KARENA tak punya uang untuk membayar pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA), keluarga Jabbi jadi runyam. Padahal, jika MA memutuskan Jabbi tetap pemilik sah atas tanah sawah 60 are di Kampung Maloi, Bone, dan itu langsung dieksekusi, keadaannya tentu lain. Putusan tertanggal 24 Januari 1988 itu menguatkan vonis sebelumnya. Tapi, karena waktu itu keluarga Jabbi tak punya uang, pelaksanaan eksekusi baru dilakukan 6 Desember 1993. Rupanya, dalam tenggang waktu antara putusan MA dan pelaksanaan eksekusi, oleh anak Nyonya Kambo (pihak yang kalah), sawah warisan "Lompo Sandang" itu dijualnya kepada Jemaing. Maka, timbul masalah: Jemaing mengaku pembeli sah, dan Jabbi juga pemilik sah. Tiga hari setelah eksekusi, anak Jabbi, Arafah, 43 tahun, dan keponakannya, Abidin, 20 tahun, menggarap sawah tadi. Tapi mereka dianggap menyerobot. Dan muncullah lima polisi Polsek Tanete Riattang, diantar Muh. Ramly, Ketua RT Kampung Maloi, ke lokasi yang disengketakan itu. Saat akan ditangkap, Arafah melawan. Pergumulan terjadi, dan ia dibanting ke tanah. Ikat pinggang Arafah lalu dicopot untuk pengikat. Arafah memberontak, hingga ikatan itu putus. Saat itulah Sersan Satu Mansyur, yang memimpin, bertindak. "Pak Mansyur menginjak leher paman saya," kata Abidin. Dan pistol ditembakkan ke udara. Setelah itu, Arafah terdiam. Dalam keadaan terikat, ia digiring ke Mapolsekta, sekitar 2 km dari lokasi, sementara Abidin naik becak mengikuti pamannya. Sampai di kantor polisi, Arafah tak boleh dijenguk. Seminggu setelah ditahan, barulah Abidin dan Jabbi diperbolehkan menemui Arafah yang ditahan tanpa surat penahanan itu. Pertemuan itu mengharukan. Arafah tampak seperti linglung. "Paman bercerita, dalam tahanan ia tidak mandi dengan air, tapi dengan sepatu. Juga tidak makan dengan nasi, tapi dengan sepatu," kata Abidin. Bisa diartikan, Arafah kenyang oleh ten dangan kaki bersepatu oknum polisi. Istri Arafah, Indo Upe, yang menjenguknya, tak boleh ketemu. Karena berbagai kesewenangan serta kesulitan dan penderitaan Arafah itulah keluarga Jabbi minta bantuan Pengacara Asmar Oemar Saleh. Jumat dua pekan lalu, Asmar berhasil menjenguk Arafah di sel. Kondisi kliennya seperti kena depresi mental berat. Mengapa polisi mengusik Arafah, anak Jabbi, yang secara hukum sah menguasai sawah itu? "Untuk mengamankan suasana dari kemungkinan terjadinya masalah antara kelompok Arafah dan Jemaing. Mereka sama-sama merasa memiliki hak atas tanah tersebut," kata Letnan Kolonel Sujitno, Kapolres Bone, kepada Waspada Santing dari TEMPO. Sujitno juga meluruskan, kejadian di sawah itu tak seseram yang diceritakan. Waktu itu, menurut dia, Arafah kurang bersahabat dan cenderung membahayakan petugas. Karena itu, Mansyur melumpuhkannya dengan teknik bela diri cara polisi. Jadi, bukan menganiaya atau menginjak korban. Selain itu, Arafah patut diwaspadai karena, menurut Sujitno, "Di tubuhnya ada badik." Ramly membenarkan bahwa saat Arafah dipanggil polisi dengan berlari mendekat, "Saya lihat ia seperti mau mengamuk. Bahkan, seorang polisi lari menghindar karena takut," katanya. Ia membenarkan ada polisi melepaskan tembakan. "Daripada dia melukai anggota polisi, lebih baik saya memperingatkannya," kata Mansyur yang melepaskan tembakan itu kepada koran Fajar. Mansyur kini ditahan di Detasemen Polisi Militer Bone. "Kami tidak melindungi anggota yang salah," kata Sujitno. Akan halnya tersangka Arafah, yang dituduh dengan pasal membawa senjata tajam, kondisinya tak seburuk yang diceritakan keluarga Jabbi. "Saya sudah ketemu langsung, dan tidak ada yang dikeluhkannya," katanya.WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini