Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARGA Dusun Pancer belakangan ini makin repot saja. Sejak pos pengamanan lokasi eksplorasi tambang emas Gunung Tumpang Pitu berdiri di ujung kampung setahun lalu, mereka harus melapor setiap kali ingin ke hutan, sekitar dua kilometer dari dusun itu. Padahal, selama ini, mereka keluar-masuk hutan tanpa harus pamit siapa pun.
Hutan lindung Gunung Tumpang Pitu adalah ”ibu” kedua mata pencarian warga Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagai nelayan, mereka bersandar pada berkah laut. Tapi, ketika laut tak bersahabat, atau pada Februari dan Maret, yang dikenal sebagai bulan paceklik, sekitar 4.500 nyawa di dusun itu mencari makan dari hutan.
Di hutan itu mereka menebang bambu jenis wuluh sebesar jari, memotong-motongnya sepanjang satu-dua meter, dan menjualnya ke pasar. Bambu ini dijadikan lanjaran, penyangga tanaman melon atau perambat kacang panjang. Per batang laku Rp 250-300 dan dalam sehari mereka mendapat sekitar Rp 40 ribu.
”Sekarang tidak ada yang berani mencari bambu,” kata Trimo Wibisono, 55 tahun, Pembantu Kepala Dusun Pancer, Rabu pekan lalu. ”Semua takut.” Melapor di pos penjagaan tiba-tiba jadi bagian hidup warga Pancer, dekat pantai Pulau Merah, Banyuwangi, sejak PT Indo Multi Niaga membuka kantor operasional di sana.
Perusahaan tambang emas yang berkantor pusat di Kemang Selatan Raya, Jakarta, ini menyewa rumah penduduk seharga Rp 2,5 juta per tahun. Indo Multi juga menyewa rumah di sebelahnya untuk mes karyawan. Di seberang jalan, Indo Multi menyewa sebuah rumah lagi untuk gudang.
Perusahaan ini memperoleh kuasa pertambangan eksplorasi seluas 11.621,45 hektare berdasarkan surat keputusan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari, Desember 2007. Sebagian wilayah itu masuk kawasan hutan produksi seluas 736,3 hektare dan hutan lindung 1.251,5 hektare di kawasan Banyuwangi Selatan.
Dari jantung Kota Banyuwangi, Gunung Tumpang Pitu berjarak seratus kilometer ke arah selatan. Hutan lindung itu didominasi bambu, akasia, semak belukar, petai cina, dan krinyu. Hutan produksi menghasilkan pohon jati dan mahoni.
Indo Multi mendapat surat persetujuan pemakaian kawasan hutan untuk eksplorasi dari Menteri Kehutanan M.S. Kaban pada Juli 2007. Izin eksplorasi bakal berakhir Juli ini. Indo Multi mengincar bebatuan Gunung Tumpang Pitu yang, menurut kajian, mengandung 2,3 gram emas per ton batuan.
Bukit indah menghadap laut selatan Samudra Hindia ini diperkirakan mengandung 22.080 ton logam emas dengan jumlah cadangan bijih emas 9,6 juta ton. Perusahaan akan memproduksi emas 1,577 ton per tahun dalam jangka 14 tahun.
Perlu izin rumit untuk masuk kawasan eksplorasi ini, dari persetujuan Komandan Rayon Militer, Komandan Pos Angkatan Laut di Pancer, Kantor Kepolisian Sektor, sampai Kantor Camat Pesanggaran. Komandan Keamanan Indo Multi Niaga Yuswardi mengatakan aturan ini berlaku sejak perusahaan mulai melakukan eksplorasi. ”Takut kalau terjadi apa-apa,” katanya.
Dari pantai Pulau Merah hingga puncak bukit Tumpang Pitu, dibangun tiga pos pengamanan. Persis di pantai, kaki bukit, dan puncak bukit. Tiap pos dijaga dua petugas keamanan, ditambah dua orang yang berpatroli. Total tenaga keamanan 30 orang, yang diambil dari TNI Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Kepolisian.
Dari perusahaan sendiri diturunkan delapan anggota satuan pengamanan. Mereka berasal dari Jakarta dan penduduk tempatan. Sejak pagi hingga sore, pengamanan dilakukan tentara dan polisi. ”Jika malam tiba, pengamanan dilakukan oleh satuan pengamanan milik perusahaan,” kata Yuswardi.
Sebagian besar penduduk di sekitar lokasi menolak kegiatan tambang itu. Pada November lalu, 5.000 orang di sekitar tambang berdemonstrasi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Pemerintah Banyuwangi. Nelayan dari Grajagan, yang berjarak 20 kilometer, dan Muncar, yang jauhnya 40 kilometer dari Tumpang Pitu, mendukung demonstrasi ini.
Mereka menuntut eksplorasi tambang emas dihentikan. Mereka khawatir limbah tambang yang dibuang ke laut membunuh mata pencarian mereka. Ketua II Rukun Nelayan Pancer, Siswanto, takut ikan menjauh dari Banyuwangi. ”Jangan ganggu kami dengan limbah tambang,” katanya.
Sejumlah orang menyatakan mendapat intimidasi akibat menentang tambang ini. Budi Santoso, 37 tahun, warga Desa Sumberagung, pernah masuk ruang kerja Camat Pesanggaran, Alam, membicarakan tambang emas ini. Tak berselang lama, Komandan Rayon Militer Letnan Satu Zaenuri ikut masuk ruangan. ”Ia mengawasi saya,” kata Budi.
Penduduk desa juga pernah diintimidasi polisi. Pengunjuk rasa diwanti-wanti agar tidak menyalahkan polisi jika harus bertindak keras. ”Polisi bilang sel masih banyak yang kosong,” kata Budi. Tapi Kepala Kepolisian Resor Banyuwangi Ajun Komisaris Besar Rachmat Mulyana membantah cerita ini. Polisi, kata dia, hanya melindungi aset negara dari perusakan.
Budi juga pernah mendapat teror lewat telepon. ”Kalau tidak ingin terjadi sesuatu, jangan suka bikin aksi menolak tambang,” kata si penelepon, yang menyatakan diri pegawai Indo Multi Niaga. Kelompok penentang tambang emas juga tidak mendapat izin ketika ingin menggelar doa bersama.
Rudiyanto, warga Dusun Pancer, mengatakan aparat mencopot enam spanduk menolak tambang yang dipasang di lapangan Dusun Pancer. ”Kepala Polsek dan Komandan Koramil turun langsung,” kata Rudi, 37 tahun. Tapi, menurut Zaenuri, pencopotan spanduk merupakan kesepakatan dengan Camat dan polisi.
Tidak ada tentara yang memberikan pengamanan khusus, kata Zaenuri. Anak buah yang ia tempatkan di sekitar tambang hanya informan. ”Mereka tidak menerima honor, dan memang tidak ada permintaan khusus dari perusahaan.”
Kepala Satuan Polisi Perairan Banyuwangi Ajun Komisaris Muhardi malah menyatakan tak tahu-menahu jika ada anggotanya yang setiap hari berjaga di kantor perusahaan. Begitu pula Komandan TNI Angkatan Laut Banyuwangi Letnan Kolonel Nursyawal Embun. ”Kebetulan saja lokasi tambang dekat pantai,” katanya.
Komisaris Utama Indo Multi Niaga Fauzi Djafar Amri mengatakan tambang emas itu untuk kepentingan rakyat juga. ”Media harus menyadarkan masyarakat agar tidak terus berdemo,” ujarnya. Tapi aktivis Jaringan Advokasi Tambang, Lukman Hakim, tak yakin tambang ini akan menyejahterakan masyarakat sekitar.
Yang sudah terjadi, katanya, perusahaan tambang justru berkonflik dengan warga sekitar. Ia juga mengecam terlibatnya aparat keamanan di perusahaan tambang itu, hingga menggunakan cara-cara intimidasi dan teror. Mestinya, kata dia, aparat membela kepentingan rakyat, bukan pemilik modal.
Sunudyantoro, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Ika Ningtyas (Banyuwangi) Dini Mawuntyas (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo