SETIAP mendengar suara pesawat udara melintas, Ridwan, 3« tahun
dan adiknya, Imron Rosyid, 2« tahun berseru, "Niah pulang! Niah
pulang!" Ibu mereka, Haniyati, biasanya, langsung menangis. Dan
Niah yang ditunggu belum juga kunjung tiba.
Di mana Niah alias Kurniati? Gadis cilik berusia 6« tahun itu
ternyata ada jauh di Negeri Belanda. Di sana namanya sudah
diganti menjadi Mijah, jadi anak angkat keluarga Frederic de
Best. Ia diculik dari rumahnya di Jalan Perintis Rt 19/Rw 02,
Kelurahan Karet, Setiabudi, Jakarta Pusat 1 November 1980.
Yus Amir, ayah Niah, kini tengah memperjuangkan anak wanita
satu-satunya dalam keluarganya itu, agar kembali ke pangkuannya,
lewat gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan hakim Ruwiyanto yang menangani perkara itu, menurut
rencana akan dijatuhkan dalam beberapa hari mendatang.
Niah gadis yang lincah dan suka rertawa. "Boneka plastik
kesayangannya, masih saya simpan," kata Amir lagi. Gadis kecil
berkulit sawo matang itu hilang dari rumah beberapa saat setelah
bermain dengan kakaknya, sudianto (kini kelas 2 SD). Ibu mereka
yang memburuh di pabrik karet busa waktu itu belum pulang kerja.
Amir sendiri sedang pergi ngobyek, setelah berhenti bekerja
sebagai karyawan sipil di Kostrad. Keluarga sederhana itu
tinggal di rumah setengah tembok, berlantai tanah berukuran 3 x
10 m2.
Selain melapor ke polisi, Amir minta tolong pada 27 'orang tua'
yang biasa dikenal sebagai ahli kebatinan. "Semua bilang gelap,"
katanya. Ia mencurigai Syarifah, 42 tahun, bekas pembantu rumah
tangga yang kemudian tinggal tak jauh dari rumah Amir.
Kecurigaan bertambah setelah anak Moh. Jaelani, tetangganya,
bernama Nyi Murni, 3 tahun, juga hilang.
Kemudian diketahui, Syarifah bekerjasama dengan Sukiyem alias
Mbah Jagung, 52 tahun, yang sehari-harinya dikenal sebagai dukun
beranak. Di pengadilan kemudian terungkap, mereka menyerahkan
kedua anak itu kepada Yustiawati, bekas perawat.
Polisi yang melacak kasus itu mengungkapkan, bahwa anak-anak
itu, akhirnya diserahkan kepada Yayasan Kasih sunda pimpinan
Jeane Marie Tumewu, 51 tahun. Sembilan orang yang diduga
terlibat dalam kasus itu, kemudian diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Pada 4 Januari 1982, majelis hakim yang diketuai L.J.
Ferdinandus menjatuhkan vonis. Syarifah dihukum 4« tahun, Mbah
Jagung 2« tahun, Yustiawati 2« tahun, Sri Atun (dia menculik anak
majikannya Oki Afidan, 14 bulan) 3« tahun, Liani 2 tahun dan
Ponirah alias Cempluk 6 bulan. Marie Tumewu kena 7 bulan dan
seorang bawahannya, Lano D.S., dijatuhi hukuman 5 bulan.
Fransisca Westenberg dinyatakan bebas karena hanya terbukti
mengasuh anak-anak itu dengan bayaran Rp 1.500/hari tiap anak
sebelum diserahkan kepada yayasan-termasuk Niah.
Marie Tumewu, Yustiawati dan Lano langsung naik banding. Dalam
sidang perdata Selasa pekan lalu, Yustiawati membenarkan
menerima Niah dari Syarifah. Ia memberikan 'uang santunan' Rp
200 ribu, dan buru-buru membuatkan akta penyerahan anak itu
kepada Yayasan Kasih Bunda.
Akta dibuat di hadapan Notaris Maria K. Soeharjo 4 November
1980-tiga hari setelah diculik. Kepada Notaris. Syarifah mengaku
bernama Halimah yang karena tak mampu ingin menyerahkan anaknya
pada yayasan. Kurniati, disebutkan bernama Mijah. Entah
bagaimana caranya, Syarifah juga berhasil mendapatkan surat
keterangan dari Kelurahan Kramatjati yang menyatakan Mijah
adalah anak kandungnya. Sebab itu, "saya yakin ia benar-benar
ibu dari anak yang akan dia serahkan," kata Notaris Maria.
NIAH sendiri tak dihadirkan di hadapan noraris. Hadirnya si
anak, kata Maria, memang penting. Ia memang menanyakan mengapa
anak yang hendak diserahkan tak dibawa. Dijawab bahwa anak itu
tidak tahan angin, dan takut shock mendengar langsung dirinya
mau diserahkan. Wajah sedih Halimah alias Syarifah waktu itu,
"cukup meyakinkan saya bahwa anak itu benar-benar anaknya," kata
Maria kepada TEMPO.
Apalagi, kata notaris itu pula, waktu itu turut hadir Marie
Tumewu dari pihak Yayasan Kasih Bunda dan Yustiawati yang hadir
sebagai saksi serah-terima. Notaris itu menerima uang Rp 20.000
dari Yayasan Kasih sunda sebagai biaya pembuatan akta.
Tapi Marie Tumewu menyangkal seolah hari itu ia sudah berjanji
dengan Yustiawati untuk menghadap Notaris Maria. "Saya datang
secara kebetulan, hendak menengok Notaris Maria yang baru
melahirkan," katanya.
Niah juga tak hadir ketika pada 1 Desember 1980, keluarga de
Best mengadopsi anak itu lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Karena sudah diserahkan, maka cukup kami dan keluarga de Best
serta dua saksi (perawat yang hadir ke sidang," tutur Tumewu.
Hakim Suwandono, katanya, ketika itu juga tak menanyakan mengapa
si anak tak dibawa.
De Best yang bekerja di maskapai asuransi di Negeri Belanda,
memang dua bulan sebelumnya menyatakan ingin mengadopsi anak
lewat perwakilan Kasih Bunda di Negeri Belanda. Dia sendiri
sudah punya dua anak, satu pria dan satu wanita. Istri de Best
yang ingin punya anak lagi dilarang dokter, karena ketika
melahirkan anak kedua ia mengalami kesulitan.
Tapi beberapa hari setelah Yayasan Kasih Bunda menerima
penyerahan Mijah, surat-surat kabar menulis tentang hilangnya
seorang anak perempuan bernama Kurniati. Polisi yang melacak
memberi petunjuk kepada Yus Amir agar menghubungi yayasan yang
terletak di Jalan Raden Saleh (Jakarta Pusat) itu. Tapi ia tak
menemukan anaknya. Kepada Marie Tumewu, Yus Amir hanya
menceritakan ciri-ciri anaknya.
Menurut Marie Tumewu, ia sendiri waktu itu tak yakin bahwa Niah
alias Kurniati yang hilang itu adalah Mijah yang telah
diserahkan Halimah.
MEI 1981 Marie Tumewu berkunjung ke Negeri Belanda dan mampir di
rumah keluarga de Best di negeri kincir angin itu. Ketika
itulah, katanya, ia baru yakin bahwa Mijah tak lain dari
Kurniati yang hilang. "Tanda hitam memanjang di bawah dagu
Kurniati seperti dikatakan Yus Amir memang betul ada," kata
Marie lagi. Pimpinan Yayasan Kasih Bunda ini memberitahukan hal
itu kepada orangtua Kurniati.
Dua bulan kemudian Amir berkirim surat kepada orang tua angkat
Niah. Isinya ia menghendaki Niah kembali ke pangkuannya. Setelah
mengetahui latar belakangnya, de Best pada prinsipnya setuju.
"Saya gembira mendapat balasannya," kata Amir.
De Best lalu 'menuntut' pada Yayasan Kasih Bunda untuk
menanggung tiket pesawat dan pengurusan surat-surat agar Niah
bisa kembali ke Indonesia. Tumewu mengirimkan 11 ribu Gulden
lebih (sekitar Rp 2,8 juta) seperti yang diminta de Best. De
Best sendiri sewaktu mengadopsi Niah memberi santunan pada
yayasan Rp 200 ribu.
Ternyata, kata Marie Tumewu, keluarga de Best berubah pikiran
karena santernya pemberitaan tentang Niah, baik di surat-surat
kabar Indonesia maupun di Negeri Belanda. "Ia takut keselamatan
jiwanya terancam bila datang ke Indonesia menyerahkan Niah,"
tutur Marie. Karena itu Niah belum juga diantarkan ke Indonesia.
Tapi putusan perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nanti,
barangkali bisa melicinkan jalan bagi keluarga Amir memperoleh
anaknya kembali. "Ibunya sudah tak bisa lagi menangis, karena
rindu yang berkepanjangan," kata Amir.
Peristiwa penculikan anak beberapa waktu lalu memang sering
terdengar. Kasus Niah rupanya hanya salah satu dari beberapa
saja yang terbongkar lewat pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini