ISU kaitan Ria Irawan dan obat bius makin gencar. Namun, Ria tetap membisu seribu bahasa kepada wartawan. Sebab, kabarnya, ada kode etik di antara para pemakai obat bius untuk tidak sembarangan membuka mulut. Bahkan, kepada polisi yang memeriksanya berulang-ulang, Ria masih memberi keterangan yang serbaremang. Baru belakangan tersingkap sedikit, pada malam sebelum Aldi tewas, Ria mengaku dirinya fly alias teler. Rahasia ini tersibak karena polisi menemukan empat kapsul -- jenis obat terlarang yang tak beredar di Indonesia. Harganya ditaksir Rp 90.000 per butir. Jenisnya masih diteliti di Laboratorium Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Dan perlu beberapa hari lagi untuk mengetahui hasilnya. Dari sebuah sumber, diperoleh gambaran bahwa obat itu adalah Ecstasy, yang populer di kalangan jetset. Dalam pesta-pesta, jenis obat perangsang ini sering diminum. Tujuannya adalah mencapai efek gembira (euphoria). Jenisnya ada tiga, yang berlainan warna sesuai dengan fungsinya. Antara lain, sebagai perangsang nafsu seks. Sejauh ini belum diketahui adakah Ria memberikan obat itu kepada Aldi. Seandainya terbukti begitu, "Jelas, ada sanksi buat dia," kata Kapolri Letnan Jenderal Banurusman kepada Linda Djalil dari TEMPO di Istana Negara pekan lalu. Ia menjanjikan, tak sampai seminggu lagi kasus ini bakal terungkap. Urusan obat bius di kalangan artis memang bukan cerita baru. Roker kondang asal Bandung, Deddy Stanzah, 45 tahun, mengakuinya. Kalau mau jujur, katanya, kebiasaan itu bukan hanya milik artis. "Cuma, karena artis menjadi public figure, pers ramai memberitakannya," kata ayah dua anak yang sudah insaf dari teler sejak empat tahun lalu itu. Dulu, di zaman gila-gilaan, sehari dia tidak ngeboat, seluruh badannya terasa lemas, dan pegal. Deddy pernah menukar sekoper baju manggungnya yang kerlap-kerlip dengan heroin. "Kalau ditanya sudah stadium mana, saya seharusnya sudah mati," katanya tertawa. Ternyata Deddy masih hidup, sehat kembali, dan dapat menjelaskan motif artis main obat bius. "Ya, untuk meraih ketenaran, terutama bagi para pemula. Ada rasa senang kalau dipuja. Artis pun sadar akan dicaci jika salah. Jadi, untuk menutupi kelemahan itu, ya, memakai obat-obat terlarang," kata Deddy kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Lama-lama, kecanduan. Jika benar Ria memakai Ecstasy, itu artinya sama seperti yang sering diminum penonton bola di Inggris yang gembira ria ketika melakukan onar. Obat jenis ini sukar didapat di Indonesia. Kalau ada, sebutir bisa Rp 150 ribu. Deddy mengaku pernah meminumnya. "Wah, rasanya kita jadi bijaksana sekali," katanya. Dilukiskannya, awak rasanya tampil bagai sosok sempurna. Selain penyanyi dan bintang film, ternyata pelukis juga ada yang akrab dengan obat bius. "Ya, untuk merangsang imajinasi," kata Kuseindra Hadi di Bali kepada Putu Wirata dan Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Dengan bantuan heroin, menurut pelukis surealis berusia 33 tahun ini, alam bawah sadarnya jadi mencuat. Sekian lama aman-aman saja, sampai pada suatu siang ia ditangkap polisi di dekat Gelael Dewata, Kuta, Bali. Musababnya, Kuseindra naik sepeda motor tanpa helm. STNK-nya diperiksa, eh, terselip di situ 6 gram heroin. Ia tak berkutik. Ganjarannya penjara 2 tahun 6 bulan. Kawan-kawannya mengirim cat dan kanvas. Kuseindra terus melukis selama dibui, tapi tanpa heroin. "Saya katakan pada diri saya, saya harus bisa, dan ternyata bisa," katanya mengenang kejadian tiga tahun silam itu. Puluhan karyanya dari balik terali besi itu kemudian dipamerkan di Bali Padma Hotel, Kuta, Februari 1993. Dan bulan September lampau ia bebas sudah termasuk merdeka dari jajahan "jin heroin". Ia mulai terjerat obat laknat itu di luar negeri. Kebiasaan itu dibawanya ke Bali, yang dijuluki sebagai sarang transaksi obat bius teramai di Indonesia. Misalnya, lima tahun terakhir narkotik yang disita mencapai 26 kg: heroin hampir 10 kg, hashish 8 kg, ganja 7,5 kg, dan kokain 500 gram. Pada 1992 terdapat 12 kasus, dan setahun kemudian 32 kasus. Itu sebabnya, kini Bandar Udara Ngurah Rai dilengkapi sinar-X untuk mendeteksi penyelundupan narkotik. Ada dugaan, pil di rumah Ria dipasok dari Bali. Boleh jadi, sebab di sinilah tempat bertemunya artis Ibu Kota -- termasuk Ria Irawan -- misalnya di Kafe Luna, Gado Gado, dan Goa 2001. Tapi Samoen Fakhrudin, pemilik diskotek Goa 2001, hanya mengangkat bahu. "Tamunya begitu banyak, bagaimana kami tahu? Apalagi dibilang soal transaksi narkotik, nggak tahu," katanya. Menurut kabar burung, Ria suka iseng memberi obat kepada awak sinetron Lika-liku Laki-Laki. "Wah, saya nggak tahu. Seingat saya, tidak pernah," jawab Derry, anggota Empat Sekawan, yang membintangi sinetron itu. "Kalau dia anak iseng, sih, bisa dibilang begitu. Dia suka mlorotin celana Ginanjar. Juga suka cerita jorok," tuturnya. Di mata Derry, Ria Irawan adalah cewek serbabisa, cerdas, dan kreatif. "Cewek multidimensilah," katanya. Ria enak diajak kerja sama, dan sering memberi ide bahan-bahan banyolan. "Kalau bagus, ya, kami terima. Kan dia sering ke luar negeri, sering bawa cerita-cerita dari sana. Buat kita, sih, oke-oke saja." Selama syuting, Ria justru suka membicarakan pembuatan videoklip dan usaha garmennya. Tapi, paling getol, ia bercerita yang jorok. "Dia paling demen, tuh. Bikin kita ketawa-ketawa saja. Kalau di luaran ada omongan macam-macam, ya, saya nggak ngerti," kata Derry kepada Joewarno dari TEMPO seraya menyatakan prihatin Ria kena musibah. "Kami berharap semoga Ria nggak apa-apa. Ya, pokoknya, happy ending-lah," katanya. Akan halnya ada atau tidak artis lainnya yang jadi langganan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), Dokter Al Bachri Husein belum mau menjawab TEMPO. "Sori, ya, saya nggak bisa memberi wawancara. Soal RSKO, saya juga tidak mau memberi penjelasan karena nanti dihubung-hubungkan (dengan kasus Ria Irawan)," katanya. Direktur rumah sakit ini adalah dokter pribadi Ria Irawan sejak tahun 1985. Selain di RSKO, Al Bachri juga melayani pasien ketergantungan obat di Sanatorium Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta. Dari sekitar 50 tempat tidur, lima di antaranya untuk pasien dadah. "Kalau tidak dibatasi, bisa-bisa semua pasien di sini adalah pasien dadah," kata Prof. Kusumanto Setyonegoro, Ketua Yayasan Sanatorium Dharmawangsa -- dan pendiri klinik itu. Penderita drug abuse ini, kata Kusumanto, naik turun. Bahan yang digunakan pun berubah-ubah. Ada kelompok opiate (morfin, heroin), lalu kokain, mariyuana, barbiturat, benzodiasepin, amfetamin, sampai jenis obat hirup. Belakangan, yang paling berbahaya adalah jenis alkohol yang dicampur dengan obat terlarang, yang tampaknya mulai "membudaya" di pesta-pesta. Kusumanto tidak membantah sinyalemen mengenai banyaknya artis pemakai obat terlarang. Umumnya mereka memakai obat stimulan alias perangsang. "Mereka perlu stimulan ini untuk membuat cerah pemikiran, kaya imajinasi. Soalnya, mereka kan tipe orang exsplorer dan avant garde, melangkah lebih jauh dari orang- orang lain," katanya. Apa boleh buat. Mengejar nama tenar, dan melangkah lebih jauh dari orang lain, ada kalanya berakibat orang salah tingkah -- dan salah langkah.Widi Yarmanto dan Indrawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini