Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menolak munafik

Ria irawan mengaku punya banyak teman pria. pemeran juminten dalam lika-liku laki-laki itu bisa kenes di hadapan polisi?

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Ria Irawan, pekan-pekan ini, menjadi buah bibir dengan sejumlah tanda tanya. Ada apa di balik kejadian di rumah dan kecantikannya? Adakah pemeran Juminten, penjual jamu yang kenes dalam serial teve Lika-Liku Laki-Laki itu, masih bisa kenes di hadapan polisi yang kini menginterogasinya? Jawabnya masih samar-samar. Sebab, gadis multiprofesi ini lebih memilih "ngumpet" dari kejaran pers ketimbang blak- blakan. Padahal, sebelum ini, si bungsu dari lima bersaudara anak pasangan bintang film Bambang Irawan dan Ade Irawan ini adalah tipe wanita mandiri yang penuh percaya diri, dan sukses. Bahasa Inggrisnya yang lancar, otak encer, tekad besar, dan keberanian luar biasa, serta keayuannya, adalah modalnya untuk melanglang ke berbagai negara. Ria pernah ke Cina dengan visa palsu, ke Moskow tanpa visa, ke Eropa dan Amerika Serikat sendirian. "Biarkan gue seperti air. Mengalir," katanya. Sejak ayahnya meninggal ketika Ria berusia 10 tahun, cewek ini tumbuh di bawah bimbingan ibunya, Ade Irawan. Ia menjadi penyanyi, pembawa acara, pemain film, model, melawak, produser, dan bahkan menjadi wartawati. Jika bicara, bibirnya yang tipis ceplas-ceplos. Di panggung, aktingnya tak diragukan. Umur 4 tahun ia sudah main film. Dan pada usia 18 tahun, Ria menyabet Piala Citra FFI 1988 sebagai pemeran pembantu dalam film Selamat Tinggal Jeannete. Lahir pada 24 Juli 1969, dengan nama asli Chandra Ariati Dewi. Duduk di bangku SMP kelas I sudah mulai pacaran. Cinta monyet, tentunya. Sebab, Ria mengaku belum tahu menikmati laki- laki dari sudut mana. Lantas, sejalan dengan usianya, Ria mulai bisa menilai cowok. Misalnya, ia tak mau mencari pacar yang tinggi gede dan berkumis. Itu dari segi fisik. Lelaki idamannya, menurut Ria, harus yang berwawasan luas, bisa diajak ngomong, dan mampu membuatnya penasaran. Tiga kali ia mengaku pacaran serius, tapi semua berakhir dengan patah di tengah jalan. Dan yang menyatakan putus duluan, menurut Ria, selalu pihak lelaki. Mengapa? Ria mengaku dirinya egoistis. Tapi, ia tidak pernah telantar karena cinta. Baginya, "Putus cinta adalah cobaan untuk menuju dewasa." Ibunya, Ade Irawan, yang juga masih terus main film hingga kini, pernah memberikan kuliah kepada Ria, begini: "Kalau cinta pada seseorang, berikan saja yang 60 persen, yang 40 persen untuk persiapan kalau ditinggal orang yang kamu cintai." Dan tampaknya, Ria yang mengaku pernah kuliah di salah satu fakultas di Universitas Kristen Indonesia Jakarta ini menerima petuah itu. Ade adalah idolanya, yang selain sebagai ibu juga dianggapnya merupakan ayah sekaligus sahabatnya. Dalam hal seksual, kepada Kompas, pertengahan Juni tahun lalu, Ria mengaku ingin menikmatinya secara alami. "Misalnya, saya menjadi pusing gara-gara nonton film. Udah deh, saya alami saja," katanya. Terus? "Nggak, diemin saja sampai bego. Karena saya nggak suka pada badan saya sendiri. Kenapa jalan saya nggak tegap? Karena saya malu punya payudara gede," katanya. Pandangannya tentang lesbi dan homo pernah diungkapkan kepada majalah Tiara terbitan Juli tahun lalu. Pendeknya, ia tidak setuju lesbi dan homo. "Kumpul kebo saya juga nggak setuju. Cuma, ya itu, modernisasi membuat pandangan seseorang semakin luas," kata Ria, yang mengaku suka membaca rubrik kesehatan di koran Pos Kota, terutama yang membahas impotensi. "Gue suka ceplos-ceplos ngomong impotensi," katanya. Sekolah sembari mencari duit. Begitulah yang dilakukan Ria. Tapi, alhamdullilah tak ada yang terbengkalai. Bisnisnya pun berkembang. Dibelilah pabrik garmen di Tangerang, yang kemudian dikelola keluarga. Ria juga menjual film-film (dari festival Cannes, misalnya) ke TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan AN-Teve. Hasil bisnisnya dibagi begini: 25 persen buat pribadi, 25 persen untuk keluarga, dan yang 50 persen ditabung. Berkat tabungan itu, Ria bisa membeli tanah di Bali dan Lombok. Bahkan pada tahun 1990 ia membeli rumah di Lebakbulus, Jakarta Selatan, sekitar 200 meter dari rumah ibunya. Ia tinggal sendirian di rumah bertingkat itu, tanpa pembantu rumah tangga. Ria tak percaya pembantu. "Lebih enak ngerjain sendiri," katanya. Bisa lebih teliti mengontrol dan merawat rumah. Dan jika ingin telanjang atau mau jungkir balik, tak ada yang peduli. Setiap hari, Ria baru tidur rata-rata pada pukul 01.00 dini hari. Kariernya sebagai "wartawan" (dalam paspor Ria tertulis pekerjaan journalist) pun tidak mengecewakan. Pada akhir tahun 1988 ia berhasil mewawancarai bintang rock Mick Jagger. Lima hari Ria dempet-dempetan dengan Jagger. Mulai dari masuk berbagai disko di Jakarta, piknik ke Kebun Raya Bogor, jalan- jalan di perkebunan teh di Puncak. "Sampai menginap di rumah saya," kata Ria kepada TEMPO. Begitu lengketnya Ria dan Jagger hingga timbul isu ada affair di antara mereka. "Itu kerjaan orang sirik," bantahnya. "Yang terjadi, ia cuma mencium punggung tangan saya," kata Ria. Gosip itu muncul, menurut Ria, tak lain dari rasa cemburu. Sebab, dialah satu-satu wanita Indonesia yang bisa mewawancarai Jagger. Dan mengenal Jagger, Michael Jackson, atau Madonna adalah obsesinya sejak masih kanak-kanak. Ria juga digunjingkan akan menikah dengan musikus Deddy Dhukun. "Saya suka Ria. Orangnya polos, mudah diatur, tapi kritis," kata Deddy kepada majalah Film. Ria yang mendengar isu itu meradang. "Yang benar aja, saya bisa tersinggung kalau dikatakan kawin dengan Deddy," katanya. Ia mengaku punya banyak teman pria. "Dan semuanya adalah the best boy friends," ujarnya. Gosip lain yang memerahkan kuping Ria adalah tuduhan sebagai artis yang bisa "dipakai". Betulkah? "Kalau soal gosip bisa dipakai Rp 8 juta, nggak apa-apalah. Kalau dibilang cabo, saya nggak apa-apa. Saya, ya, memang setegar itu orangnya. Tapi, kalau efek suara palsu, sampai sekarang pun saya masih gimana, saya agak terpukul," katanya kepada Tiara. Dua tahun lalu, Ria memang menjadi bulan-bulanan pers. Ini gara-gara duetnya dengan Rano Karno dituding suara orang lain. Ria cuma jual tampang dan nama, sedangkan suara milik orang lain. Ria seperti digugat. Tak lama setelah dituduh begitu, Ria terbang ke Amerika. Tiga bulan ia les privat vokal pada Nancy Wilson, penyanyi jazz wanita berkulit hitam. "Saya sangat menyadari bahwa saya ini sebetulnya bukan penyanyi. Suara saya jelek, napas pun pendek. Tapi, untuk menjadi penyanyi kan ada faktor lain yang bisa mendukung, misalnya penghayatan lagu," kata Ria. Maka, Ria tampil langsung di TVRI, dan suaranya tidak sember. Lebih jauh lagi, ia memproduksi dan merekam album perdana Untuk Kamu, tahun 1992. Konon, dicetak 60.000 kopi, impas dengan biaya produksi yang Rp 50 juta. Selain itu, ia juga membuat videoklip. Idealismenya muncul. Menomboki biaya produksi tak jadi soal. "Yang penting, hasilnya bagus dan memuaskan pemberi order," kata Ria. Karyanya (baca bersama kelompoknya) ternyata memenangkan lomba Video Musik Indonesia. Hadiah televisi yang diperolehnya lalu diberikan kepada Riska, gadis tunarungu yang ikut menggarap videoklip tersebut. Tampaknya, memuaskan orang adalah bagian hidup Ria. Menjelang pemilihan Piala Citra 1988, ia pernah bernazar jika meraih Citra akan membawa anak-anak yatim dan fakir ke Dunia Fantasi di Ancol. Benar saja. Ria menang, dan nazar pun dipenuhinya. "Gue bawa anak-anak, jumlahnya 50 orang, ke Dunia Fantasi. Wah, repot, tapi senang," katanya. Tapi, di balik kehidupannya itu, Ria sesungguhnya tak pernah lepas dari psikiater. Sejak tahun 1985 ia memiliki psikiater khusus, Dokter Al Bahri, untuk teman konsultasi. Soalnya, ia sering cemas. Misalnya, sehabis berbicara dengan pers, lalu dipikir-pikir omongannya tadi bisa membawa dampak besar, membuat Ria tidak bisa tidur. "Makanya saya butuh psikiater," katanya. Sejak tahun 1985 itu pula Ria mengambil sikap tidak mau membaca tulisan di media massa mengenai dirinya. Ia mengikuti jejak Ni Polok, seorang penari Bali. Alasannya, agar dirinya tidak jadi sombong. Tidak besar kepala setelah namanya menjadi besar. Ria ditempa untuk percaya diri. Sebab itu, di rumahnya, tidak ada cermin. Ia memang tidak suka bercermin dalam arti sesungguhnya. Ia mengaku tak punya bagian tubuh yang dibanggakan, kendati teman-temannya memuji matanya yang innocent itu seolah- olah bersusuk. Ria juga tidak menyukai wajahnya, kecuali tangannya yang kecil. "Kayaknya kurus. Padahal gendut," katanya tertawa. Dalam hidup ini, satu hal yang dibencinya adalah orang-orang munafik. Dan ia tak ingin menjadi orang munafik. Lingkungan, katanya, membentuk seseorang jadi munafik. "Memang, kita nggak boleh membuka aib diri, dan kita harus berbohong untuk menutupi borok kita. Tapi, kan bukan berarti kita harus menjadi pembohong," katanya.Widi Yarmanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum