UANG hasil korupsi dan manipulasi sekarang ini sering disebut dana kesejahteraan, sumbangan atau titipan. Perlahanlahan pandangan ini menjadi kepercayaan umum. Dengan cara yang terdengarnya legal ini, banyak pegawai negeri punya pendapatan ratusan juta "bukan" dari hasil korupsi. Ada kepercayaan, kalau uang datang dari atasan disebut hadiah atas loyalitas. Jika uang datang dari bawah ke atas untuk kemudian didistribusikan kembali ke bawah, statusnya menjadi uang titipan. Didasari kepercayaan semacam itu, bekas Kepala Seksi Penetapan IV Inspeksi Pajak Jakarta Pusat I, Marwoto, terbebas dari tuduhan korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim yang dipimpin Wahono Baoed membebaskan Marwoto dari segala tuntutan. Barang bukti Rp 29,5 juta yang pernah diterima Marwoto dan sudah diserahkan ke BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dinyatakan sebagai miliknya. Namun, kasus Marwoto tampaknya masih akan panjang. Atas putusan majelis hakim, Jaksa Made L. Swastika mengajukan kasasi. Dalam memori kasasi, yang disampaikan dua pekan lalu, Made tidak lagi mempersoalkan dakwaan korupsi, yang oleh hakim dinyatakan tidak terbukti. Made mempermasalahkan manipulasi restitusi pajak, dakwaan subsider. Menurut Jaksa, Marwoto ikut ambil bagian dalam manipulasi restitusi (kelebihan pembayaran) pajak atas nama PT Penta Bandar Utama. Inilah persoalan rumit yang khas dalam peradilan di Indonesia. Penta Bandar Utama (PBU) sebenarnya perusahaan yang sudah bangkrut. Karena itu perusahaan ini tidak pernah membayar pajak lagi. Namun, dengan kerja sama yang rapi antara orang luar dan aparat instansi pajak, perusahaan ini disulap hingga memiliki kelebihan pajak. Akibat manipulasi pada 19871988 ini negara kebobolan Rp 1,157 milyar. Ide manipulasi ini berawal dari kelebihan pajak yang dibayarkan CV Harapan Makmur, November 1986. Karena tidak mau repot, perusahaan ini tidak mengurus restitusi dan menghendaki kelebihan pajaknya dibayarkan untuk bulan berikutnya. Tapi CV Harapan Makmur ternyata bangkrut. Maka, "uang nganggur" ini, bagi orang dalam yang mengetahui datanya, berarti tambang uang yang siap dikeruk. Hartanto, anak buah Marwoto, memasukkan data ini sebagai data PBU perusahaan fiktif tadi. Dengan bantuan orang luar yang dijadikan direktur PBU, Hartanto mengatur transaksi bisnis fiktif antara Harapan Makmur dan PBU,tanpa sepengetahuan pemilik perusahaanperusahaan yang sudah bangkrut itu. Dari transaksi fiktif itu dihasilkan 52 faktur pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN). Faktur ini dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan formal pengajuan restitusi atas nama PBU. Dokumen lainnya seperti surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) dan akte pendirian perusahaan dengan mudah didapat. Sebab, Hartanto adalah pegawai administrasi yang memiliki data lengkap tentang kedua perusahaan itu. Keterlibatan Marwoto, menurut Jaksa, cukup jelas. Ia terbukti menandatangani berkas restitusi yang diajukan Hartanto sehingga manipulasi berjalan mulus sampai tiga kali. Kalau ia sama sekali tidak tahu menahu, ia mestinya curiga. Hartanto bukan pegawai yang mengurus restitusi. Dari ketiga manipulasi restitusi itu Hartanto menyetor Rp 365 juta kepada Marwoto. Ia sendiri mengantongi hasil manipulasi sebesar Rp 791,7 juta. Dalam sidang terpisah, yang juga dipimpin Wahono Baoed, Hartanto telah dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara, denda Rp 15 juta, dan barang bukti Rp 45 juta dirampas untuk negara. Lalu, kenapa "hadiah" Marwoto bisa terbebas dari dakwaan manipulasi? "Kasus Hartanto itu tidak bisa disamakan dengan kasus Marwoto. Hartanto adalah aktornya, sedangkan Marwoto hanya dibawabawa," kata Wahono Baoed. Menurut Wahono, dari bagian yang diperoleh Hartanto segera bisa terlihat siapa yang menjadi dalang manipulasi. Akan halnya uang yang diterima Marwoto, hakim rupanya sependapat dengan Pengacara Asfifuddin. Menurut Asfifuddin, uang yang diterima kliennya dari Hartanto itu hanya uang titipan, karena kemudian diserahkan kepada atasannya. Marwoto meneruskan uang Rp 365 juta kepada atasannya, Soesilo Djojosoemarto, kepala Inspeksi Pajak Jakarta Pusat I, yang kemudian membaginya kepada sejumlah stafnya, termasuk Marwoto yang menerima Rp 29,5 juta. "Saya menerima uang itu jauh hari setelah pencairan restitusi. Jadi, uang itu tidak ada pengaruhnya terhadap permohonan restitusi yang diproses dengan wajar," kata Marwoto kepada Yoyok Gandung dari TEMPO. Ia tidak mencurigai pengajuan restitusi Hartanto karena memenuhi semua persyaratan formal. Namun, saksi ahli Muchtar Tumin dalam sidang yang mengadili Hartanto mengungkapkan bahwa dalam berkas restitusi itu ada beberapa kejanggalan. Dalam pengajuan tidak tercantum penyebab restitusi. Juga, ada perbedaan antara penanda tangan surat permohonan restitusi dan penanda tangan SPT masa PPN. Mestinya sama. Kejanggalan ini, kata Muchtar, seharusnya dicek atasan, lewat arsip. Menurut Soeparman, ahli hukum perpajakan, manipulasi restitusi oleh pegawai pajak sebenarnya tergolong sulit dilakukan, sebab harus melalui pemeriksaan beberapa bagian. "Ini hanya bisa terjadi bila ada kerja sama canggih di antara pejabat perpajakan," kata Soeparman. G.Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini