Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDANG gugatan Denny Muchamad Sadikin melawan Badan Pertanahan Nasional dan Solihin Gautama Purwanegara pada Rabu pekan lalu berlangsung tak lebih dari 10 menit. Pagi itu, tiap kubu hanya menyerahkan berkas kesimpulan mengenai sengketa tanah kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Makassar.
Syamsul Bahri Ilyas, pengacara Denny, optimistis akan memenangi perkara yang sudah 17 kali disidangkan ini. "Bukti kepemilikan tanah yang kami sodorkan kuat," kata Syamsul seusai sidang. Majelis hakim menjadwalkan pembacaan putusan perkara perebutan lahan 11 hektare di Jalan Perintis Kemerdekaan Kilometer 13, Biringkanaya, Kota Makassar, ini pada Rabu pekan depan.
Kubu Solihin G.P. pun tak kalah pede. Mereka mengklaim punya "kartu as" untuk memenangi perkara berupa sokongan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hasman Usman, pengacara Gubernur Jawa Barat periode 1970-1976 itu, mengatakan kliennya sudah menemui Kalla untuk meminta perlindungan hukum atas sengketa lahan tersebut. "Wajar jika klien kami minta tolong karena keduanya sudah kenal baik," kata Hasman, Kamis pekan lalu.
Tanah pangkal sengketa terletak di kawasan emas Kota Makassar. Jaraknya sekitar 20 menit bermobil dari Bandar Udara Sultan Hasanuddin. Tanah itu bersebelahan persis dengan kompleks perumahan mewah Bukit Khatulistiwa dan pusat pertokoan. Berdasarkan dokumen pajak yang dibayarkan Solihin pada 2015, nilai jual obyek pajak lahan itu Rp 1,274 juta per meter persegi.
Syamsul menerangkan bahwa ayah kliennya, Said Sadikin, membeli tanah tersebut dari seorang bangsawan lokal pada September 1971. Lima tahun kemudian, adik mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu menitipkan lahan kepada orang kepercayaannya, Abraham Minggu Pasila. Keluarga Sadikin meminta Abraham merawat tanah itu karena mereka akan pindah ke Bandung. "Di sinilah urusan tanah ini mulai ruwet," kata Syamsul.
Adapun kubu Solihin mengungkapkan riwayat berbeda untuk lahan yang sama. Hasman menuturkan, Solihin membeli tanah itu pada 1969. Belakangan, pada 2004, Solihin berencana menjual tanah tersebut. Mereka meminta Kantor Pertanahan Makassar mengukur ulang lahan. "Kami kaget ternyata sudah banyak sertifikat atas nama orang lain," kata Hasman. "Padahal, sejak 1986, kami selalu membayar pajak tanah itu."
Pada medio 2005, Satria Kamal Gautama Purwanegara, anak Solihin, menggugat Badan Pertanahan Nasional Makassar karena menerbitkan 15 sertifikat hak milik atas nama orang lain ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari 15 sertifikat tersebut, 10 di antaranya atas nama Said Sadikin.
Solihin berhasil menang dalam gugatan tersebut sampai tingkat peninjauan kembali, yang putusannya keluar pada Maret 2009. Namun, setelah melewati upaya hukum luar biasa itu, sengketa lahan tak juga berakhir. Setelah putusan tersebut, giliran pemilik sertifikat tanah yang kalah menggugat ke PTUN. Gugatan kali ini juga berjalan sampai ke tingkat peninjauan kembali. Pada Januari 2013, Mahkamah Agung kembali memenangkan kubu Solihin.
Selanjutnya, BPN Sulawesi Selatan menerbitkan surat pembatalan seluruh sertifikat hak milik yang digugat Solihin. Namun, pada April 2013, Andre D. Pasila dan Arni T. Pasila-anak Abraham Pasila-menggugat keputusan BPN Sulawesi Selatan ke PTUN Makassar. Solihin turut menjadi tergugat intervensi. Namun kubu Solihin kembali menang.
Seiring dengan gugatan di pengadilan, Andre Pasila melaporkan Satria Kamal ke Kepolisian Resor Kota Besar Makassar. Andre menuduh Satria menggunakan surat palsu untuk menguasai tanah. Namun polisi menyatakan tak cukup bukti untuk menaikkan status Satria menjadi tersangka.
Pada akhir 2013, keluarga Said Sadikin yang menetap di Jawa Barat berniat menjual tanah tersebut. Salah seorang ahli waris pun diutus ke Makassar untuk mengurus sertifikat tanah. Rupanya, menurut Syamsul, tanpa setahu keluarga Said Sadikin, Abraham Pasila telah memecah tanah itu menjadi enam sertifikat hak milik. Bahkan beberapa di antaranya atas nama keluarga Sadikin. Keluarga Abraham Pasila pun telah menjual tanah tersebut.
Atas nama keluarga Sadikin, Syamsul melaporkan Andre Pasila ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pada medio 2014 dengan tuduhan pemalsuan surat tanah. Polisi telah menetapkan Andre sebagai tersangka. Perkara pidana ini mulai disidangkan Pengadilan Negeri Makassar.
Pada April 2015, Denny Sadikin menggugat Solihin secara perdata ke Pengadilan Negeri Makassar. Di tengah proses persidangan, menurut Syamsul, keluarga Sadikin mencabut gugatan untuk perbaikan materi tuntutan. Kemudian mereka mendaftarkan kembali gugatan perdata pada 30 Oktober 2015.
Bersamaan dengan pendaftaran gugatan perdata, BPN Makassar menerbitkan sertifikat hak milik nomor 33986 tahun 2015 atas nama Solihin, menggantikan sertifikat nomor 5 tahun 1969. Denny kemudian menggugat BPN Makassar karena menerbitkan sertifikat baru ke PTUN pada Januari 2016.
Dalam persidangan pada April lalu di PTUN, tersingkaplah jejak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Perwakilan BPN Makassar menyerahkan selembar surat yang menjadi dasar mereka menerbitkan sertifikat baru kepada majelis hakim. Lelayang tersebut diteken Kepala BPN Sulawesi Selatan Muhammad Ikhsan Saleh pada 21 Oktober 2015. Isinya: ada perintah lisan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang agar menindaklanjuti permohonan sertifikat atas nama Solihin.
Menurut Hasman, Solihin memang pernah mengadu kepada Jusuf Kalla soal lambatnya penerbitan sertifikat lahan. Ceritanya, Solihin hendak memperbarui sertifikat nomor 5 tahun 1969. Alasannya, ketika dibeli, lahan tersebut masuk wilayah Desa Biringkanaya, Kabupaten Maros. Pada 1971, lokasi tersebut ditarik ke wilayah Kota Makassar.
Kedekatan Kalla dengan Solihin, menurut Hasman, mulai terjalin saat Solihin menjadi Panglima Kodam XIV Hasanuddin pada 1965-1968. Kedekatan itu berlanjut sampai musim kampanye pemilihan presiden 2014. Kalla, misalnya, pernah ditemani "Kang Ihin" ketika menyambangi pondok pesantren di Jawa Barat.
Kepada Tempo, Ikhsan mengakui mengeluarkan surat perintah kepada BPN Makassar untuk menerbitkan sertifikat atas nama Solihin. Surat itu ia buat setelah mendapat panggilan telepon dari Menteri Agraria Ferry Mursyidan Baldan, yang menurut Ikhsan mendapat perintah dari Kalla. "Saya tak ingin ini dianggap intervensi atau intimidasi. Normatifnya, sebagai anak buah, wajib melaksanakan perintah pimpinan," ujar Ikhsan. Berdasarkan hasil pengecekan dokumen di BPN, kata Ikhsan, "Tanah itu jelas milik Solihin."
Keterangan Ikhsan disanggah pendahulunya. Mantan Kepala BPN Sulawesi Selatan Elfachri Budiman menyebutkan sejumlah kejanggalan pada sertifikat nomor 5 Tahun 1969 atas nama Solihin. Antara lain, tanda tangan yang tertera di sertifikat berbeda jauh dengan milik pejabat yang berwenang saat itu. Kejanggalan lain, tanggal penerbitan sertifikat bertepatan dengan hari Ahad, ketika kantor pemerintah libur. Keanehan terakhir, menurut Elfachri, sertifikat tersebut tak terdaftar di pusat data BPN.
Menteri Ferry membenarkan pernah menghubungi Kepala BPN Sulawesi Selatan untuk membicarakan sertifikat lahan atas nama Solihin G.P. Sang Menteri pun meminta permasalahan lahan itu tidak dilihat dari aspek legal semata. Menurut dia, Solihin menguasai tanah tersebut atas sokongan tokoh masyarakat Makassar. "Saya tak mau memperpanjang masalah. Solihin G.P. adalah tokoh. Maka negara hadir untuk mencari jalan keluar," ujar Ferry.
Adapun juru bicara Wakil Presiden, Husain Abdullah, mengatakan Kalla memang dekat dengan Solihin. Kedua tokoh itu kerap bertemu. Husain menduga Solihin pernah mengeluhkan sengketa lahan tersebut. "Bisa saja kemudian Pak Kalla meminta menteri terkait melihat posisi perkaranya seperti apa," ucap Husain. "Ini normatif saja."
Abdul Rahman (Makassar), Syailendra Persada (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo