Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menikam ayah membela ibu

Seorang anak menikam ayahnya. hakim membebaskannya karena si anak membunuh karena membela ibunya.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM B.F. Zebua menyaksikan rumah beratap daun rumbia di lereng bukit Sijambur, di tengah Danau Toba, Sumatera Utara. Di situlah, Riarmin boru Simalango, janda berusia 45 tahun, berkebun kopi dan bersawah. Dalam bertani itu ia dibantu Pardamean Siringoringo, anaknya, yang baru berumur 12 tahun. Maklum, tiga anak lelakinya yang sudah dewasa mengadu nasib di rantau. Profil keluarga miskin itu yang mendorong Zebua menjatuhkan hukuman kontroversial, 4 Juli lalu. Hakim Pengadilan Negeri Tarutung ini membebaskan Pardamean. Padahal, bocah 12 tahun ini terbukti di persidangan menikam ayah kandungnya, Jahitan Siringoringo, dengan sebilah pisau hingga tewas. Merujuk pada pasal 45 KUHP, dengan memperhatikan pelaku di bawah 16 tahun, Zebua memvonis Dame bebas dan mengembalikannya kepada ibunya. Seusai vonis itu, Dame kontan menghambur ke pelukan ibunya. "Puji Tuhan,haleluya," gumam Riarmin. Hari itu juga Dame pulang ke rumah ibunya di Desa Sijambur, Pulau Samosir, di tengah Danau Toba. Jaksa Jeremias Saragih, yang menuntut hukuman 8 tahun penjara, menyatakan banding. "Masa, anak durhaka divonis ringan," ujar sumber TEMPO di Kejaksaan Tarutung, menirukan komentar Saragih. Zebua sebaliknya melihat Dame anak baik. Meskipun masih bocah, ia rajin membantu ayah ibunya bertani setelah pulang sekolah. Ia juga memasak nasi dan mencari kayu bakar. Berbeda dengan Jahitan, si ayah, yang gemar mabuk-mabukan. Bila pulang ke rumah, ia cuma marah-marah dan memukuli Riarmin, bininya. Menurut Zebua, Dame tak sengaja membunuh ayahnya. "Ia semata-mata hendakmembela ibunya yang hendak dicampakkan ayahnya ke jurang," katanya. Kisahnya begini. Siang, awal Desember tahun lalu, Jahitan pulang ke rumahnya dengan wajah sewot. Setengah membentak ia memerintah agar bininya menukar kerbau mereka dengan kerbau temannya yang lebih kecil (tukar-tambah). Riarmin menampik. Merasa disepelekan, Jahitan spontan menghunus parang, dan Riarmin tentu saja lari bagai dikejar hantu. Tapi suaminya berhasil menangkapnya persis di pinggir jurang, dekat ladang, di belakang rumah mereka. Riarmin mencoba merampas parang itu dibantu dua anaknya, Hotmauli dan Rudi kakak perempuan, dan adik Dame yang masih kecil. Parang itu jatuh ke tanah dan si bapak malah jadi beringas dan memukuli sekujur tubuh istrinya dengan tinju. Kedua anak mereka menjeritjerit, meminta agar si ayah menghentikan perbuatannya. Tapi hantaman Jahitan tak surut dan Riarmin terdesak ke bibir jurang sedalam 15 meter. Saat itulah Dame yang tengah menjaga tanaman mendengar jeritan saudara-saudaranya. Ia langsung berlari ke arah suara itu. Menyaksikan keadaan ibunya, ia mengambil sebilah pisau di rumah. Ketika kembali, ayahnya sedang mendorong ibunya ke jurang. Spontan ia menikam perut ayahnya. Sekali saja, dan Jahitan tersungkur. Sontak, Riarmin dan ketiga anaknya melongo. Mereka cuma menatapi Jahitan yang bangkit perlahan menuju rumah. Darah terus mengucur dari perutnya hingga ia terduduk di dapur. "Tolong, ambilkan aku air," kata Jahitan, lirih. Tapi anak-anak dan istrinya diam saja. Mereka mengaku bingung, tak tahu harus berbuat apa. Satu jam kemudian, ketika Riarmin melongok ke dapur, ia menemukan suaminya tak lagi bernyawa. Takut cerita itu terbongkar, ketiga anaknya mengikuti Riarmin membersihkan darah di tubuh korban serta ceceran darah di lantai. Mereka kemudian menyembunyikan mayat Jahitan di belakang rumah, ditutupi dedaunan. Namun, dua hari berselang, bau mayat itu merebak. Apa akal? Riarmin dan anak-anaknya memutuskan memberitakan kematian ini pada penduduk desa. Mereka mengemukakan alasan, sang ayah meninggal karena penyakit. Mayat Jahitan lalu dibersihkan dan dibaringkan di rumah. Namun, keesokan harinya, ketika petugas puskesmas akan menyuntikkan formalin, orang-orang kaget melihat luka menganga di perut Jahitan. Geger itu sampai ke telinga polisi, dan Dame ditahan. Hakim Zebua sebenarnya sependapat dengan tuntutan jaksa yang didasarkan pasal 554 KUHP, yakni Dame dengan sengaja melukai berat ayahnya hingga tewas. Tindakan ini diancam hukuman penjara 10 tahun terbukti di pengadilan. Dame mengakuinya secara polos, diperkuat kesaksian ibu dan dua saudaranya. Tapi Zebua punya pertimbangan lain. Hakim itu memperhatikan KUHP yang mengatur kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah 16 tahun. Ternyata, ada tiga alternatif yang bisa ditempuh hakim. Pertama, ditetapkan menjadi anak negara. Maksudnya, pembinaannya menjadi tanggung jawab negara. Kemungkinan kedua, dihukum penjara, tapi dikurangi sepertiga ancaman pidana umumnya. Ketiga, dikembalikan kepada orang tuanya. "Demi keadilan, saya pilih mengembalikan kepada ibunya," kata hakim yang mempunyai "jam terbang" tujuh tahun ini. Pertimbangan alumni UGM Yogya ini tak lain karena melihat peranan Dame dalam keluarga. "Ia sekarang pengganti ayahnya," kata Zebua. Lagi pula, jika ia dipenjara, Zebua khawatir Dame malah menjadi penjahat selepas masa hukuman. Sayang, Zebua tak mau terus terang mengatakan kekhawatirannya tentang lembaga pemasyarakatan yang dalam praktek belum sebagus nama lembaga itu. Ketika ditemui TEMPO pekan lalu, Dame tengah asyik mencangkul di kebun dekat rumah mereka. Keringat bocah kurus berkulit sawo matang itu tampak berlelehan. "Kedua tanganku lecet karena sudah lama tak memegang cangkul," katanya lugu. Maklum, sebelum dibebaskan pengadilan, ia sempat ditahan polisi dan jaksa selama delapan bulan. Bersihar Lubis dan Affan Bey

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus