MARYUNI mati. Ia dikeroyok belasan warga Desa Sibanor, Tapanuli Selatan. Sckitar dua tahun kematiannya terahasiakan. Istri dan tiga anaknya tinggal agak jauh, di Desa Muara Potan. Awal tahun ini muncul surat kaleng di kantor polisi setempat, menceritakan kematian Maryuni Nasution, 24 tahun. Akhirnya, 16 orang ditahan, diajukan ke pengadilan. Putusan majelis hakim PN Padangsidempuan, yang diketuai I Ketut Sugriwa di pertengahan Juni lalu, terasa unik. Bukan karena entengnya vonis, 6 bulan kurungan, tapi juga kecenderungan hakim yang melihat motif pengeroyokan di desa 553 km dari Medan itu. Majelis lebih melihat segi resahnya penduduk karena si Maryuni, penderes Ketah, konon suka mencuri. Yang dicuri antara lain: itik, ayam, gula aren, getah. Pernah pula akat fitrah di masjid pun disikatnya. Dan ia tertangkap basah, dihukum 6 bulan penjara pada 1976 - meski waktu itu ia masih sekitar 16 tahun. Hari nahas itu pertengahan April 1984. Korban kepergok mencuri gula aren milik Saharuddin. Berniat memberi pelajaran, Saharuddin mengontak penduduk desa hingga Maryuni diringkus. Konon, karena ia melawan, meraih sebilah parang yang lalu disabetkannya ke kanan-kiri, ia dikeroyok penduduk, hingga lelaki yang jarang tinggal di rumah itu mati. Ketua Majelis menilai, seandainya korban tak melawan pastilah ia selamat dari amarah massa. Yang tcrbukti adalah ke-16 orang itu turut serta menyerang Maryuni seperti tersebut dalam pasal 358 (2) KUHP. "Selain tak seorang pun berupaya mencegah tindakan main hakim sendiri itu, juga tak seorang pun yang melaporkannya kepada polisi," itulah cuma yang memberatkan para terdakwa. Jaksa Amri Taufik pun tak banyak menuntut, ternyata. Dia juga menuntut 6 bulan penjara dan tak banding. Ia melihat perdamaian antara keluarga korban dan masyarakat Sibanggor sebagai "itikad baik dan saling memaafkan," katanya. Tapi dari pihak Japanyahatan, 60 tahun, avah Maryuni, dirasakan perdamaian itu tidak tulus. Walau ada uang duka Rp 600 ribu, "Jika kami tak mau, dilarang pulang ke kampung," kata Sitimour, 57 tahun, ibu Maryuni. Keluarga Japanyahatan sejak 1983 memang sudah pindah ke Padangsidempuan. Ia tak tahan diejek orang karena ulah si Maryuni. Tak enaknya lagi, kini, setelah vonis dijatuhkan, tiga saudara korban, telah berkeluarga semua, terpaksa ikut pindah ke Padangsidempuan. "Kami sering diancam orang kampung," kata Saleha, 23, saudara ipar korban. Akhir Juni lalu tak ada lagi warga yang ditahan. Tak seorang pun bersedia berbicara. "Apa perlunya lagi?" kata salah seorang. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini