaan swasta boleh mengelola sumber daya air melalui hak guna usaha air. Menurut majelis, hak itu tidak mendorong komersialisasi dan privatisasi air di tengah masyarakat. ”Hak guna usaha dan izin pengusahaan air tidak mengakibatkan jatuhnya sumber daya air ke tangan swasta,” Jimly membacakan putusan.

Permohonan judicial review itu diajukan berbagai kalangan, di antara-nya Walhi, Indonesian Center for Environmental Law, Lembaga Bantuan Hu-kum Jakarta, dan Federasi Serikat Pe-tani Indonesia. Mereka mengajukan judicial review atas Undang-Undang Sum-ber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi pada 4 Oktober tahun lalu.

Sejumlah LSM menilai Undang-Undang Su-m-ber Daya Air bertentangan de-ngan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Mereka mengajukan hak ”koreksi” ka--rena menilai beberapa pasal pada Un--dang-Undang Sumber Daya Air yang men-cantumkan hak guna usaha mendo-rong komersialisasi. Mereka me--nengarai akan terjadi swa-s-tanisasi dan privatisasi jika undang-undang tetap dipakai. Akibatnya, menurut mereka, masyarakat akan dibebani biaya penge-lolaan sumber daya air sesuai jasa yang digunakan.

Namun, Mahkamah Konstitusi ber-pen-dapat Undang-Undang Sumber Da-ya Air tidak bertentangan dengan Pa-sal 33 UUD 1945 seperti yang didalilkan pemohon. Menurut majelis konstitusi, pe--ran negara seperti tercantum pada Pa-sal 33 ayat (3) UUD 1945 tetap ada.

Menurut Jimly, pemerintah dapat meng-awasi hak guna usaha air oleh per-usahaan swasta melalui pemberian izin. ”Izin itu sebagai instrumen membatasi jumlah air yang dapat diusahakan pemegang izin,” ujarnya. Dengan adanya hak guna usaha air dan izin itu, kata ma-jelis konstitusi, pemerintah dapat me-nentukan berapa banyak volume air yang dapat diusahakan pemegang izin.

Mahkamah Konstitusi juga tidak se-pen-dapat dengan ”dalil” bahwa sejum-lah pasal Undang-Undang Sumber Da-ya Air mendorong privatisasi dan swas-tanisasi. Menurut Jimly, meski Un-dang-Undang Sumber Daya Air mem-buka peluang peran swasta untuk mendapat hak guna usaha air dan izin pengusahaannya, hal itu tidak berakibat jatuh ke swasta. ”Pengertian hak gu-na bukan berarti hak kepemilikan, me-lainkan terbatas pada hak memperoleh dan memakai sejumlah air sesuai alokasi yang ditetapkan pemerintah,” ujarnya.

Meski Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak, dua hakim konsti-tusi, yakni A. Mukthie Fadjar dan Ma-ruarar Siahaan, memberi pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut mereka, seharusnya permohonan para pemohon itu dikabulkan sebagian.

Mukthie mengatakan, Undang-Undang Sumber Daya Air yang begitu besar resistensinya terhadap masyarakat sebaiknya direvisi dulu. Menurut dia, paradigma pada undang-undang itu se-harusnya menekankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonominya. ”Paradigma yang ada tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 33 ayat 3,” kata dia.

Menurut Mukhtie, istilah hak guna air, hak pakai air, dan hak guna usaha air seolah-olah ditafsirkan negara t-idak lagi menguasai sumber daya air. Ia me--nyarankan agar istilahnya diganti de--ngan kata ”izin penggunaan”, izin pe---makaian”, dan ”izin pengusahaan air”.

Dosen Universitas Airlangga itu ber-pen-dapat undang-undang itu mendo-rong komersialisasi dengan memberikan hak pengelolaan kepada swasta. ”Pe-ngua-saan air melalui saluran distri-bu-si akan makin luas sehingga masy-a-ra-kat pengguna air terpaksa membayar air untuk keperluan sehari-hari,” kata dia.

Siahaan mengatakan, pengelolaan air oleh pihak swasta akan selalu ber-tu--juan mencari keuntungan (profit orien--ted). ”Konsekuensi dari suatu ben---tuk usaha adalah mengusahakan ke---untungan optimal,” ujarnya. Cara itu, jauh dari karakteristik pelayanan pu-blik. Menurut dia, pengelolaan air oleh pihak swasta ditengarai tidak mening-katkan kualitas air, bahkan harga untuk membayar jasa penggunaan air me-ning-gi.

Menurut Walhi, melalui konferensi pers, Kamis pekan lalu, izin hak guna usaha bagi swasta dalam Undang-Undang Sumber Daya Air dapat dianggap diinterpretasikan berbeda oleh peme-rintah. Undang-undang itu sendiri me-nyatakan bahwa pihak swasta bisa men-dapatkan hak guna usaha untuk mengelola sumber air. Walhi khawatir hak guna usaha itu dapat diinterpretasi-kan menjadi izin ”menguasai” sumber daya air.

Radja Siregar, manajer Walhi, berpendapat, Mahkamah Konstitusi telah menilai bahwa pemberian hak guna usa-ha kepada swasta sama dengan izin, sehingga bisa dicabut. Padahal, ka-ta Raja, hak itu sama seperti dengan memberi ”kekuasaan”, sedangkan air seharusnya tidak perlu menggunakan izin,” ujarnya. ”Seharusnya Mahkamah Konstitusi jeli atas masalah ini.”

Frans Limahelu, ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, menilai putusan Mahkamah Konstitusi tidak memberikan solusi. Sebab, dalam pertimbangan putusan disebutkan air adalah hak, tapi pada prakteknya t-idak, karena harus menggunakan izin. ”Ini dikhawatirkan menimbulkan benturan pada prakteknya,” ujarnya.

Karena itu, Chalid Muhammad dari Walhi menegaskan akan terus berusaha agar privatisasi air tak jadi dilak-sa-na-kan. Ia juga akan mengajukan surat ke-pada Mahkamah Konstitusi, meminta kejelas-an atas pengertian ”hak guna usaha”.

Pemerintah menjamin tidak ada privatisasi sumber daya air dalam pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004. Sebaliknya, undang-undang itu akan mengendalikan peran swasta dalam pengelolaan air. ”Tidak betul un-dang-undang itu didesain untuk swas-tanisasi. Untuk partisipasi swasta itu betul, karena sejak dulu partisipasi itu sudah ada, tapi tidak terkendali,” ujar Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kir-man-to, Selasa pekan lalu.

Sukma N. Loppies, Edy Can, Ibnu Nadzir, Yudha Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus