Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sigedang dan Kapilaler Makin Merana

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUTAN lumbung padi untuk Kota Delanggu agaknya la-mbat laun akan sekadar menjadi kenang-an. Lihat saja, persediaan air irigasi di sana tinggal sejengkal. Di musim ke-marau, petani harus menyewa pom-pa air, per jam Rp 6.000. “Sawah saya sekarang jadi sawah tadah hujan,” kata Martono, 36 tahun, petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwi-ring, Kabupaten Klaten.

Masyarakat wilayah itu, yang se-mula memiliki lebih dari 200 mata air, kini harus membeli air. Tinggal 30 persen tuk yang masih menyisakan air. Menurut Martono, eksploitasi sumber mata air untuk kepentingan komersial menjadi salah satu alasan kesengsaraan petani. “Sebelum ada Aqua, kami tidak pernah kekering-an,” tutur ayah seorang anak ini.

Aqua yang dimaksud Martono adalah PT Tirta Investama yang ber-operasi sejak Oktober 2002. Perusahaan itu menempatkan pompa air di dekat sumber mata air Sigedang dan Kapilaler di kaki Gunung Merapi, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Setiap bulan, pompa itu menyedot sedikitnya 30-40 juta liter air dari air dangkal berkedalaman 20 meter di atas sumber mata air. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengizinkan perusahaan itu menyedot 23,4 liter air per detik. Batas maksimumnya 40 liter per detik untuk Upaya Pengelola-an Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Pertengahan Desember 2003, masya-rakat resah. Petani di Kecamatan Polanharjo, Pedan, Ceper, Wonosari, Juwiring, dan Karanganom mengalami krisis air. Ratusan petani dari Koalisi Rakyat Klaten untuk Keadilan u-njuk rasa di gedung DPRD. Mereka menuntut pemerintah menutup PT Tirta Investama.

Februari 2004, Dirjen Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Basoeki Hadi Moeljono, melakukan inspeksi mendadak. Dia menemukan pelanggaran. Perusahaan itu menyedot air melebihi yang diizinkan pemerintah. Dari 23,4 liter per detik menjadi 86 liter per detik. “Izin peningkatannya masih dalam proses,” tutur Willy Sidharta, wakil direktur perusahaan itu.

Perusahaan besar tadi, ketika itu, ternyata belum mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dokumen baru selesai dibuat tim Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM pada Oktober 2004. Menurut Eko Sugiharto, koordinator tim, kekeringan bukan disebabkan PT Tirta Investama, tetapi penggunaan air industri kolam ikan di hulu yang tidak mengembalikan air itu ke saluran Kapilaler. Juga, rusaknya saluran irigasi di bagian hilir, terutama setelah pabrik gula Ceper tidak beroperasi lagi.

L.N. Idayanie, Imron Rosyid (Klaten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus