PENGADILAN tak hanya dihina, tapi lebih keji lagi, dibakar. Sekurangnya, gedung Pengadilan Negeri Lubukpakam -- 25 km dari Medan -- pernah mengalami perlakuan tak terpuji itu. Kini, setelah lebih dari setahun pengusutan, kejaksaan menyeret seorang penarik becak. Mas Jon, 33 tahun, dan bekas sopir pribadi hakim di pengadilan itu, Risad Hutagalung, 38 tahun, sebagai terdakwa. Kedua orang tersebut, menurut jaksa, bersama seorang awak kapal bernama Lintar Barus -- masih buron -- membakar gedung terhormat itu pada subuh 23 Januari 1989. Sebelum melakukan kejahatan itu, mereka lebih dulu memasang dua poster dengan tulisan spidol, berbunyi "Pengadilan Bakar" dan "Tidak Ada Keadilan, Semua Curang". Pada dini hari itu, penduduk Lubukpakam masih dililit kantuk. Dua penjaga malam di gedung pengadilan masih mendengkur. Tiba-tiba saja si jago merah marak dan melumatkan gedung itu. Empat dan enam ruangan pengadilan hangus. Begitu juga berkas perkara di keempat ruangan itu ikut menjadi abu. Di antara asap bekas kebakaran, cuma tampak dua poster tadi, yang menggantung di pilar penyangga lantai II gedung tersebut. Pengusutan kasus itu berjalan alot. Kendati dua penjaga malam tadi dan 21 orang warga Desa Pasar Melintang -- 13 km dari gedung itu -- sudah diperiksa, polisi tak menemukan pelakunya. Baru delapan bulan kemudian, Polsek Lubukpakam memperoleh titik terang. Seorang tahanan di Polsek itu, Ridwan Syahputera, secara kebetulan "bernyanyi" di tahanan. Kepada sesama tahanan ia menyebut pembakar gedung pengadilan itu adalah Mas Jon. Maka, Mas Jon dan Risad Hutagalung pun dibekuk, sedangkan Lintar, kabarnya, lari ke Malaysia. Toh penyidikan tetap plus-minus. Soalnya, tersangka Risad, yang semula membantah tuduhan itu, belakangan mengaku juga. Menurut Risad, bekas hakim di situ yang juga pernah menjadi majikannya, Sabar Pangabean, mendalangi pembakaran itu. Motifnya, Sabar sakit hati kepada ketua pengadilan, waktu itu, Henny Boru Sinaga, gara-gara kena tegur setelah kepergok berjudi di kantor. Tapi, setelah didampingi pembelanya dari IPHI Cabang Medan, Risad mencabut pengakuan sebelumnya. Dia membantah melakukan pembakaran dan menyangkal berkomplot dengan Mas Jon dan Sabar. Kendati begitu, toh jaksa tetap menyeret Risad dan Mas Jon ke meja hijau. Di persidangan, kedua terdakwa tetap membantah tuduhan itu. Menurut mereka, pengakuannya di pemeriksaan awal itu diberikannya karena dipaksa polisi. Saat selama penyidikan, "adalah hari-hari penyiksaan. Harimau pun akan mati kalau disiksa seperti itu terus," kata Risad. Keenam pembelanya, lewat eksepsi yang dibacakan Edy Sipayung, malah menganggap perkara itu kabur. Barang bukti sepeda motor yang disebut-sebut digunakan para terdakwa sewaktu pergi membakar, contohnya, tak ada dilampirkan dalam berkas perkara. Selain itu, tentu saja hilangnya nama Sabar. "Sepertinya jaksa menyembunyikan sesuatu," kata Edy Sipayung. Sabar, 55 tahun, ketika dihubungi TEMPO, membantah cerita yang menyebut-nyebut namanya itu. "Risad itu sudah saya anggap kerabat sendiri. Kok, tega-teganya dia berkata begitu. Saya yakin, hati nuraninya akan menyesal," kata Sabar, yang kini menjadi hakim di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Jawa Barat. Memang, Sabar, yang hingga kini tak pernah diperiksa polisi, mengaku pernah ditegur ketua pengadilan gara-gara judi tadi. Tapi waktu itu ia, katanya, cuma menonton beberapa pegawai sore yang sedang main kartu. Nah, "Di mana logikanya: saya menyuruh membakar pengadilan, tempat saya kerja. Kalau saya dendam kepada ketua, kenapa tidak rumahnya yang saya bakar?" kata Sabar yang sudah 28 tahun menjadi hakim itu. Kalau bantahan Sabar ini benar, perkara ini tentu semakin mengambang. "Kalau Risad dan Mas Jon tidak terbukti disuruh Sabar, ya, bagaimana jadinya kejaksaan?" kata sumber TEMPO di situ. Apalagi si sumber cerita, Ridwan, ternyata di depan notaris mencabut keterangan yang pernah diberikannya di tahanan polisi. Monaris Simangunsung, Sarluhut Napitupulu (Medan), Heddy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini