WARGA Desa Simpang Tomang baru usai salat Jumat. Di antara mereka kemudian mendengar lengkingan menyayat dari sebuah warung. Keruan saja, massa berbondong ke sumber suara itu. Tapi nyali mereka ciut melihat di depan kedai berdiri Ningson. Ia mencekal sebilah parang berlumur darah. "Jagan mendekat. Kalian saya bunuh," ujar lekaki itu dengan garang. Setelah itu dia masuk ke dalam. Penduduk yang berkerumun penasaran. Pasti ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Apalagi dari balik pintu sekilas terlihat tangan Abbas, kakek Ningson, terkulai tak berdaya. "Ningson ngamuk. Ia telah membunuh kakeknya," teriak massa berulangulang. Tanpa komando, batu dan kayu mulai beterbangan ke warung, dengan harapan Ningson mau keluar. Pemuda kurus berkulit putih itu memang nongol. Mata Ningson semerah saga. Masya Allah. Jantung penduduk rasanya juga mau copot menyaksikan di tangan kanan memegang golok, tetapi di tangan kirinya menjinjing kepala manusia. Darah menetes di sana-sini. Desa yang terletak di Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman, Lubuk Sikaping, Sumatera Barat, hari itu ribut. Sejumlah pemuda yang mencoba mendekati Ningson mundur kembali. Lemparan puluhan batu yang bertubi-tubi mengenai tubuhnya tak digubris. Tenaganya seolah berlipat ganda. Hampir dua jam ia mondar-mandir di depan warung itu. Ia jadi tontonan, dan yang melihatnya jadi ngeri. Tetapi begitu petugas dari pos polisi setempat datang, sikap Ningson melunak. Benda-benda yang dipegangnya itu dilepaskan. Dan dengan enaknya ia mengulur tangannya, siap diborgol. Kisah sadistis pada 11 Desember itu hingga kini masih jadi perbincangan. Bagaimana mungkin pemuda pendiam itu menjagal kakeknya sendiri. Menurut Kamsiah, ibunya, Ningson memang terlihat beberapa kali bertingkah aneh. Kalau tak menyanyi, ya, menari sendiri. Pernah ibunya kelabakan, karena anak tertuanya itu tiba-tiba menghilang. Dua hari kemudian ia muncul lagi. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, pertengahan 1987 lalu ia dipasung selama hampir sebulan. Tampaknya perjalanan nasib yang membuat Ningson berubah. Anak sulung dari lima bersaudara itu putus sekolah sejak SMP, setelah ayahnya meninggal. Oleh ibunya, dia diajak ke Medan. Di sana Ningson jadi tu~kang becak, sebelum merantau ke Malaysia dan bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tak juga puas, Ningson mengadu nasib ke Palembang. Belum seminggu jadi penjual rokok, dia mudik ke kampungnya. Berladang rupanya tak menarik bagi Ningson. Daripada luntang-lantung, lalu ibunya menyuruh Ningson menjaga kakeknya yang lumpuh. Rangsum setiap hari diantar dari rumah. Di hari Jumat dua pekan lalu itu, Kamsiah belum berangkat ke warung. Celakanya, Ningson sudah beringas. "Mungkin banyak yang dipikirkannya, tapi ia tak mampu berbuat. Ditambah lagi sering melupakan Tuhan. Akhirnya berteman dengan setan," kata Kamsiah, 50 tahun. Bekas guru SD itu menduga anaknya sudah berubah akal. "Kalau tidak gila kenapa ia bunuh kakeknya sendiri?" ujarnya. Sehat tidaknya Ningson masih perlu pemeriksaan lebih lanjut. Kapolres Pasaman Letkol. M.D. Hasibun, belum sampai pada kesimpulan. Sebab, menurut pengamatannya pemuda itu biasa-biasa saja. "Tapi perbuatannya itu memang gila," ujarnya. Selama dalam pemeriksaan memang ada tanda-tanda bahwa Ningson agak labil. Bila dibentak sedikit, ia gugup dan berubah pucat. Matanya merah. Selanjutnya: ia tutup mulut. Ketika ditemui TEMPO di tahanan, Ningson, 26 tahun, tampak sehat. Tak terkesan pikirannya terganggu. Lantas kenapa nekat? "Saya kalut, saya telanjur," katanya dengan kepala menunduk. Ia membantah bertengkar gara-gara tak diberi uang membeli rokok oleh Abbas, lalu kakeknya itu dibabat. Kepada polisi yang memeriksa, Ningson mengaku sudah bosan menunggui kakeknya. "Kalau kakek tak lagi dapat memberi makan cucunya, kata orang Eropa, harus dipenggal kepalanya." Entah dari mana ia dapat ajaran semacam itu. Dan Ningson tak bercerita lagi. Yusroni Henridewanto (Jakarta) & Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini