SEBUAH mobil Mercy warna merah hati, terparkir menghadap laut di Ancol, Jakarta Utara. Kap depan terbuka dan mesin serta AC-nya dalam keadaan hidup. Padahal, malam panjang sudah lewat: pukul 09.10, Minggu, 25 November lalu. Keadaan Mercy bernomor B 29 AF buatan tahun 1972 itu, sudah tentu, menarik perhatian Sujana, petugas kebersihan yang hendak mulai bekerja. Apalagi ketika diketahui bahwa mobil itu paling tidak sudah terparkir di sana sejak pukul 03.00 dinihari. Sujana lalu melapor kepada petugas Satpam. Mobil itu diperiksa. Di dalamnya dijumpai ada dua sosok tubuh yang tak berdaya. Sosok yang satu, pria setengah umur bertubuh tinggi besar, tergolek di jok belakang. Napasnya satu-satu. Celana panjang dan celana dalamnya tersampir di sandaran kursi. Sosok satunya, seorang wanita berparas cantik, tergeletak di bawah jok belakang, dalam posisi miring ke kiri. Pakaiannya - kaus merah, rok, serta semacam jas warna putih masih utuh. Hanya sebuah tali kutangnya melorot ke bawah. Ia sudah tak bernyawa lagi. Wanita itu kemudian diketahui bernama Syeny Margaretha Laloan alias Cindy, 26, kasir di PT Risomas Jaya. Sedangkan si pria adalah Drs. Midian, 53, direktur di perusahaan itu, yang mengoperasikan permainan ketangkasan sejenis Mickey Mouse di sembilan tempat di Jakarta. Ayah tiga anak, dan kabarnya bekas karyawan Departemen Perhubungan, itu ternyata hanya pingsan. Ia pulih kembali setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sampai Sabtu pekan lalu, Kepolisian Jakarta masih belum bisa memastikan apakah kasus "Mercy Ancol" itu peristiwa pembunuhan atau hanya kecelakaan. Berdasarkan pemeriksaan ahli, penyebab kematian Syeny, anak ketiga Kapten Polisi Anton Laloan (yang bertugas di Bandung), adalah gas CO (karbon monoksida). Sekujur tubuhnya, yang berkulit putih, menjadi berwarna merah terang, cherry red. Sebab itu, semula ada kecurigaan, janganjangan ia meninggal karena racun cyanida (Cn), yang di banyak negara memang dikenal sebagai racun yang efektif untuk membunuh. Namun, ketika mayatnya diautopsi, yang dijumpai dalam darah dan organ tubuh lain ternyata gas CO itu. Memang, kata sebuah sumber TkMPO, keracunan cyanida maupun CO menunjukkan gejala yang sama: kulit menjadi kemerahan. Yang menjadi persoalan adalah dari mana asal gas yang mematikan itu. Ada dugaan, gas berasal dari knalpot mobil yang bocor. Gas tadi lalu merembes ke dalam mobil dan terhirup oleh korban. Dan, karena semua pintu dan jendela tertutup rapat, sangat mungkin korban menjadi cepat lemas karena tak tertolong. Namun, percobaan yang dilakukan pihak Laboratorium Kriminal (Labkrim) Mabes Polri, Jumat pekan lalu, mengaburkan kemungkinan tersebut. Seekor kelinci dan dua ekor ayam yang dimasukkan ke dalam "mobil maut" milik Midian, dengan kap depan terbuka dan mesin serta AC dihidupkan enam jam terus-menerus, ternyata tak membawa efek negatif. Ketiga binatang percobaan itu masih tetap segar bugar. Padahal, menurut petugas Labkrim, kelinci dan ayam tergolong binatang yang sebenarnya lebih sensitif terhadap gangguan gas CO ketimbang manusia. Untuk lebih meyakinkan, Labkrim merencanakan membuat percobaan serupa di Ancol, di tempat mobil itu mula-mula ditemukan. Sumber TEMPO itu memang tak yakin, Syeny dan Midian, yang dalam lima bulan terakhir tampak intim, keracunan CO yang berasal dari knalpot. "Kalau mereka menghirup gas dalam waktu bersamaan di dalam mobil, bisa dipastikan keduanya akan mati," tutur sumber itu. Bahkan, semestinya Midian lebih dahulu tewas, mengingat usianya kondisi jantung dan parunya tak lagi sebaik orang muda. Apalagi, menurut pengacaranya, O.C. Kaligis, Midian mengidap sakit jantung, ginjal, dan gula. Sewaktu mayat Syeny ditemukan, kata sumber itu lagi, di tubuhnya yang tinggi semampai sudah ditemukan adanya "lebam mayat" di sisi kiri badannya. Berarti, korban sudah meninggal minimal empat jam sebelumnya, dalam posisi miring ke kiri. Bila Midian selama itu berada bersamanya dalam mobil, ajaib sekali bila dia ternyata masih hidup. "Orang dengan kondisi prima sekalipun tak akan bisa bertahan sampai satu jam dalam ruang sempit yang penuh gas CO," katanya. Maka, ia menduga, Midian pernah meninggalkan Syeny seorang diri dalam mobil - paling tidak selama empat jam. Kemungkman lain: Syeny, dan mungkin juga Midian, keracunan CO - entah dengan cara bagaimana - di luar mobil tersebut. Baru kemudian keduanya dimasukkan ke dalam mobil. Tak tertutup kemungkinan memang, ada pihak ketiga yang ikut "main" dalam perkara ini. Dalam mengusahakan permainan elektronik, misalnya, Midian diketahui mempunyai saingan, yaitu PT Monggo Mas pimpinan Arnold Gultom. Mulanya, Midian dan Arnold sempat berkongsi selama tujuh bulan. Tapi, sejak Oktober lalu, hubungan keria mereka putus. Dan setelah perpecahan itu, kata asisten direktur Risomas Jaya, Herman Simbolon, pihaknya pernah diancam lewat telepon. "Mulai saat ini saya siap perang dengan doktorandus tai itu, kapan saja," kata Herman, menirukan bunyi ancaman itu. Telepon bernada ancaman, kata Herman, juga diterima oleh seorang WNI keturunan Cina yang ingin menjalin kerja sama dengan Midian. Sampaisampai, orang Cina tadi membatalkan rencananya untuk berkongsi dengan PT Risomas Jaya. Terus terang, Herman menduga, musibah yang menimpa Syeny dan bosnya di Ancol berhubungan dengan telepon gelap bernada ancaman itu. Ia, misalnya, tak yakin Midian "tega" berbuat tak senonoh terhadap anak buahnya sendiri di dalam mobil. "Bapak itu uangnya banyak. Kalau mau begituan, dia bisa melakukannya di hotel yang paling mewah, yang keamanannya terjamin," kata Herman. Salah satu kunci persoalan tentang peristiwa di Ancol itu memang ada pada Midian. Sayangnya sampai Sabtu pekan lalu, ia belum mau bicara terus terang. Sewaktu diperiksa polisi, ia hanya menyatakan bahwa malam itu ia bersama Syeny pergi ke Ancol, namun setelah itu ia mengaku tak ingat apa-apa lagi. Jadi, memang belum diketahui apakah ia tetap bersama-sama Syeny dalam mobil sampai pagi esok harinya ketika mereka ditemukan atau tidak. Yang jelas, ketika dilakukan tes terhadap dirinya, dokter tak menemukan ada kandungan gas CO dalam darahnya. Tapi, itu kelihatannya karena tes terlambat dilakukan, yaitu setelah dua hari kemudian. Sehingga, kalaupun yang menyebabkan Mldlan pmgsan adalah benar CO, gas itu sudah keburu menguap dari tubuhnya. Menurut sumber TEMPO, malam Minggu itu Midian menjemput Syeny dari pemondokannya di bilangan Rawasari, Jakarta Pusat, sekitar pukul 21.30. Kepada rekannya sepemondokan, Syeny mengatakan bahwa yang menjemputnya akan mengajaknya makan malam bersama. Bisa jadi Midian sedang iseng, karena istrinya - yang mengidap sakit ginjal berat dan pernah berobat ke Negeri Belanda - sejak beberapa waktu lalu dirawat di Rumah Sakit Cikini. Dalam lima bulan terakhir, hubungan mereka tampaknya memang semakin intim. Adalah Midian yang "memboyong" Syeny bekerja sebagai kasir di Mekar Jaya - satu dari sembilan lokasi usaha PT Risomas Jaya. Mulanya, wanita tamatan SMEA Pembina II, Bandung, itu menjadi kasir di PT Monggo Mas milik Arnold - sewaktu perusahaan itu masih berkongsi dengan Midian. Hanya, kepada rekan-rekannya Syeny menolak anggapan seolah ia mempunyai hubungan khusus dengan bosnya. "Ah, Bapak menganggap saya sebagai anaknya," katanya selalu. Orangtua dan saudaranya di Bandung pun - ia mempunyai dua kakak dan tiga adik - tak tahu-menahu: "Syeny tak pernah bercerita apa-apa. Hanya, sewaktu ia pulang ke Bandung pada tanggal 21 November, ia kelihatan murung. Seperti sedang menghadapi persoalan berat," kata Robby, adiknya. Wanita muda yang biasa supel dan periang itu juga mengeluh sakit kepala. Oleh ibunya Itje Adelina Sanger, lalu diantar berobat ke dokter ahli saraf. Menurut sebuah sumber, Syeny ternyata mengidap penyakit tention headache, sejenis sakit kepala yang cukup mengganggu, yang diakibatkan oleh gangguan jiwa. Karena sakitnya itu, yang menyebabkannya sulit tidur, sejak empat hari sebelumnya Syeny tak masuk kantor. Menurut seorang teman dekatnya, setamat SMEA Syeny pernah berpacaran dengan seorang mahaslswa fakultas hukum Universitas Islam Nusantara (Uninus) di Bandung. Entah mengapa, hubungan mereka putus pada 1980, dan Syeny tampaknya terpukul sekali. Sejak itu, setahunya, Syeny tak pernah berpacaran lagi, dan tinggal di rumah seorang kakaknya di Jakarta. Ibunya, yang melihat usia anak wanitanya sudah seperempat abad, terkadang menyinggung juga soal perkawinan. Tapi, kata Robby, kakaknya selalu menjawab dengan, "Ah, itu sih gampang, Ma. Saya masih ingin kerja yang bener dulu." Dalam persoalan bentroknya Midian dengan Arnold, Syeny tampaknya cukup tahu banyak. Kepada seorang kenalannya ia pernah bercerita bahwa ia ngeri. "Jangan-jangan nanti saya dibunuh karena masalah ini," kata temannya itu menirukan Syeny. Ketika itu, sang teman hanya menganggap Syeny bergurau. Ternyata, beberapa waktu kemudian ia benar-benar tewas. Arnold sendiri kepada TEMPO menyatakan, tak habis pikir disebut-sebut sebagai musuh Midian. "Laki bini saja bisa cekcok, apalagi dalam bidang usaha seperti ini,' katanya. Arnold menganggap apa yang dikatakan Herman tentang adanya telepon gelap bernada ancaman hanyalah mengadaada. "Kalau memang betul ada ancaman, mengapa baru diributkan sekarang, dan tidak melaporkannya dulu-dulu kepada polisi?" tanyanya berang. Dan tentang tuduhan membunuh? ) "Bah, ngapain? Terlalu kecil kalau hanya soal Mickey Mouse saja sampai membunuh orang. Ayam saja susah dibunuh, apalagi orang," katanya bernada tinggi. Dibunuh atau tidak, yang jelas, Syeny sudah tiada. Tinggal tugas poiisi mencari jawab: Apa sebenarnya yang terjadi di balik ini semua?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini