Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mereka rajin berkata

Wisatawan Jepang ke Indonesia tidak getol memburu seks. mereka datang secara bergerombol, dan jangan terburu-buru puas.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TABIAT orang Jepang dengan orang Jawa ada yang nyaris serupa: mereka umumnya enggan berterus terang jika tak puas. Misalnya, turis Jepang yang ke Indonesia, meski kurang srek menerima pelayanan, toh rajin berkata, "Haik, haik". Maksudnya, "Ya, ya." Itulah salah satu kesimpulan dari tim penelitian Pusat Studi Jepang (PSJ) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terhadap karakter wisatawan Jepang di Indonesia. Hasil penelitian "Citra Pariwisata Indonesia di Mata Wisatawan Jepang" itu dipresentasikan Selasa pekan silam di kantor PSJ. "Kalau sifat ini tidak disadari oleh penyaji jasa pariwisata, upaya meningkatkan pendapatan nasional dari wisatawan Jepang akan gagal," kata Usmar Salam, ketua tim peneliti. Potensi turis dari Negeri Sakura itu tak bisa dipandang enteng. Jumlah yang berdarmawisata ke berbagai negara dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 1991, pemerintah Jepang lewat Ten Million Program menargetkan minimal 10 juta warganya berwisata ke mancanegara. Pada tahun 1990 yang melancong ke Indonesia tercatat 151.490 orang. Kemungkinan turis Jepang yang ke Indonesia dapat ditingkatkan. Caranya, menurut Usmar Salam, asal mengetahui karakter orang Jepang. Berdasarkan asumsi itulah, penelitian yang didanai Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ini diadakan. Sebanyak 425 turis dan calon wisatawan Jepang, baik yang sedang di Bali, Yogyakarta, Jakarta, maupun di Jepang sendiri, dijadikan responden dalam penelitian sejak November tahun lalu hingga Januari 1992. Meski tidak mengajukan keluhan langsung, menurut penelitian tadi, wisatawan Jepang begitu tiba di negaranya menularkan rasa tidak puas itu kepada temannya. Ini tentu iklan buruk. "Karena itu, penjual jasa wisata yang tidak merasa mendapat keluhan dari wisatawan Jepang jangan terburu-buru puas," kata Usmar lagi, yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Lain lagi kalau puas, juga mereka ceritakan kepada temannya. Nining, pemandu wisata di Yogya, punya pengalaman saat memimpin serombongan pelancong Jepang berusia lanjut. Ketika ada seorang anggota rombongan tertarik kepada sebuah kerajinan perak, ia langsung berbisik kepada temannya. "Hasilnya, semua anggota rombongan membeli cendera mata dari perak itu," kata Nining. Pelancong Jepang bahkan cenderung datang lagi ke tempat yang dalam kunjungannya terdahulu dirasa menyenangkan. Bagi pemandu yang bisa memberi kepuasan kepada tamunya, orang Jepang tidak segan menunjukkan kepuasan itu, lalu memberi kenangan, hadiah, atau kartu ulang tahun. "Sikap ini tidak ditemukan pada turis negara lain," kata Usmar, alumni Universitas Sophia, Tokyo. Dalam membelanjakan uangnya, wisatawan negeri industri ini terkenal royal. Menurut data yang dikutip dalam penelitian ini, 60% wisatawan Jepang menyatakan shopping -- dalam pengertian berbelanja barang yang bisa diperoleh di negaranya sendiri merupakan tujuan utama mereka. Tapi mereka tidak royal dalam memberi tip dibandingkan turis dari Eropa. Perilaku lain dari wisatawan Jepang yang tiba di Indonesia: mereka suka bergerombol (95%). Sikap kolektivitas ini terbentuk sejak mereka di sekolah hingga di tempat kerja, menurut Usmar, karena ada yang tak mahir bahasa Inggris, di samping menyimpan perasaan tidak aman. Hasil penelitian tadi menunjukkan angka kurangnya rasa aman itu terbilang tinggi, yakni lebih dari 63%. "Mereka menyangsikan keamanan di tempat wisata, khususnya di negara berkembang," ujar Usmar. Jadi, tidak berlebihan jika wisatawan Jepang yang ke luar negeri, juga ketika di Indonesia, banyak yang memilih tidur di hotel kelas satu. Selain itu, mereka terkenal ketat waktu. Dalam masa libur yang pendek itu mereka ingin melihat banyak hal. Makanya, mereka suka menyerahkan jadwal perjalanan pada biro perjalanan. "Kami punya jadwal berlibur dan jadwal kapan masuk kantor," kata Nakao Abe, wisatawan Jepang yang sedang di Yogyakarta. Selain berbelanja, wisatawan Jepang juga ingin melihat tempat bersantai yang alami, seperti pantai, pegunungan, dan hutan. Untuk itu, 80% responden mengatakan keindahan alam Indonesia betul-betul cantik. Sikap ramahtamah bangsa Indonesia juga mendapat acungan jempol dari 66% responden. Pada urutan ketiga, barulah kesenian dan peninggalan budaya, seperti melihat Borobudur, yang menjadi tujuan (60%) wisatawan Jepang berkunjung ke Indonesia. Terhadap 20 pertanyaan yang menyangkut "puas" dan "tidak puas" yang dibuat Usmar Salam dan empat anggota peneliti lain, ditemukan 13 item yang dijawab dengan "tidak memuaskan". Di antaranya, kurangnya informasi tentang Indonesia, transportasi, pelayanan bandar udara, sarana komunikasi, dan disiplin. Bahkan soal kebersihan dikeluhkan oleh 80% responden yang terkenal peka terhadap keapikan pada lingkungan ini. Sedangkan yang menggembirakan barangkali tentang "wisata seks" orang Jepang. Tempo hari di Muangthai dan Filipina, soal ini pernah diributkan mengingat orang Jepang terutama buruh yang berlibur ke sana dikabarkan getol mencari seks. Penelitian di Yogya itu menunjukkan: wisatawan Jepang ke Indonesia tak memburu seks. "Dalam penelitian ini angka yang menunjukkan alasan untuk itu sangat kecil dan bisa diabaikan," kata Usmar. Apa betul begitu? Dan adakah mereka juga tidak berterus terang dalam urusan di bawah pusat ini, karena tidak rela terbeberkan? Rustam F. Mandayun dan M. Faried Cahyono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus