Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nurlaila, Babak Kedua

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Nurlaila, guru SLTP Negeri 56 Jakarta, yang menolak sekolahnya dipindahkan. Persidangan kasus ”ruilslag sekolah” ini akan kembali digelar.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERAGAM cokelat muda berlogo Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta masih tergantung rapi di lemari pakaian Nurlaila. Ketika Rabu dua pekan lalu seragam itu dicobanya, tak ada yang kurang. ”Ukurannya masih pas,” ujar Nurlaila seraya tersenyum. Padahal sudah sekitar lima tahun seragam itu tak dipakainya rutin. Selama lima tahun itu pula ibu tiga anak ini berjuang mempertahankan sekolahnya, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 56, di Jalan Melawai, kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Pertengahan Februari lalu, kabar baik datang kepada Nurlaila. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi gugatan perdatanya yang diajukannya bersama, antara lain, Abdurachim (guru SLTP 56), S. Soebagio, dan Mulyadi Djojomartono (orang tua murid). Mahkamah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Wah, akan rame lagi, deh,” ujar Nurlaila. Dua pekan lalu itu, Nurlaila menerima Tempo di rumahnya, di Jalan Haji Saidi, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam putusan kasasinya, Mahkamah memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuka kembali persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara gugatan terhadap proses hukum tukar guling (ruilslag) antara pemerintah DKI Jakarta dan PT Tata Disantara. Tak hanya itu, majelis hakim kasasi juga menghukum Departemen Pendidikan Nasional, PT Tata, dan Gubernur DKI Jakarta membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan secara tanggung renteng sebesar Rp 500 ribu.

Perlawanan Nurlaila terhadap Gubernur Jakarta bermula pada pengujung 2000, saat pemerintah DKI meneken perjanjian tukar guling dengan PT Tata Disantara. PT Tata berhak atas lahan SLTP Negeri 56 di kawasan Blok M, sementara sekolah menengah pertama itu mendapat ganti lahan dan gedung di Jalan Jeruk Perut, Jakarta Selatan. Lahan di Blok M sendiri dihargai Rp 5 juta per meter persegi dan rencananya di situ akan dibangun pusat pertokoan. Nurlaila dan sejumlah guru lain menolak perpindahan itu. Mereka melihat ada kejanggalan di balik ruilslag tersebut. Apalagi, dalam penelusuran, diketahui nilai jual obyek pajak lahan itu tak kurang dari Rp 9 juta per meter persegi.

Toh, tukar guling ini terus berjalan. Pada 2001, pemerintah DKI memindahkan sekolah itu ke Jeruk Perut. Nurlaila dan sejumlah guru, juga sejumlah murid, bertahan. Didampingi, antara lain, Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Lembaga Advokasi Pendidikan, Nurlaila kemudian memperkarakan ruilslag ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kendati pengadilan negeri menyatakan Nurlaila berhak mengajukan gugatan itu, di tingkat banding, putusan pengadilan negeri ini dipatahkan.

Gubernur DKI saat itu, Sutiyoso, tak mau kalah. Dengan tuduhan melakukan pendidikan tanpa izin dan melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Sutiyoso menggugat pidana Nurlaila. Gubernur pada Desember 2003 juga memecat Nurlaila. Sejak itu pula perempuan yang sudah mengabdikan hidupnya selama sekitar 20 tahun sebagai guru tersebut tak lagi menerima gajinya, Rp 2 juta per bulan.

Tapi gugatan pidana Sutiyoso, baik di tingkat pengadilan negeri maupun tingkat pengadilan tinggi, kalah. Alasan pengadilan: dakwaan tidak jelas. ”Nurlaila tidak pernah melakukan pendidikan ilegal yang dituduhkan kepadanya,” ujar pengacara Nurlaila, Lambok Gultom, dari Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun terhadap pemecatan dirinya itu, Nurlaila juga memperkarakannya ke pengadilan tata usaha negara. Tapi, untuk yang ini, baik di pengadilan tata usaha negara tingkat pertama maupun banding, Nurlaila kalah. Kepada Tempo, anggota staf hubungan masyarakat Provinsi DKI Jakarta, Endang Sumardi, menyatakan untuk kasus ini kekuatan hukumnya telah tetap, pemerintah DKI menang. ”Karena pihak Nurlaila terlambat mengajukan kasasi,” katanya. Tapi Lambok tak sependapat. Menurut Lambok, karena dalam kasus pidana itu Nurlaila menang, kasus Nurlaila di jalur pengadilan tata usaha negara otomatis gugur.

l l l

PEMERINTAH DKI Jakarta kini harus bersiap kembali ”bertempur” dengan Nurlaila. Dengan putusan kasasi itu, kasus ruilslag ini memang segera dibuka. ”Kami menaati proses hukum,” kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto. Menurut Taufik, pihaknya tengah melakukan koordinasi dengan Biro Hukum Provinsi DKI untuk membahas putusan kasasi tersebut. ”Lokomotif perkara ini adalah biro hukum,” ujarnya. Taufik menyatakan pihaknya kini dalam posisi menunggu panggilan dari pengadilan. Adapun juru bicara Departemen Pendidikan Nasional, Muhajir, menyebutkan kasus ini sepenuhnya memang ada pada Dinas Pendidikan DKI. ”Ini sudah era otonomi,” ujarnya.

Lambok juga menyatakan tengah menunggu panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lambok yakin pihaknya kali ini juga akan menang di meja hijau. Menurut dia, yang diperjuangkan Nurlaila selama ini benar. Kliennya tidak melanggar aturan apa pun.

Sejumlah bukti juga sudah disiapkan Lambok untuk menghadapi ”pertempuran” baru di meja hijau. Antara lain putusan pidana yang memenangkan Nurlaila serta hasil temuan Kejaksaan Agung tentang adanya korupsi di balik proyek tukar guling SLTP Negeri 56.

Nurlaila sendiri ingin kasusnya segera selesai dan semua haknya dikembalikan. Sejak kasus ini mencuat lima tahun silam, namanya memang langsung ”harum”. Banyak yang bersimpati terhadap aksi yang dilakukan Bu Guru ini untuk mempertahankan sekolahnya. Tidak hanya mendapat undangan untuk berbicara di berbagai forum, Nurlaila pun memperoleh sejumlah penghargaan. Di antaranya Independent Teachers Award 2004 dari Federasi Guru Independen Indonesia dan Tiga Pilar Award bagi Penggiat Antikorupsi dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Dari penghargaan ini pula, antara lain, ia mendapat biaya untuk menyekolahkan anaknya.

Lima tahun tidak menerima gaji, Nurlaila bersyukur selalu saja ada yang membantu dirinya. ”Alhamdulillah, semua saya serahkan kepada Allah,” ujarnya.

Martha Warta Silaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus