Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengungkap Pembunuhan dengan Forensik: Dari Kasus Munir, Mirna, hingga Marsinah

Pakar psikologi forensik menyebut, polisi melarang peti jenazah Brigadir J dibuka keluarga lantaran salah satunya untuk mencegah trauma.

18 Juli 2022 | 21.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengungkap alasan peti jenazah Brigadir J sempat dilarang dibuka pihak keluarga. Menurutnya, secara psikologi forensik, polisi melarang hal tersebut lantaran salah satunya untuk mencegah trauma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Psikologi forensik merupakan bidang yang menggabungkan praktik psikologi dan hukum. Keilmuan khusus ini mencakup hal yang luas, dapat diterapkan terkait kejiwaan yang berkaitan dengan tindakan hukum.

Misalnya mengungkap motif seseorang melakukan kejahatan dari segi kejiwaan, atau tentang bagaimana sebuah hukuman pidana mempengaruhi mental seseorang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Forensik sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI versi V adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta medis pada masalah hukum. Forensik juga didefinisikan sebagai ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan. Dalam perjalanannya, keilmuan forensik telah membantu mengungkapkan banyak kasus tindak pidana pembunuh.

Berikut sejumlah kasus tindak pidana pembunuhan yang berusaha diungkap menggunakan penyelidikan secara forensik:

1. Kasus Munir

Pejuang Hak Asasi Manusia atau HAM Munir Said Thalib meninggal dalam pesawat GA-974 yang bertolak dari Singapura ke Belanda. Dalam pesawat, Munir bolak-balik ke toilet dengan keluhan sakit perut. Sesampainya di Belanda, Munir didapati sudah tak bernapas. Setelah dilakukan penyelidikan secara forensik, Munir terbukti diracun menggunakan arsenik

Poster bergambar potret mendiang aktivis HAM, Munir Said Thalib terpasang di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Ahad, 12 September 2021. Kasus pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib sudah menjadi misteri selama 17 tahun, ia meninggal di pesawat Garuda dengan nomor GA-974 pada 7 September 2004, ketika menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana. TEMPO/Subekti

Ahli forensik RSCM, Abdul Mun’im Idries yang ikut membantu autopsi jenazah Munir membeberkan sejumlah fakta terkait kematian pejuang HAM itu. Kisahnya ditulis Mun’im dalam bukunya ‘Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir’ yang dirilis di Perpustakaan UI pada 2013 silam. Mun’im sempat terkejut mengetahui Munir tewas akibat diracun arsenik, cara itu dianggap sangat pintar.

“Kasus keracunan semacam itu terjadi tidak sampai 10 persen,” tulis Mun’im.

2. Kasus racun sianida di kopi Mirna

Wayan Mirna Salihin tewas usai meminum es kopi Vietnam yang dipesankan oleh Jessica Kumala Wongso pada Januari 2016. Setelah dilakukan pemeriksaan forensik, ternyata Mirna menenggak kopi bersianida. Saat hendak dilakukan autopsi, keluarga menolak. Sehingga tim dokter forensik saat itu hanya memeriksa beberapa organ tubuh Mirna dan mengambil sampelnya.

Beberapa organ yang diperiksa di antaranya lambung, hati, liver, empedu, serta urine korban. Ahli forensik menemukan lambung Mirna mengalami korosi atau luka akibat zat asam dari sianida. Dalam lambungnya juga ditemukan 0,2 miligram sianida yang masih tersisa. Dokter juga menemukan adanya pembengkakan dalam bibir Mirna akibat sianida.

Racun masuk ke dalam lambung korban, kemudian diserap oleh darah dan mengikat oksigen. Akibatnya pasokan oksigen yang diproduksi darah tidak terdistribusi ke seluruh organ tubuh. Hal ini menyebabkan otak korban kekurangan oksigen dan berakibat kejang-kejang. Kekurangan oksigen juga membuat jantung Mirna berhenti sehingga berdampak pada kematian.

3. Kasus Marsinah

Tak selamanya hasil forensik berhasil mengungkap penyebab kematian, atau bahkan sengaja ditutupi. Kematian pejuang buruh PT Catur Putra Surya, Marsinah misalnya.

Dalam bukunya, Abdul Mun’im Idries juga mengungkapkan kesaksiannya terkait Marsinah. Mun’im menemukan beberapa kejanggalan hasil forensik. Hasil visum dari RSUD Nganjuk, Jawa Timur sangat sederhana karena hanya 1 halaman.

Meski jenazah Marsinah sudah dibedah, tapi tidak dijumpai laporan keadaan kepala, leher dan dada korban. Di dalam visum disebutkan Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. “Padahal yang seharusnya diutarakan pembuat visum adalah penyebab kematian, bukan mekanisme kematian,” demikian Mun’im ihwal minimnya laporan (forensik) itu. Fakta di persidangan juga menyebut Marsinah ditusuk kemaluannya dalam waktu yang berbeda.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus