INI sebuah contoh, betapa jauh berbeda antara jaksa dan hakim memandang sebuah perkara. Kasminah, 2t tahun, dituntut jaksa di PN Bojonegoro, Jawa Timur, 10 tahun penjara karena membunuh. Majelis Hakim bukan cuma mengurangi tuntutan, tapi sama sekali membebaskan terdakwa. Suatu malam, usai bersebadan, Pak Wo duduk di tepi balai-balai. Terdakwa kekasih gelap Pak Wo - duduk di sisinya, dan meminta uang. Bukannya diberi, ia malah dimaki sebagai upruk, yang artinya pelacur. Terdakwa mengaku jadi jengkel. Ia lalu keluar rumah, hendak kencing, katanya. Masuk kembali, di tangannya ia genggam martil. Lalu, di keremangan kamar, terdakwa yang bertubuh padat kekar itu mengayunkan martilnya tepat ke bagian kepala Sukarsan - yang lantaran statusnya sebagai kepala dusun atau kamituwo sering dipanggil "Pak Wo". Kemudian, setelah hilang paniknya, dengan bantuan kedua orangtuanya, terdakwa memindahkan mayat Pak Wo ke gubuk tengah sawah. Itulah pengakuan terdakwa mula-mula kepada polisi. Adapun Kasminah sampai didakwa, esok harinya, di bulan Desember lalu itu, warga Dusun Sumodikaran, Bojonegoro, geger. Ditemukan tubuh Pak Wo meringkuk di gubuk sawah milik Hippa. Lalat merubung kepala yang ternyata luka. Tuduhan langsung kepada Kasmmah - yang dlketahui telah tiga tahun menjadi wanita simpanan Pak Wo - yang rumahnya tak jauh dari situ. Urusan sampai ke polisi. Sementara itu, visum dr. Christina V. Tan menyebut, sebab kematian itu adalah rusaknya jaringan otak lantaran terbentur benda tumpul dan keras. Tulang tengkorak retak dan terjadi pendarahan - menggumpal dengan garis tengah 5 cm. Jadi, Kasminah membunuh? "Tidak, saya tidak membunuh. Saya mencintai Mbah," sangkalnya di depan sidang. Mbah itulah cara Kasminah memanggil Pak Wo, 55 tahun, lelaki tanpa anak. Lalu bertuturlah dia. Sehabis melaksanakan hajatnya, Pak Wo berdiri dari balai-balai, terbatuk-batuk. Tiba-tiba lelaki tua itu terjengkang ke belakang, kepalanya terbentur pinggir balai-balai. Menurut Kasminah, Pak Wo memang sakit-sakitan, bahkan kadang kala pingsan, dan dokter menganjurkan agar Pak Wo tak terlalu sering berhubungan seks. Ia tergeletak, tak bangun-bangun. Mati. Kasminah panik, lalu bersepakat dengan kedua orangtuanya untuk menyingkirkan mayat. Setelah dibungkus sarung miliknya sendiri, jasad Pak Wo dipikul menggunakan kayu mahoni yang biasa dipakai sebagai antan penumbuk, menuju gubuk. Cerita Kasminah versi kedua ini yang lebih dipercaya Majelis Hakim, daripada pengakuan pertamanya, yang konon dibuat karena dipaksa polisi. Luka di belakang kepala, menurut hakim, dengan menyitir visum, tidak bisa disebut pasti lantaran martil--benda yang nongol ujungnya pun di persidangan, tidak. "Bisa saja karena benda tumpul, pipih, keras, macam pinggiran meja," kata R. Joediono, Hakim Ketua. Soal pemindahan mayat, katanya pula, tak perlu ditafsirkan berlebihan. Menghindari aib dikemukakannya sebagai alasan. Yang bisa juga memperkuat putusan Majelis andaikata diusut lebih jauh, jatuhnya Pak Wo karena terpeleset, ataukah karena sakit. Ini mengingat soal kesehatan Pak Wo itu. Tapi, kata Jaksa Nandi Warsidi, "Saya yakin sekali dia bersalah." Motif pembunuhan jelas, katanya, yakni permintaannya untuk dikawin tak dihiraukan Pak Wo. Kasasi lalu dilayangkan ke Mahkamah Agung. Zaim Uchrowi, Laporan Yopie Hidayat (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini