AZHAR bin Mohamad Safar, 38 tahun, seperti tak terperangah mendengar vonis mati baginya. Ia tetap mengetuk-ngetukkan jarinya
ke lengan kursi. Lalu, untuk terakhir kali ia mengusap kumis dan
jenggot, sebelum dua anggota POM ABRI membimbingnya ke luar
ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut majelis hakim yang diketuai Pitoyo, anggota jamaah Imran
itu terbukti melakukan tindak pidana subversi.
Ia terbukti menyimpan bahan peledak serta pistol beserta
pelurunya. Ia pun, menurut majelis, "turut serta merencanakan
dan menyetujui pembajakan pesawat Garuda Woyla." Kegiatannya itu
"tak lain untuk menegakkan hukum Islam di Indonesia."
Azhar memang tak mengakui Pancasila, yang dinilai, "telah
menjadi keris Empu Gandring yang disaktikan, dan membawa
kemusyrikan."
Azhar dalam pembelaan dirinya ("penyampaian", menurut
istilahnya) sempat berang, karena permohonan agar status WNlnya
dicabut, tak ditanggapi. Ia merasa cukup menjadi warga Allah
saja, "tak ingin terseret kezaliman dan kefasikan yang dilakukan
pemerintah."
Majelis berpendapat, Azhar sebenarnya justru telah mencemarkan
kesucian Islam yang berlandaskan cinta kasih. Al Quran, kata
majelis, tak ada menyebut tentang tindak kekerasan. Perbuatan
terdakwa, dinilai telah meresahkan masyarakat dan merusak
kerukunan umat beragama. Maka, majelis menganggap perlu
menjatuhkan hukuman baginya pekan lalu, "untuk memulihkan
ketenteraman masyarakat."
Dan jadilah Azhar sebagai orang ketiga--setelah Imran dan
Salman--yang divonis mati. Salman mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, setelah Pengadilan Tinggi Jawa Barat menolak permohonan
bandingnya Agustus lalu. Dan Imran, imam mereka, yang tengah
menanti putusan banding, pekan lalu muncul di Pengadilan Negeri
Jakarta Timur.
Berbaju putih dan celana krem, ia tampak kurus. "Berat saya
turun 30 kilo," katanya di luar sidang. Ia menjadi saksi atas
tiga anggou jamaahnya: Imam Hidayat, Slamet Haryanto dan Rosman
Cahyono, yang didakwa membunuh Koptu Najamudin. Anggota ABRI
yang menjadi jamaah Imran itu diduga berkhianat. Ia dicurigai
sebagai double agent--bekerja untuk pemerintah dan jamaah. Pada
27 Maret 1981 ia dihabisi di rumah kontrakan Imran di Jalan
Plafon, Rawamangun, Jakarta Timur.
Imran menyatakan, setelah dibai'at, Najamudin turut merencanakan
penyerbuan pos polisi Cicendo, Bandung. "Dia bahkan memberi
peluru," kata Imran. Ia mulai curiga setelah beberapa anggota
jamaah ditangkap, sementara Najamudin sendiri,
"berlenggang-lenggok ke Jakarta."
Namun Imran menyangkal telah memerintahkan pembunuhan itu. Ia,
katanya, hanya membolehkan anggou jamaahnya mengambil tindakan.
"Gila apa, orang dibunuh di rumah saya," katanya bersemangat.
Pembunuhan Najamudin, dilakukan oleh ketiga terdakwa bersama
Azhar Zulkarnaen -- yang memperkenalkan korban kepada Imran. Yus
Taylor, Ali Yusuf dibantu Ubaidillah.
MESKI berat badannya turun drastis, di luar sidang Imran
menyatakan, "sampai sekarang saya belum kalah." Ia, katanya,
terus berjuang untuk Islam. "Saya bermaksud menegakkan hukum
Islam, dan bukan mendirikan negara Islam," katanya lagi. Ia juga
menolak dikatakan anti-Pancasila. Yang ditentang adalah sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang bisa diartikan Tuhan itu
banyak. Padahal, "Tuhan saya cuma satu."
Tentang penyerangan ke pos polisi Cicendo, Bandung, Imran
menyatakan itu unggung jawab Salman. "Sebab jamaah tak
menyetujui cara-cara seperti itu," katanya. Salman yang merasa
penyerangan itu direstui Sang Imam, menjadi gusar. Apalagi
karena Imran sempat menangis dan teringat emaknya, ketika
dituntut hukuman mati. Dalam pembelaan dirinya di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, Februari tahun lalu, anak dari Kotamatsum
Medan itu pun minta dihukum yang seringan-ringannya.
Barangkali karena itu, maka kini Salman Hafidz alias Nasrullah
kehilangan rasa hormat terhadap bekas imamnya. "Dia itu kecil,"
katanya sembari menjetikkan telunjuk, ketika ditemui Anwar
Sulaeman, bekas "pengawas hukum"nya tiga pekan lalu di Inrehab
Cimahi, Bandung.
Setelah di Jakarta Timur, Imran mungkin bakal muncul di Bandung.
Oktober ini, anggota jamaahnya--para pelaku penyerangan pos
polisi Cicendo yang dipimpin Salman -- akan diadili.
Dan di Malang, anggota jamaah H. Mohamad Yusuf dituntut 17 tahun
penjara. Sementara rekannya, Mohamad Amin, dalam waktu dekat
akan disidangkan di Jombang, Jawa Timur. Di Jakarta sendiri,
menurut A.J. Adnan Kepala Bidang Operasi Kejaksaan Tinggi,
"belum ada lagi berkas perkara yang akan dilimpahkan ke
Pengadilan."
Jamaah Imran yang lain, menurut kabar, mungkin tak sampai ke
sana, karena dinilai masalahnya kurang "berbobot". Penahanan
atas diri mereka, konon hanya sebagai tindakan pengamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini