Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nota Suap yang Menggantung

Satu lagi kasus suap senilai Rp 1 miliar terkatung-katung. Padahal, kasusnya melibatkan hakim agung dan putranya serta anggota tim pemberantas korupsi.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHANTAM korupsi agaknya mesti menjadi agenda utama pemerintahan baru Presiden Megawati Sukarnoputri. Sebab, korupsi yang menghancurkan fundamen ekonomi republik ini sudah semakin parah, bahkan melibatkan petugas pemberantas korupsi. Contohnya kasus suap senilai Rp 1 miliar yang diduga terkait dengan Hakim Agung Zakir dan putranya, Hendra Roza Putra, yang pengacara, serta seorang anggota Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK), Faisal Tadjuddin. Sayangnya, kasus yang sudah setahun ini tak kunjung tuntas. Uniknya, kasus suap yang satu ini justru mencuat dari perkara kepailitan (kebangkrutan). Pada 1999, Overseas Chinese Banking Corporation menuntut pailit PT Aster Dharma Industri ke pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Itu karena Aster menjadi penjamin utang Dtron Singapore sebesar S$ 3,3 juta kepada Overseas. Di tingkat pertama, Aster luput dari vonis pailit. Tapi, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memailitkannya. Giliran Aster yang mengajukan peninjauan kembali. Ketika proses peninjauan kembali di MA inilah kisah suap berlangsung. Adalah Faisal Tadjuddin, anggota TGPK semasa diketuai mantan hakim agung Adi Andojo dan Sekretaris Jenderal Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara, yang berperan sebagai pengacara Aster. Syahdan, anak buah Faisal, Jayadi Kusuma, meng-hubungi Hendra Roza Putra, yang juga pengacara. Entah kebetulan atau tidak, Hendra adalah anak Hakim Agung Zakir, yang menangani perkara peninjauan kembali Aster. Ternyata, Aster menang di tingkat peninjauan kembali. Perusahaan itu tak terkena pedang kebangkrutan. Toh, belakangan, urusan menjadi runyam. Itu gara-gara Jayadi, yang kecewa lantaran tak memperoleh fee yang dijanjikan Hendra, mengadu ke TGPK. Ia bercerita tentang transfer dana US$ 150 ribu (sekitar Rp 1,5 miliar berdasarkan kurs Rp 10 ribu per dolar AS) dari pihak Aster ke rekening Hendra. Kontan nyanyian Jayadi dibantah keras oleh Faisal. "Masa, saya yang berjuang untuk antikorupsi dituduh terlibat suap? Ini fitnah," kata Faisal. Ia menduga ada yang ber-usaha menjatuhkan gengsinya, termasuk upaya keras dan sikap tegasnya untuk memberantas korupsi. Sayangnya, Faisal enggan menyebutkan siapa yang dimaksudkannya itu. Zakir, yang kini sudah pensiun sebagai hakim agung, juga menepis tuduhan tersebut. "Tak sesen pun saya menerima uang suap," ucapnya. Menurut Zakir, ia hanya anggota majelis hakim agung untuk perkara peninjauan kembali Aster. Ketua majelis dan anggota majelis lainnya adalah Sarwata dan Th. Ketut Suraputra, masing-masing Ketua dan Wakil Ketua MA. "Kalau mau nuduh suap, mestinya Pak Sarwata dan Pak Ketut juga kena," ujarnya. Zakir tak lupa menandaskan bahwa dana US$ 150 ribu itu merupakan uang jasa untuk pertimbangan hukum (second opinion) perkara kepailitan Aster yang telah diberikan Hendra kepada Jayadi. Namun, dari dana itu, baru US$ 20 ribu atau sekitar Rp 200 juta yang disampaikan Jayadi kepada Hendra. "Itu murni uang jasa Hendra sebagai pengacara. Enggak ada sedikit pun hubungannya dengan saya," ujar Zakir. Katanya lagi, banyak mantan hakim agung juga punya anak yang pengacara. "Saya enggak ngerti kenapa saya dan anak saya dikaitkan dengan kasus ini," ujar Zakir. Agaknya, tak gampang buat TGPK mengusut kasus suap yang melibatkan anggotanya sendiri. Sekalipun demikian, Faisal akhirnya mengundurkan diri dari TGPK. Kasus suap itu pun terus disidik TGPK, kendati Adi Andojo kemudian juga mundur dari TGPK, bahkan TGPK belakangan bubar setelah dasar hukum pendiriannya dibatalkan MA. Namun, pada Juni 2001, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Bachtiar Fachri Nasution, mengeluarkan nota dinas. Isinya menyatakan kasus suap tersebut tidak cukup bukti. Berarti kasusnya ditutup? Untuk soal ini, keputusan ada di tangan jaksa agung. Sayang, jaksa agung waktu itu, Baharuddin Lopa, yang pergi ke Arab Saudi, meninggal dunia. Penggantinya, Marsillam Simandjuntak, juga keburu didemisionerkan oleh Presiden Megawati. Sampai akhir pekan lalu, Presiden belum menunjuk jaksa agung yang baru. Jadi? Adi Andojo tetap merasa yakin kasus suap itu ada. Mungkin pembuktiannya yang sulit. Pendapat senada diutarakan mantan pengganti Adi Andojo, Krissantono. Menurut Krissantono, setidaknya ada dua kejanggalan dalam kasus itu, yakni konsultasi hukum perkara ditangani Hendra yang adalah putra dari anggota majelis hakim agungnya dan fee buat Hendra yang amat besar. Ahmad Taufik, Tomi Lebang, Hadriani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus