ADA kesewenang-wenangan di Nabire, Kabupaten Paniai, Irian Jaya. Algojonya adalah Prajurit Satu Nataniel Kamudi, 27 tahun, dan Prajurit Dua Marten Sermumes, 25 tahun. Mereka anggota Yonif 753 Arvita Nabire. Korbannya, Bubiya Yeimo, 19 tahun, pelajar kelas I SMA Yapis Nabire. Waktu itu, 2 Januari 1993. Seusai mengantar temannya ke pelabuhan Teluk Kimi, Nabire, Bubiya bersama teman-temannya pulang ke Bukit Mariam, menumpang bus Segman Baru. Menjelang turun, Bubiya mendekati sopir bus itu dan menyampaikan bahwa dirinya tak punya duit Rp 1.000 sebagai ongkos ke Bukit Mariam. Sopir maklum. Tapi dua anggota ABRI tadi, yang mendengar omongan itu, tidak terima. Upaya Petrus, teman Bubiya yang bersedia membayarkan ongkos itu, tidak meredakan hati Nataniel. Nataniel bersikeras agar sopir tak menerima bayaran itu. "Jangan diterima, biar direndam dulu, supaya jangan jadi kebiasaan," katanya. Maka, pelajar bertubuh kekar dan berkaus itu disuruhnya naik bus lagi. Anak sulung dari empat bersaudara yang telah yatim itu benar-benar dibawa ke Pantai Maf. Malam itu juga, sekitar pukul 21.00, ia disuruh berendam di laut, sebatas leher. Sejam di air, Bubiya disuruh naik ke darat, dengan cara merayap. Berkali-kali ia minta ampun, tapi tak dipedulikan. Kondisi Bubiya jadi melemah dan tak mampu merayap. Nataniel lalu memberi contoh. Toh Bubiya tetap tak mampu. Buntutnya, Nataniel menendangkan sepatunya ke rusuk dan perut korban. Rintihan dan permintaan ampun dari mulut korban tak dipedulikannya. Bubiya yang kedinginan itu disuruhnya kembali berendam. Sekitar pukul 23.00, Bubiya disuruh naik lagi ke darat. Selesai? Belum. Sebab, ia disuruhnya menatap bulan. Dan selagi menatap itu, rahangnya dihajar Nataniel. Bubiya jatuh tersungkur, tak berkutik lagi. Saat itulah Nataniel seakan tersadar dari tindakannya. Korban lalu digotong ke honai, tempat peristirahatan di situ. Esoknya, korban ditemukan oleh warga sudah tewas. Kematian tersebut menyulut kemarahan warga suku Me dan suku Ekari. Sebuah rumah yang diduga milik tersangka dihancurkan. Pada malam itu Nataniel kabur ke hutan. Ia ditangkap dua minggu kemudian, di rumah penduduk. Sedangkan tersangka Marten pada malam itu menyerahkan diri ke Detasemen Polisi Militer di Nabire. Bubiya selama ini tinggal bersama abang sepupunya, Yesaya Yeimo. Ayahnya meninggal tiga bulan lalu. Ibunya, Mariana Gobae, tinggal di pedalaman Irian Jaya bersama tiga adiknya. Mendengar kematian itu, Mariana hanya bisa melihat kubur anaknya. Ia juga pergi ke Kodim, dan diberi tiket pesawat pulang kampung. "Menuntut perdata sesuai dengan jalur hukum yang ada, kami tak tahu caranya," kata Yesaya kepada Mochtar Touwe dari TEMPO. Dalam persidangan di Mahkamah Militer III-19 Jayapura, terdakwa Nataniel, bujangan lulusan Secata di Ifar Gunung, Irian Jaya, tahun 1987, mengaku tak berniat membunuh. "Tak ada motivasi lain kecuali ingin memberi pelajaran agar korban lain kali jika naik bus harus bayar," kata Nataniel seperti dikutip koran Cenderawasih. Prada Marten di persidangan mengaku sudah mengingatkan agar Nataniel tidak bertindak terlalu jauh. Tapi prajurit yang lebih senior itu tak mempedulikannya. "Kalau saya halangi dia, paling-paling dia bilang 'Kamu tamtama kemarin sore, tahu apa?"' kata Marten. Pada akhir tahun 1993 lalu, Nataniel diganjar hukuman 4 tahun penjara dan dipecat dari keanggotaan ABRI. Dan Marten divonis 10 bulan penjara.WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini