Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Apa Itu Metode Scientific Crime Investigation dalam Penyidikan Kejahatan

Pengacara terdakwa menyebut polisi tak memakai metode Scientific Srime Investigation dalam menangani kasus pengeroyokan. Apa itu?

24 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Polisi acap tak menerapkan scientific crime investigation dalam menangani sebuah kejahatan.

  • Metode SCI seharusnya wajib dilakukan para polisi.

  • Minim kompetensi dan ingin cepat menyelesaikan penanganan perkara membuat SCI acap diabaikan.

HANYA dalam waktu sebulan, Kepolisian Resor Tasikmalaya selesai menangani kasus pengeroyokan pada 17 November 2024 yang diduga dilakukan empat remaja. Bahkan hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya telah memvonis keempatnya dengan hukuman 1 tahun 8 bulan penjara pada 23 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara terdakwa, Nunu Mujahidin, mengatakan hakim mengabaikan rekaman kamera di lokasi kejadian. Sebab, kata dia, ada CCTV yang menunjukkan tak ada para terdakwa di lokasi kejadian ketika pengeroyokan terjadi. "Polisi tak memakai metode scientific crime investigation (SCI) dalam menangani perkara ini," kata Nunu sesuai sidang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal penerapan metode SCI tercantum dalam beberapa aturan. Pertama, Pasal 184 KUHAP. Pasal tersebut mengatur soal alat bukti yang sah menurut hukum, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Soerjono Soekanto, dalam bukunya berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum menyatakan hasil forensik masuk ke dalam kategori alat bukti berupa surat dan petunjuk.

Selain itu aturan soal SCI juga terdapat dalam Pasal 14 ayat ( 1 ) Undang-Undang Kepolisian RI. Pasal tersebut menyatakan Polri bertugas menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran
kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. Pasal 34 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana juga mengatur soal metode SCI. Pasal tersebut berbunyi,“Penyidik dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana didukung dengan bantuan teknis penyidikan untuk pembuktian secara ilmiah (Scientific Crime Investigation)."

Apa itu scientific crime investigation? Peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan polisi seharusnya menggunakan metode scientific crime investigation atau metode penyidikan secara ilmiah dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan seperti di Tasikmalaya itu.

SCI, menurut dia, merupakan penyelidikan dan penyidikan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah, termasuk dalam pencarian bukti yang obyektif serta bisa dipertanggungjawabkan. “Pencarian bukti secara ilmiah tentu dengan metode keilmuan, dari kedokteran, forensik di TKP, hingga balistik untuk menguji peluru,” kata Bambang.

Riza Sativa, dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Kepolisian Volume 15 yang terbit pada April 2021, menyatakan SCI adalah pendekatan penyidikan yang mengedepankan ilmu pengetahuan untuk mengungkap suatu kasus kejahatan. Dengan metode SCI, pengakuan tersangka ditempatkan pada urutan terakhir dari alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan. SCI mengedepankan penyidikan yang objektif berdasarkan bukti-bukti lapangan.

Dalam penyidikan tindak pidana, menurut Riza, yang kini menjabat Kepala Unit 2 Subdirektorat 5 Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, SCI menggunakan berbagai disiplin ilmu, baik ilmu murni maupun ilmu terapan, yang dikembangkan dengan ilmu forensik. Hal ini dilakukan agar polisi bisa mendapatkan kesimpulan berdasarkan keidentikan yang dihasilkan dari berbagai sudut pandang.

Bambang Rukminto menilai polisi kerap mengabaikan metode SCI ini karena masalah arogansi. Menurut dia, polisi memiliki kewenangan yang sangat besar tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Selain itu, dia menilai, metode SCI ini kerap terabaikan karena polisi hanya menganggap investigasi awal sebagai pekerjaan rutin. “SOP hanya dijalankan secara normatif, yang penting memenuhi syarat penyelidikan dan berkas sudah bisa P-21 ke kejaksaan,” katanya.

Seharusnya, menurut Bambang, penyidikan polisi sejak awal diawasi oleh jaksa sehingga bukti hingga penanganan perkaranya sesuai prosedur. Menurut dia, yang terjadi saat ini justru jaksa sering menerima berkas dari penyidik tanpa upaya mempertanyakan sisi formil dan materiilnya. Dia menilai masalah tersebut memang menjadi kendala karena KUHAP saat ini belum mengatur hal itu. 

Pengabaian metode SCI, menurut Bambang, juga terjadi karena banyak penyidik yang tak kompeten. Dia mengkritik pola pendidikan di kepolisian yang selama ini menekankan mengejar pengakuan tersangka, hal yang justru bertentangan dengan prinsip SCI. 

Bambang juga menilai penegakan disiplin terhadap polisi yang tak menerapkan metode SCI dalam penyidikan sangat lemah. Polisi memang memiliki Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menghukum anggotanya jika melakukan pelanggaran atau kadung mengabaikan metode SCI.

Namun, menurut Bambang, sanksi yang dijatuhkan KKEP tidak cukup kuat memberikan efek jera. “Sidang komisi etik dan disiplin akhirnya hanya menjalankan prosedur. Sanksi yang diberikan, ya, sekadar normatif, demosi yang bisa dianulir dan sewaktu-waktu bisa dipromosikan lagi,” tuturnya.

Kriminolog Universitas Indonesia, Erni Rahmawati, menambahkan penyidikan berbasis ilmiah menuntut pengumpulan bukti yang obyektif dan terverifikasi. Sebelum menangkap dan menetapkan tersangka, menurut dia, polisi seharusnya menganalisis bukti forensik, rekaman CCTV, serta memeriksa saksi secara mendalam.

Dalam SCI, menurut dia, polisi tak perlu buru-buru menangkap pelaku tindak pidana. Sama seperti Bambang, Erni menyoroti kompetensi para penyidik. Menurut dia, penyidik harus benar-benar mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menerapkan metode ini. Pasalnya, SCI menggunakan berbagai disiplin ilmu.

Erni juga menilai penerapan metode ini terhambat karena minimnya anggaran penanganan sebuah perkara. Dia mencontohkan, jika seorang pelaku kejahatan kabur, polisi harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk menangkapnya.

Selain itu, pengabaian metode SCI, menurut Erni, juga terjadi karena target yang besar di tubuh kepolisian. "Polisi dikejar menyelesaikan 60 persen kasus dalam setahun," ujarnya. Desakan target ini, menurut Erni, kerap mengorbankan proses penyidikan yang teliti dan berbasis bukti ilmiah.

Model dalam sistem peradilan pidana

Erni juga menyoroti soal penerapan crime control model (CCM) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Model ini menitikberatkan pada kecepatan penyelesaian kasus dibandingkan akurasi prosesnya.

Dalam CCM, menurut dia, asas praduga tidak bersalah sering kali hanya formalitas. Karena itu, dia melanjutkan, penyidik kerap hanya mengejar dua bukti, yakni keterangan saksi dan pengakuan tersangka. Sementara itu, cara untuk mendapatkan pengakuan pun sering mengarah pada kekerasan, seperti pemukulan terhadap tersangka.

Seharusnya, menurut dia, Indonesia menggunakan due process model (DPM) yang mengutamakan pembuktian menyeluruh sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. "Di Amerika, ada aturan seperti Miranda’s Law. Kalau aturan itu dilanggar, penangkapan bisa dianggap tidak sah," katanya. Sayangnya, menurut dia, prosedur semacam ini kerap absen di Indonesia. "Tangkap dulu, baru lihat bagaimana nanti," tuturnya. 

Erni juga menyoroti kesalahpahaman konsep "jiwa korsa" dalam institusi penegak hukum di Indonesia. Di sisi lain, hakim, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru kerap melindungi kesalahan dalam penyidikan.

Dalam kasus di Kota Tasikmalaya ini, Erni juga menyoroti dampak psikologis dan sosial terhadap korban salah tangkap yang merupakan anak-anak. "Stigmatisasi bisa menjadi self-fulfilling prophecy. Mereka dipaksa menerima label pelaku kejahatan dan akhirnya benar-benar menjadi seperti itu," tuturnya.

Soal vonis hakim yang tetap memvonis bersalah keempat anak tersebut, menurut Erni, memperparah situasi ini. Sebab, lingkungan lapas dipenuhi pelaku kenakalan remaja lain. "Di lapas, anak-anak yang awalnya hanya korban salah tangkap malah bertemu dengan pelaku kenakalan sebenarnya. Akhirnya, mereka belajar kejahatan di ‘sekolah kejahatan’,” ujarnya.

Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andrie Yunus sepakat dengan Bambang dan Erni soal polisi yang sejauh ini gagal menerapkan SCI serta justru lebih mengedepankan pengakuan tersangka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus