GUBUK papan yang 4 x 6 meter itu menyimpan segudang cerita. Dihuni~ suami-istri Sanir dan keenam anaknya. Sanir, warga Jalan Alfadilah, Balikpapan, semula penarik becak, kemudian nganggur. Ia sering berjudi. Ulah inilah yang membuat perasaan Supriyati, istri Sanir, sedih. Kelakuan suaminya sudah susah diluruskan. Pria 38 tahun ini sering mengancam hendak membunuh atau menceraikan. "Saya pernah dicambuk dengan kabel listrik sebesar ibu jari," cerita Supriyati. Anak mereka juga sering kebagian kekejaman si ayah. Terakhir, Sabtu dua pekan lalu, ketika Priatno, anak nomor dua yang berumur 12 tahun, tak mau sekolah lantaran malu tak bersepatu. Sanir memaksa Priatno harus ke sekolah, walau tanpa sepatu. Priatno mogok, tak mau beranjak dari rumah. Dari situlah Sanir murka. Di hadapan Supriyati, anak itu dicambuknya. Wanita bertubuh kurus yang sehari-hari jadi pencuci pakaian ini mengelus dada. Ia bergaji Rp 10 ribu sebulan, dan uang itu hanya untuk menyambung hidup beberapa hari. Beli sepatu anak tentu belum mampu. Kekasaran Sanir melonjak luar biasa. Kaki Priatno diletakkan di bawah kaki kursi. Dan tanpa rasa kasihan sedikit pun lalu kursi itu didudukinya. Priatno melengking panjang. Melihat kelakuan suaminya terhadap anaknya begitu, hati Supriyati sangat pedih. Hampir sepuluh tahun dari 17 tahun usia perkawinan mereka, rasanya, dilalui dengan penderitaan. Sanir tak lagi mempedulikan perasaannya dan anak-anaknya. Dia juga membawa perempuan nakal tidur di rumah, di hadapan anak dan istrinya. "Sekurang-kurangnya ada empat perempuan yang dibawa ke rumah ini," cerita Supriyati, 40 tahun. Tapi sakit hatinya itu tak pernah dilaporkan kepada tetangganya. Juga soal kekejaman Sanir. "Saya takut karena ia mau membunuh saya," cerita Supriyati. Selesai Sanir menghajar anaknya, ia pun merebahkan diri, tertidur. Ketika itulah dendam Supriyati menggelegar. Ia ambil sekop, dan terus dihantamkan ke muka suaminya. Sanir mengaduh. Hantaman sekop tetap dilanjutkan. Bahkan siraman air panas dari termos diguyurkan ke wajah Sanir, hingga kulitnya melepuh. Melihat suaminya kesakitan dengan kulit demikian, Supriyati buru-buru meninggalkan rumah. Ia melapor ke ketua RT dan polisi. Sanir yang mengerang-erang itu akhirnya mengembuskan napas di rumah sakit. Ia meninggal dalam perawatan. "Saya tak menyesal melakukan perbuatan itu. Mungkin ini jalan terbaik buat saya dan anak-anak saya," kata Supriyati di tahanan polisi. Anak-anak mereka, terpaksa diurus sanak famili. "Ayah memang kejam. Kami menderita," kata Priatno. Kisah suami dianiaya istri rupanya tak cuma menimpa Supriyati. Saniah, wanita berparas lumayan warga RT 4 Patik Merah, Manggar, Balikpapan Timur, juga mengalaminya. Lantaran tak kuat menanggung penderitaan siksaan yang berkepanjangan, suaminya, Taher, 30 tahun, lalu dihantam dengan besi penumbuk beras. Taher menggelepar. "Waktu itu saya benar-benar kalap. Saya baru sadar setelah mendengar teriakan Allahu Akbar dari suami saya," kata wanita 26 tahun ini. Apa yang dilakukan, katanya, sebenarnya hanya untuk membuat jera saja. "Saya tak berniat membunuh dia," kata ibu dua anak ini. Ia hanya merasa kesal atas tingkah Taher yang waktunya dihabiskan untuk berjudi dan main perempuan. Untuk itu, terpaksalah Saniah menjual kue kecil-kecilan, penyambung hidup. Eh, Taher belum bersyukur. Malah setiap ia kalap, tempelenganlah melayang ke muka Saniah. Lalu terjadilah peristiwa tengah malam di awal November lalu. Malam itu Saniah bersama anaknya lewat di depan bioskop Nusantara, dekat rumah mereka juga. Melihat Saniah berlalu di hadapannya, Taher, yang sedang ngumpul dengan anak muda, jadi tersinggung. Saniah dituduhnya telah memata-matai. Taher langsung berdiri dan menjambak rambutnya. Sadisnya lagi, sepanjang perjalanan it~, ia dipermak. Dari situlah dendamnya muncul. Dan suaminya disudahi. Saniah, wanita berkulit kuning itu, pekan lalu dituntut 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Balikpapan. Widi Yarmanto (Jakarta) & Rizal Effendi (Balikpapan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini