Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Jatim Jaya Perkasa mencabut gugatan terhadap Bambang Hero Saharjo.
SLAPP masih sering digunakan untuk membungkam aktivis lingkungan.
Undang-undang belum bisa melindungi para pembela lingkungan.
JAKARTA – Perusahaan sawit PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) mencabut gugatannya terhadap pakar forensik kebakaran hutan Bambang Hero Saharjo. Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Cibinong disebutkan bahwa pencabutan itu dilakukan oleh Eliasar Daniel Pantun Lumbanbatu sebagai wakil PT JJP dalam sidang perdana pada 17 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Hero mengatakan sudah mengetahui pencabutan gugatan itu meski ia tidak menghadiri persidangan tersebut. “Karena penasihat hukum saya bilang, 'Sementara enggak usah hadir,'” kata Bambang, kemarin. “Kemudian saya dihubungi kolega saya, ternyata perusahaan telah mencabut gugatannya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang digugat oleh PT JPP karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum saat memberikan keterangan sebagai ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di pengadilan. Perusahaan merasa dirugikan atas kesaksian Bambang dalam persidangan pada Maret 2015 dan Juni 2016.
PT JJP merupakan perusahaan sawit di Rokan Hilir, Riau. Perseroan menggugat perdata Bambang dengan tuduhan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Berkas dakwaan perusahaan menyebutkan Manajer Humas PT JJP Sangkan Tampubolon yang mewakili perseroan telah menunjuk kantor hukum Christian Immanuel SH & Partner sebagai kuasa hukum pada 22 Desember 2023.
Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, dalam konferensi pers mengenai kesiapan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendampingi dugaan kriminalisasi terhadap dirinya, di Jakarta, 8 Oktober 2018. Dok. KLHK
Gugatan perdata ini bukan pertama kalinya didaftarkan ke Pengadilan Negeri Cibinong. PT JJP pernah melayangkan gugatan serupa pada 17 September 2018. Gugatan tersebut dialamatkan kepada Bambang yang menjadi saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di area perkebunan sawit PT JJP yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Perkebunan PT JJP terbakar pada 2013. Dalam keterangannya sebagai saksi ahli dalam perkara perdata yang diajukan KLHK tersebut, Bambang membeberkan hasil analisisnya terhadap karhutla di konsesi PT JJP. Dalam perhitungan Bambang dan timnya, area terbakar di perkebunan perseroan mencapai 1.000 hektare. Keterangan Bambang inilah yang kemudian dijadikan dasar Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam memutuskan besaran denda terhadap perseroan. Dibacakan pada Juni 2016, putusan majelis hakim menyatakan PT JJP melakukan perbuatan melawan hukum.
Perkara perdata itu pun inkrah hingga tingkat Mahkamah Agung. PT JJP diharuskan membayar ganti rugi Rp 119,8 miliar. Perseroan juga harus melakukan perbaikan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas 1.000 hektare dengan biaya Rp 371,1 miliar. Perusahaan ini pun tak diperbolehkan menanam kembali di lahan gambut bekas kebakaran.
PT JJP tidak terima dengan keputusan itu. Perusahaan menggugat Bambang dan meminta Pengadilan Negeri Cibinong menyatakan keterangan saksi ahli cacat hukum, tidak memiliki kekuatan pembuktian, serta batal demi hukum. Namun belakangan perseroan mencabut gugatan tersebut pada Oktober 2018 setelah menuai kecaman dari banyak kalangan.
Terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjalani sidang putusan perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 8 Januari 2024. TEMPO/Subekti
Adapun untuk gugatan yang didaftarkan pada 22 Desember 2023, PT JJP tak lagi mempertanyakan metode pembuktian dalam analisis Bambang. Perusahaan mempersoalkan adanya perbedaan luas area terbakar yang dinyatakan oleh Bambang dalam dua perkara berbeda yang menjerat PT JJP.
Sebelum digugat perdata oleh KLHK, PT JJP pernah diperkarakan secara pidana atas kebakaran yang terjadi pada 2013. Bambang Hero juga menjadi saksi ahli dalam perkara pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Rokan Hilir tersebut. PT JJP mengklaim, dalam sidang perkara pidana, Bambang menyatakan kebakaran di area perusahaan hanya 120 hektare. Vonis hakim saat itu membebaskan perseroan dari dakwaan dan hanya memerintahkan pembayaran biaya pemulihan lingkungan senilai Rp 1 miliar. Adapun dalam perkara perdata, masih dari dakwaan terbaru PT JJP, kesaksian Bambang berubah dengan menyatakan luas area terbakar mencapai 1.000 hektare.
Bambang menolak tuduhan menyampaikan keterangan berbeda dalam kasus karhutla PT JJP. Dia menyatakan tidak pernah mengakui karhutla di konsesi perusahaan seluas 120 hektare. Angka tersebut, kata Bambang, merupakan data yang diklaim perusahaan. Adapun hasil perhitungannya justru menemukan ada 1.000 hektare lahan perkebunan PT JJP yang terbakar pada 2013. “Kok, sekarang ditarik-tarik saya mengakui 120 hektare? Ini mengada-ada,” kata Bambang.
Menurut Bambang, perhitungan luas kebakaran lahan 1.000 hektare itu didasari informasi dari hotspot, satelit, dan fakta lapangan. Dia menegaskan bahwa keterangan di pengadilan adalah independen. Lagi pula, perhitungan 1.000 hektare itu sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap atau inkrah dalam putusan pidana dan gugatan perdata. “Sidang tahap banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) tetap dipakai 1.000 hektare,” kata Bambang. Namun sekarang ia merasa lega gugatan yang kedua ini juga dicabut.
Kuasa hukum PT JJP, Christian Immanuel, hingga semalam belum memberikan keterangan tentang pencabutan gugatan tersebut. Namun, sebelum sidang perdana digelar, dia sempat berjanji akan memberikan penjelasan ihwal gugatan tersebut.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian menilai gugatan terhadap Bambang Hero itu menjadi modus baru untuk mengintimidasi aktivis lingkungan. Dengan kata lain, intimidasi termasuk bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP). “SLAPP yang dilakukan itu memang tujuannya bukan memenjarakan warga, melainkan untuk menakut-nakuti dan melemahkan gerakan perjuangan,” kata Uli.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kata Uli, intimidasi terhadap aktivis lingkungan cenderung meningkat. Berdasarkan catatan Walhi, sepanjang 2014-2023, aktivis yang mengalami intimidasi dalam bentuk kriminalisasi dan kekerasan jumlahnya mencapai 827 orang. “Korban ini kami kategorisasikan semuanya sebagai aktivis, meskipun dia berasal dari komunitas akar rumput,” katanya. “Walhi beranggapan semua orang yang melakukan pembelaan terhadap lingkungan itu adalah aktivis.”
Gugatan terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, kata Uli, termasuk SLAPP. Haris dan Fatia harus menjalani proses hukum selama berbulan-bulan meski akhirnya divonis bebas. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap tiga petani di Kinjil, Kalimantan Tengah, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. “Jadi, tujuannya memang untuk menghabiskan energi rakyat, yang membuat rakyat itu takut untuk berjuang,” katanya.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, sependapat dengan Uli. Menurut dia, ada sejumlah modus yang umum digunakan untuk membungkam para aktivis lingkungan. Di antaranya adalah mentersangkakan atau menggugat para pembela lingkungan. “Tuduhan-tuduhan pencemaran nama baik, tuduhan pencurian, dan tuduhan menghalang-halangi pelaku usaha tambang serta tuduhan perusakan barang menjadi tuduhan yang paling sering dialamatkan kepada pembela lingkungan,” kata Roni.
Modus lainnya adalah menggunakan undang-undang keimigrasian untuk mempersoalkan izin tinggal bagi aktivis atau peneliti yang berkewarganegaraan asing. Ada kalanya pembungkaman itu dilakukan dengan memutus kerja sama antara Kementerian dan lembaga-lembaga internasional yang cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 66 aturan itu dinyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Namun pasal ini jarang digunakan untuk melindungi para aktivis lingkungan. “Masih banyak aktivis lingkungan yang dikriminalkan,” kata juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas. “Ini menunjukkan regulasi di Indonesia belum kuat.”
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | FEBRIYAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo