Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERGANTIAN hakim itu terjadi menjelang sidang pembacaan putusan. Awal Oktober lalu, Andreas Suharto tampil menggantikan Robert Simorangkir sebagai ketua majelis perkara korupsi Bupati nonaktif Lampung Timur, Satono, dan bekas Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad Sampurna Jaya. Dua perkara itu semua disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung.
Karena dimutasi ke Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Robert tak bisa menuntaskan seluruh agenda persidangan, yang tinggal menyisakan tanggapan jaksa terhadap pembelaan terdakwa dan pembacaan putusan. Namun, sepekan sebelumnya, ia bersama anggota majelis hakim lainnya sudah merumuskan vonis yang akan dijatuhkan. "Sebelum dia pindah, kerangka putusan sudah dirumuskan," kata Itong Isnaeni Hidayat, anggota majelis dua perkara itu, kepada Tempo pekan lalu.
Andreas hanya punya waktu sepekan untuk mempelajari risalah persidangan. Toh, pada akhirnya ia juga mengamini rumusan putusan yang sudah dibuat sebelumnya. Senin dua pekan lalu, bersama anggota majelis hakim Itong Isnaeni dan Ida Ratnawati, Andreas menjatuhkan vonis bebas untuk Satono. "Pak Andreas setuju perbuatan Satono tidak melanggar hukum," kata Itong, hakim karier yang juga menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjung Karang.
Ida juga merupakan hakim di Pengadilan Tipikor Tanjung Karang. Pengadilan antikorupsi itu baru diresmikan pada akhir April lalu. Karena berkas perkaranya masuk sebelum Pengadilan Tipikor Tanjung Karang ada, perkara Satono tidak disidang di pengadilan khusus itu. Ini juga terjadi pada perkara Andy Achmad.
Vonis Satono, yang majelisnya didominasi hakim tindak pidana korupsi, merontokkan tuntutan jaksa, yang meminta Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar ini dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Dalam tuntutannya, jaksa menilai Satono merugikan negara Rp 119,5 miliar karena menempatkan dana di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tripanca Setiadana Bandar Lampung, dan menilap imbal bunga atas penempatan itu.
Sebaliknya, menurut majelis, ayah tiga anak itu tidak bersalah melakukan penempatan dana kas daerah senilai Rp 108,9 miliar dalam bentuk rekening giro di BPR Tripanca. Tudingan jaksa bahwa Satono mendapat bunga 0,45 sampai 0,5 persen per nilai saldo atau total senilai Rp 10,58 miliar sebagai imbal jasa, menurut hakim, tidak terbukti. "Di persidangan, tidak ada saksi yang menguatkan itu," kata Itong.
Penempatan ini dipersoalkan karena belakangan BPR Tripanca dilikuidasi Bank Indonesia sehingga bank milik Sugiharto Wiharjo alias Alay itu tidak mampu membayar kewajibannya terhadap nasabah. Alhasil, dana pemerintah Lampung Timur itu tidak bisa ditarik. Tapi hakim punya pendapat berbeda. "Ini tanggung jawab BPR Tripanca," kata hakim Andreas saat membacakan putusan.
Di mata jaksa, penempatan dana semacam itu juga bermasalah karena melanggar Undang-Undang Perbendaharaan. Dalam beleid itu, menurut jaksa, kas daerah seharusnya disimpan di bank umum. Dalam dakwaan jaksa, Satono menyimpan dana di giro BPR Tripanca karena tergiur bunga tinggi dan imbalan bunga yang dijanjikan. Hakim tak sependapat dengan jaksa. Menurut hakim, penempatan duit seperti ini tidak melanggar Undang-Undang Perbendaharaan atau aturan turunannya.
Satono pun langsung menangis mendengar vonis bebas itu. Dielu-elukan para pendukungnya, ia segera bergegas meninggalkan pengadilan. Sopian Sitepu, pengacara Satono, menyatakan pihaknya tidak kaget atas vonis bebas. Menurut Sopian, kliennya sejak awal dijerat dengan tuduhan "kosong". "Tuduhannya dipaksakan," kata Sopian.
Jaksa menyatakan akan melakukan kasasi atas putusan bebas itu. Menurut Yusna Adia, salah satu jaksa yang memegang perkara rasuah itu, hakim mengabaikan fakta-fakta di persidangan. Misalnya, kata Yusna, bukti transfer imbal bunga ke Satono dan istrinya. "Diabaikan hakim," kata Yusna.
Seorang jaksa pidana khusus di Kejaksaan Tinggi Lampung mengakui memang terdapat sejumlah kelemahan dakwaan perkara itu. Sebelumnya, dakwaan jaksa ini juga sempat ditolak dalam persidangan putusan sela. Saat itu, menurut majelis yang dipimpin Robert Simorangkir, dakwaan jaksa terhadap Satono tidak cermat. Setelah dakwaan diperbaiki, jaksa kembali memperkarakan pria yang gemar mendalang ini ke meja hijau. Hasilnya, ya, vonis bebas itu.
Dua hari setelah memutus bebas Satono, Andreas menjadi ketua majelis yang menjatuhkan vonis untuk bekas bupati yang memimpin Lampung Tengah dua periode, Andy Achmad Sampurna Jaya. Tuduhannya juga dugaan korupsi penempatan dana di BPR Tripanca.
Dalam perkara ini, anggota majelis hakim terdiri atas Itong Isnaeni dan Ronald Salnofri Bya. Menurut majelis, bekas bupati yang kerap dipanggil Kanjeng karena sering mendapat penghargaan adat itu tidak terlibat dalam proses penempatan dana. Di persidangan, menurut hakim, hanya ada satu saksi yang mengatakan Andy yang memerintahkan penempatan dana itu. Saksi itu adalah Herman Hasboellah, bekas Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Lampung Tengah.
Dalam perkara yang sama, Herman sudah divonis Pengadilan Negeri Tanjung Karang tujuh tahun penjara. Di tingkat banding, vonisnya dikorting menjadi dua tahun. Dalam amarnya, majelis menyatakan vonis Herman dipangkas karena ia hanya menjalankan perintah Bupati Andy. Kini perkara Herman tengah kasasi. Putusan berlawanan inilah yang menjadi celah jaksa melawan vonis Andy itu dengan kasasi.
Vonis bebas beruntun ini mendorong Kejaksaan Agung mengeksaminasi dakwaan jaksa dalam dua perkara itu. Soal ada atau tidaknya pelanggaran atau jaksa main mata dengan terdakwa, Jaksa Agung Pengawasan Marwan Effendy memastikan pihaknya belum mendapat laporan atau temuan. "Biar dieksaminasi dulu dakwaannya," kata Marwan.
VONIS bebas Satono dan Andy menambah panjang daftar kepala daerah yang lepas dari jerat korupsi (lihat "Dua Lagi Menambah Daftar"). Komisi Yudisial pun kebanjiran pengaduan untuk menginvestigasi sejumlah vonis bebas itu. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, saat ini vonis bebas kepala daerah memang tengah "bersemi". Ini tak terkecuali untuk perkara yang ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Mengenai dua vonis bebas di Lampung, kata Suparman, sudah diturunkan empat orang untuk menginvestigasi putusan itu. Dari sejumlah laporan yang masuk, kata dia, vonis bebas Satono dan Andy dinilai Komisi Yudisial janggal. Misalnya, kata Suparman, dalam perkara Satono banyak bukti yang diabaikan hakim. Dua pekan lalu, sepuluh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Timur mendesak komisi penjaga kehormatan hakim itu mengusut vonis bebas Satono. "Sebab, temuan mereka, ada kerugian negara," katanya.
Yang dimaksudkan Suparman adalah hasil angket DPRD Lampung Timur pada 3 Oktober lalu. Dalam dokumen angket yang diteken Ketua DPRD Lampung Timur Ali Johan Arif disebutkan penempatan dana kas daerah di BPR Tripanca melanggar Undang-Undang Perbendaharaan. Menurut Dewan, Satono juga lalai karena menempatkan dana dalam bentuk giro di BPR Tripanca, yang sebenarnya tidak mengeluarkan jasa giro. Dari hasil penelusuran panitia khusus, disebutkan aset-aset pengganti dari BPR ternyata milik orang lain.
Dewan juga merekomendasikan kepada pemerintah setempat agar berani menggugat ganti rugi atas hilangnya dana Rp 119,5 miliar kepada Satono karena ulahnya menempatkan dana secara "ugal-ugalan". Yang paling disorot dalam laporan itu adalah soal dugaan gratifikasi untuk Satono, berupa bunga 0,45 sampai 0,5 persen. Laporan hasil angket ini, terutama soal gratifikasi, sudah dikirim ke sejumlah instansi penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anton Aprianto (Jakarta) dan Nurochman Arrazie (Lampung)
Dua Lagi Menambah Daftar
VONIS bebas untuk bekas Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya dan Bupati Lampung nonaktif Timur Satono menambah panjang daftar kepala daerah yang lepas dari jerat perkara korupsi.
Jejak Andy di Tripanca
Februari 2008
Bupati Andy Achmad memerintahkan anak buahnya memindahkan Rp 15 miliar dana kas daerah di Bank Lampung ke deposito BPR Tripanca Setiadana karena tergiur bunga tinggi.
2 Maret 2008
Herman Hasboellah, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Lampung, tengah menyiapkan surat pemindahan itu.
3 Maret 2008
Andy meminta jumlah deposito di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tripanca dinaikkan menjadi Rp 20 miliar.
6 Maret 2008
Surat pemindahbukuan dana Rp 20 miliar diteken Sekretaris Daerah Lampung Tengah, Musawir Subing.
11 Maret 2008
Bank Lampung sebagai bank pemerintah daerah mentransfer Rp 20 miliar ke BPR Tripanca. Kemudian ditambah lagi menjadi Rp 28 miliar.
Mei 2008
Andy memperoleh pinjaman Rp 15 miliar tanpa agunan dari BPR itu. Jaksa menyebut ini imbalan penyimpanan dana tersebut.
1 November 2008
BPR Tripanca kolaps karena dana nasabah dipakai pemilik BPR.
3 Desember 2008
Kepolisian Daerah Lampung menetapkan Sugiarto Wiharjo alias Alay, pemilik Tripanca, sebagai tersangka raibnya dana di BPR itu.
28 Februari 2009
Polda Lampung menetapkan Andy Achmad jadi tersangka raibnya deposito APBD Lampung Tengah di BPR itu.
24 Maret 2009
BPR Tripanca ditutup Bank Indonesia.
3 April 2009
Musawir Subing jadi tersangka.
2 September 2009
Herman Hasboellah jadi tersangka.
4 Mei 2010
Pengadilan Negeri Tanjung Karang memvonis Herman 7 tahun penjara. Di pengadilan tinggi dikorting menjadi dua tahun karena dia hanya menjalankan perintah Andy sebagai bupati. Kini masih kasasi.
30 Agustus 2010
Pengadilan Negeri Tanjung Karang memvonis Musawir 18 bulan penjara. Pengadilan tinggi kemudian memvonis bebas karena dinilai hanya menjalankan perintah Andy. Jaksa mengajukan kasasi.
21 september 2010
Perkara Andy dilimpahkan ke kejaksaan.
3 Maret 2011
Karena dua kali mangkir pemeriksaan untuk kelengkapan berkas, Andy ditetapkan buron.
24 Maret 2011
Andy ditangkap di rumahnya di Bandar Lampung. Ia langsung ditahan.
20 April 2011
Sidang perdana Andy Achmad di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
14 September 2011
Andy dituntut 10 tahun dan denda Rp 500 juta.
19 Oktober 2011
Andy Achmad divonis bebas
Jejak Perkara Satono
6 September 2005
Bupati Satono menunjuk BPR Tripanca Setiadana sebagai pemegang rekening giro kas daerah karena tergiur bunga tinggi dan imbalan untuk Bupati.
September 2005
Pemilik Tripanca Sugiharto Wiharjo datang ke kantor pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk urusan administrasi pembukaan rekening.
19 September 2005
Atas perintah Satono, dilakukan transfer dari bank penampung kas daerah, Bank lampung dan Bank Mandiri, ke BPR Tripanca. Sampai 10 Oktober 2008, jumlahnya Rp 172,5 miliar.
20 September 2005
Bupati Satono mulai memperoleh bunga 0,45 sampai 0,5 persen dari penempatan itu. Sampai 30 September 2008, menurut jaksa, jumlahnya Rp 10,58 miliar.
28 Desember 2005
Sebagian dana dikembalikan ke kas daerah di Bank Lampung. Sampai 5 September 2008 jumlahnya Rp 83 miliar. Sisa di BPR Tripanca plus bunga Rp 108,58 miliar.
1 November 2008
BPR Tripanca kolaps karena dana nasabah dipakai pemilik BPR itu.
3 Desember 2008
Kepolisian Daerah Lampung menetapkan Sugiarto Wiharjo alias Alay, pemilik grup Tripanca, sebagai tersangka raibnya dana di BPR Tripanca Lampung.
28 Februari 2009
Polda Lampung menetapkan Satono jadi tersangka raibnya deposito APBD Lampung Timur.
24 Maret 2009
BPR Tripanca ditutup Bank Indonesia
14 Juli 2010
Perkara satono dilimpahkan ke Kejaksaan
30 November 2010
Sidang perdana Satono di Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Ia dinonaktifkan jadi bupati
4 Januari 2011
Dalam putusan sela, hakim menolak dakwaan Satono karena tidak cermat.
14 Maret 2011
Persidangan Satono digelar.
26 September 2011
Satono dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
17 Oktober 2011
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang memvonis bebas Satono.
Empat Hakim di Catatan Komisi Yudisial
Dua hakim yang memvonis bebas Satono juga tercatat sebagai bagian dari majelis hakim Andy Achmad. Bahkan dua diantaranya hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang.
1. Andreas Suharto
- Hakim karier
- Ketua majelis perkara Satono dan Andy Achmad.
- Dua kali dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan tuduhan tidak profesional dan dugaan suap.
2. Itong Isnaeni Hidayat
-Hakim karier dan hakim Pengadilan Tipikor Tanjung Karang
-Anggota majelis perkara Satono dan Andy Achmad.
- Dua kali dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan tuduhan tidak profesional dan dugaan menerima suap.
3. Ronald Salnofri
-Hakim karier
-Anggota majelis perkara Andy Achmad.
-Satu kali dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan tuduhan tidak profesional.
4. Ida Ratnawati
- Hakim karier dan hakim pengadilan Tipikor Tanjung Karang
- Anggota majelis perkara Satono
-Dua kali dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan tuduhan tidak profesional dan dugaan menerima suap.
Hadiah Vonis Bebas untuk Kepala Daerah
DALAM tiga bulan ini, vonis bebas untuk kepala daerah dalam perkara korupsi seperti hal lumrah. Inilah mereka yang juga mendapat "hadiah" itu.
1. Hidayat (Bupati Subang nonaktif)
2. Ahmad Ru'yat (Wakil Wali Kota Bogor nonaktif)
3. Mochtar Mochammad (Wali Kota Bekasi nonaktif)
4. Thedy Tengko (Bupati Kepulauan Aru, Maluku, nonaktif)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo