Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Hak Paten</font><br />Menantang Sritex di Pengadilan Niaga

Dua perusahaan tekstil terbesar di Jawa Tengah, Sritex dan Duniatex, saling gugat soal benang di tepi kain. Duniatex mencurigai munculnya sejumlah paten Sritex yang demikian cepat.

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAHITAN benang kuning di tepi kain sejatinya jamak saja. Semua kain dari jenis apa pun memilikinya. Fungsinya sebagai pengerat agar benang di ujung kain tak terurai. Atau sebagai pembatas merek yang menjadi ciri khas.

Namun, bagi Iwan Setiawan Lukminto, soal benang ini adalah urusan besar dan serius. "Itu ciri khas kain produksi kami," kata Presiden Direktur PT Sri Rejeki Isman Textile ini. Sri Rejeki—lebih dikenal dengan Sritex—adalah pabrik tekstil terbesar di Jawa Tengah yang berlokasi di Sukoharjo.

Maka ia geram ketika seorang pelanggannya di Jakarta melapor ada kain merek lain yang memakai benang kuning di tepinya sekitar Mei lalu. Iwan merasa garis kuning itu telah menjadi merek dagang kain yang diproduksi perusahaannya sejak 45 tahun silam.

Setelah ditelusuri cukup lama, kain yang dilaporkan itu ternyata diproduksi PT Delta Merlin Dunia Textile, satu dari tujuh anak usaha Dunia Textile Group. Bentuknya memang sama dengan milik Sritex: jarak dari tepi kain, warna, jahitan. Iwan pun mensomasi perusahaan yang berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah, itu dan melaporkannya ke Kepolisian Resor Sukoharjo.

Iwan menuding pemakaian benang kuning di tepi kain Duniatex merupakan penjiplakan. Dan itu, ujarnya, melanggar Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Intelektual. "Gara-gara ini saya rugi triliunan rupiah," katanya. Kerugian itu, ujar Iwan, terutama karena sejumlah pelanggan beralih ke kain produksi Duniatex.

Manajemen PT Delta Merlin menanggapi somasi itu dengan mengajak jajaran direksi Sritex bertemu. Tapi tawaran itu ditolak Iwan. Menurut Ketut Mul­ya Arsana, pengacara Delta, kain yang dipersoalkan Sritex tersebut berdasarkan pesanan Lie Lay Hok.

Pemilik Toko Ratu Modern yang menjual kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta itu, ujar Ketut, memesan kain rayon abu-abu dengan garis kuning di tepinya sebanyak 150 ribu meter persegi pada 26 April 2011. Harga yang disepakati Delta dan Lie Rp 6.500 per meter persegi dengan nilai semuanya Rp 975 juta.

Delta Merlin selesai mengerjakan dan mengirimkan pesanan itu pada Juni 2011. Manajemen Delta Merlin terkejut ketika sebulan kemudian mendapat surat gugatan yang dilayangkan Sritex. Kepolisian Resor Sukoharjo memanggil para anggota direksi untuk diperiksa.

Dalam proses pemeriksaan, bukan polisi Sukoharjo yang menyelidik aduan ini, melainkan Kepolisian Daerah Jawa Tengah di Semarang. Kepolisian Daerah mengambil alih penyelidikannya dengan alasan, selain lokasi dua perusahaan tekstil tersebut tidak berada di satu kabupaten, kasusnya dinilai besar dan pelik.

Sebulan memeriksa, polisi menetapkan Jau Tak Kwan, Direktur PT Delta Merlin, sebagai tersangka. Ia ditahan di Kepolisian Daerah Jawa Tengah di Semarang sejak 5 Oktober lalu. Jau dianggap bertanggung jawab atas tuduhan penjiplakan yang dilayangkan Sritex.

Polisi yakin benang kuning kain PT Delta menyontek kain produksi Sritex, karena Iwan Lukminto telah memegang hak patennya. "Unsur-unsur pidananya terbukti," kata Komisaris Besar Djihartono, juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

Bukti yang dikantongi polisi tak lain surat paten yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 15 Agustus 2011. Rupanya, setelah polisi memproses gugatannya, Iwan mendaftarkan garis kuning itu sebagai paten kain yang dibuatnya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam surat paten yang diteken Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Ahmad Ramli itu tercatat, PT Sri Rejeki mengajukan paten pada 8 Agustus 2011. Sepekan kemudian, Kementerian menerbitkan permohonan bernomor C00201103093 itu.

Munculnya hak paten benang kuning untuk Sritex itu sendiri dirayakan secara meriah di restoran Diamond Solo Convention Center pada 15 Agustus malam. Sekitar 3.300 undangan hadir, termasuk Ahmad Ramli, yang ikut datang dan memberi sambutan. Ahmad mengatakan, paten yang diajukan Sritex perlu ditiru pabrik tekstil lain.

Selain benang kuning, ada enam logo lain milik Sritex yang patennya keluar dan dirayakan malam itu, yakni tiga jenis motif loreng digital, motif loreng, seni lukis logo Sritex, dan logo Sritex Group.

Nah, perihal keluarnya paten itulah yang dinilai janggal oleh Delta Merlin. Selain disetujui hanya dalam waktu lima hari kerja, hak paten itu baru diajukan dan disetujui jauh setelah gugatan penjiplakan itu dilayangkan Sritex. "Ini aneh," kata Ketut Mulya. "Polisi mengusut kasus yang belum ada dasar hukumnya."

Ketut menilai polisi terlalu berlebihan mengusut kasus berlatar persaingan bisnis ini hingga sampai menahan anggota direksi Delta. Padahal ancaman hukuman untuk perkara ini pun maksimal lima tahun. Bukan termasuk pelanggaran yang sangat berat. Menurut dia, kasus ini bisa menjadi begini karena pemilik Sritex mempunyai kedekatan dengan polisi.

Sritex didirikan oleh Muhammad Lukminto sebagai toko kecil di Pasar Klewer, Solo, pada 1966. Perusahaan ini kemudian berkembang, dan pada 16 Agustus 1976 berubah menjadi pabrik tekstil. Karena itu, tanggal 16 Agustus selalu diperingati sebagai ulang tahun Sritex.

Kini pabrik Sritex menempati lahan 130 hektare di Jetis dengan jumlah karyawan 22 ribu orang. Sritex kian terkenal karena menjadi pemasok utama seragam tentara dan polisi. Tak hanya di Indonesia, Sritex juga memasok seragam tentara di 26 negara, termasuk tentara North Atlantic Treaty Organization (NATO).

Memasok kain untuk seragam tentara merupakan bisnis utama Sritex. Karena itu motif loreng pun didaftarkan hak patennya. "Tahun depan kami akan masuk lantai bursa," kata Iwan Lukminto.

Kedekatan dengan polisi dan tentara itulah yang membuat Sritex istimewa. Para pejabat Sritex juga terkenal dekat dengan penguasa. Pada 1992, misalnya, Presiden Soeharto meresmikan perluasan pabrik ini. Perluasan pabrik kedua pada 2009 juga diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setiap 17 Agustus, Sritex menggelar upacara ala militer dengan melibatkan seluruh karyawan. Peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2011 berlangsung meriah dan megah dengan upacara militer. Di kursi undangan terlihat mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Prabowo Subianto, bekas Menteri Penerangan Harmoko, dan bekas Gubernur Jakarta Sutiyoso.

Aroma rekayasa, menurut Ketut, kian terasa karena Lie Lay Hok, pemesan kain dari Tanah Abang itu, masih punya hubungan saudara dengan keluarga Lukminto, dan pelanggan Sritex juga. "Sepertinya kasus ini direkayasa sejak awal untuk menjatuhkan Duniatex," katanya.

Polisi menyangkal telah merekayasa dan berlebihan memproses aduan Iwan Lukminto. Menurut Djihartono, surat paten hanya bukti pendukung, karena obyek penyelidikan polisi adalah kain yang diproduksi kedua perusahaan itu. "Surat itu hanya pelengkap. Nanti kami minta kesaksian Dirjen Hak Kekayaan Intelektual," katanya.

Telanjur sudah masuk ranah hukum, Duniatex menggugat balik Sritex dengan mempersoalkan surat paten yang dikantongi Sritex. "Kami sudah minta maaf karena pemilik dua perusahaan ini bersahabat, tapi tak digubris," kata Ketut.

Sumitro, pemilik Duniatex, bisa dibilang kawan lama Lukminto. Sumitro baru pada 1971 mendirikan Duniatex di Karanganyar. Duniatex kini memiliki tujuh anak usaha dengan jumlah karyawan 10 ribu orang. PT Delta Merlin baru didirikannya pada 2001, dan per tahun memproduksi 120 juta meter kain.

Selasa pekan lalu, mestinya gugatan Duniatex terhadap Sritex disidangkan Pengadilan Niaga Semarang. Namun hakim Ifa Sudewi menunda sidang tersebut karena Iwan Lukminto atau wakil Sritex tak datang. Sidang itu hanya dibuka dan kemudian ditutup. Tak lebih dari sepuluh menit.

Iwan menegaskan, ia tak gentar menghadapi gugatan balik ini. Ia merasa benang kuning dan logo-logo itu adalah ciri khas kain buatannya. Adapun Duniatex menganggap garis di tepi kain sudah jadi ciri umum sebuah produk tekstil. "Sejak zaman kuda gigit besi, semua tekstil ada garisnya," kata Turman Panggabean, pengacara lain Duniatex. Kini dua raja tekstil itu bertarung di meja hijau.

Bagja Hidayat (Jakarta), Sohirin (Semarang), Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus